Minggu Biasa ke 25_Tahun B_2009

Bacaan:
Bil 11:25-29 Yak 5:1-6 Mrk 9:38-43; 45; 47-48

Saudara dan saudariku…
Saya mulai dengan sedikit menjelaskan konteks dari bacaan I hari ini. Musa, yang ditunjuk Allah untuk memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, merasakan bahwa tugasnya makin lama makin berat. Tiga hari setelah mereka berangkat dari gunung Sinai, tempat di mana mereka tinggal beberapa tahun dan meskipun Allah telah menyediakan bagi mereka air dan makanan berupa manna, umat Israel tetap bersungut. Hal ini membuat Tuhan marah.

Mereka mempersalahkan Allah karena Allah telah menghantar mereka keluar dari tanah Mesir. Di Mesir mereka mendapat ikan untuk dimakan dan buah-buahan yang lezat serta jenis makanan lainnya yang bisa disantap. Sedangkan di padang gurun mereka tidak lagi mendapat barang-barang seperti itu, selain manna yang sama saja setiap hari. (seperti kami di pastoran kalau tiap hari makan tahu-tempe terus, maka rasa bosan itu pasti ada). Berhadapan dengan keluhan umat itu, Musa pun mengeluh kepada Allah bahwa ia sendiri tidak sanggup memimpin umat yang suka mengomel itu. Allah mendengar keluhannya dan menyuruh dia memilih tujuh puluh orang tua berpengalaman yang dipilih dari suku-suku. Allah akan mengangkat mereka sebagai pemimpin umat di bawah Musa. Musa memilih tujuh puluh orang dan menghantar mereka kepada Yahwe. Di sana Allah memberikan mereka sebagian Roh yang dimiliki Musa dan mereka mulai bernubuat sebagai satu tanda bagi umat bahwa Allah sunguh-sungguh memilih mereka sebagai wakilNya.
Pada saat yang sama ada dua orang lain yang tidak datang ke kemah Allah namun menerima Roh dari Allah dan mulai bernubuat. Yosua, seorang pembantu yang terdekat Musa, yang kemudian pengganti Musa menolak kedua penerima karunia bebas dari Allah itu. Ia ingin agar Musa mencegah mereka berbicara atas nama Allah. Musa tidak melakukan hal itu, malah ia menjawab: adalah makin baik kalau makin banyak orang di antara umat beriman mendapat Roh Allah. Tugasnya akan menjadi sangat ringan apabila semua umat Allah menjadi nabi.

Saudara dan saudariku
Peristiwa yang dilukiskan dalam bacaan I ini menunjukkan perhatian Allah pada kesejahteraan jasmani dan rohani dari bangsa terpilih dalam pengembaraan mereka di padang gurun, juga merupakan satu bayangan awal akan kuasa roh yang akan diserahkan Yesus kepada umat kepilihan baru yaitu Gereja, demi peran bimbingan rohaninya.

Musa dan pembantu-pembantunya adalah model bagi Petrus dan Rasul-rasul lain. Mereka dan para penggantinya melakukan bagi Gereja tugas yang sama yang dilakukan Musa dan pembantu-pembantunya untuk Israel.

Mereka akan mengajar dan membimbing Gereja dalam jalan kebenaran, mereka akan membimbingnya dalam jalan hidupnya menuju gerbang keabadian.

Saudara dan saudariku
Dalam bacaan pertama tadi kita melihat bahwa Allah begitu baik dan dekat kepada bangsa Israel. Dia jauh lebih dekat lagi dengan kita dan karunia ilahi yang Ia berikan kepada kita jauh lebih besar. Ia tidak mengunjung kita dengan berselubungkan awan, Ia datang sebagai seorang pribadi dalam diri Putera ilahiNya dan hidup di antara kita. Putera ilahi menderita siksaan dan mati sebagai manusia agar kita memperoleh hidup kekal. Ia pun mendirikan GerejaNya, satu institusi yang hidup, dalamnya kita memperoleh bantuan yang kita butuhkan, termasuk bimbingan pasti dari para pemimpin yang telah ditunjukNya untuk kita. Mereka adalah pengganti Petrus dan para Rasul yang lain. Kalau kita hidup setia di dalam Gereja, berusaha dengan segenap hati untuk menjalankan hukum-hukumNya, kita tidak perlu takut dalam menantikan keselamatan kekal.

Hukum-hukum gereja termasuk di dalamnya hukum dan moral perkawinan. Tetapi seringkali bahkan umat sendiri merasa bahwa hukum perkawinan katolik adalah sesuatu yang out of date, kuno.

Seringkali dalam obrolan santai dengan umat, muncul ungkapan seperti ini: Rm. Menurut saya perkawinan katolik adalah neraka bagi kaum perempuan. Atau seringkali muncul omongan seperti ini: pinginnya sih tukar tambah. Nah…dibalik semua ungkapan ini, sebenarnya ada pemahaman seperti itu.

Saudara dan saudariku….
Sekali lagi, kalau kita hidup setia di dalam Gereja, berusaha dengan segenap hati untuk menjalankan hukum-hukumNya, kita tidak perlu takut dalam menantikan keselamatan kekal.

Dalam bacaan II, rasul Yakobus mengencam dengan tajam orang kaya, yang tidak bermoral. Orang kaya yang diserang Yakobus ini rupanya bukanlah orang kristen. Meskipun demikian ia ingin memperingatkan orang kristen akan bahaya memusatkan perhatian pada pengumpulan barang duniawi, khususnya apabila itu dilakukan lewat pemerasan orang miskin yang tak berdaya yang menjual tenaga kepada mereka.
Dalam kata-kata santu Yakobus ini terdapat satu peringatan untuk kita semua. Kita tidak memiliki tempat tinggal yang tetap di atas bumi ini. Tujuan hidup kita bukanlah untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan maksud agar kita bisa melewati tahun-tahun hidup kita dalam kemewahan dan kesenangan, tetapi dapat menggunakan dunia ini sebagai batu loncatan menuju tujuan kita yang sesungguhnya dalam hidup abadi. Amat disayangkan bahwa bumi ini dengan segala kekayaan dan kesenangannya menjadi daya pikat yang begitu kuat buat kita. Bagi orang tertentu kesenangan duniawi itu menjadi sekian memikat, sehingga dapat mengaburkan dan menutup tujuan hidup yang sesungguhnya.

Sebagai orang kristen kita mengetahui tujuan hidup kita yang sesungguhnya di dunia ini. Kita mengetahui rencana cinta Allah untuk kita. Kebahagiaan kekal menanti kita setelah kita meninggal, apabila kita hidup seturut hukum yang telah Allah berikan kepada kita. Dengan jaminan masa depan demikian yang menanti kita, Allah tidak menuntut terlalu banyak dari kita ketika Ia meminta kita sedikit mengambil jarak dengan barang-barang dunia ini. Tentu saja kita boleh menggunakan barang dunia ini untuk kebutuhan kita dan kita boleh bergembira dengan kesenangan hidup ini sesuai dengan keadaan hidup kita, tetapi hanya sejauh tidak bertentangan dengan kehendak Allah.

Maka marilah kita menguji hati kita dalam hubungan dengan barang-barang dunia. Apakah kita mencari lebih dari yang kita butuhkan? Apakah kita memperolehnya secara adil? Apabila status kita majikan: Apakah kita telah memberikan upah yang layak kepada pekerja kita? Apakah kita telah memperlakukan mereka sebagai sesama, sesama orang kristen, sesama peziarah ke surga? Jika kita bekerja untuk orang lain: Apakah kita bekerja sungguh-sungguh untuk upah yang kita peroleh? Apakah kita punya minat pada usaha dan keuntungan majikan? Apakah kita bersikap adil kepada sesama pekerja? Apabila setiap kita menjawab “ya” terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, maka kita telah menyimpan “harta di surga, di surga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar dan mencurinya” (Mat 6:21). Semoga.

Renungan Misa Arwah

PERINGATAN 40 HARI Bpk. Paul Ohiwutun

Bacaan: 2 Kor 5:1-10
Injil : Mat 26: 26-29

Dalam misa arwah 7 hari, Pastor Anton meminta beberapa dari kita untuk sharing pengalaman soal kesan yang kita peroleh selagi hidup bersama pak Paul. Pada kesempatan ini, saya tidak akan minta untuk melakukan hal yang sama, tapi saya mengajak kita untuk melihat bahwa ketika kita mengengankan saudara saudari kita yang telah meninggal itu berarti kita menghubungkan kembali diri kita dengan dirinya. Amatlah sangat penting bahwa dalam hidup ini kita mengenangkan kembali orang-orang yang dulu pernah hidup bersama dengan kita. Kita menghubungkan hidup kita dengan hidup mereka. Seiring dengan itu, kesedihan kita pun semakin berkurang. Dan di sinilah kemampuan daya ingat memainkan peranan yang besar. Setiap kali kita mengenang kembali kehidupan orang yang telah meninggal, kita pasti akan merasa sedih.

Sedih atau bahkan sampai menangis bukanlah sesuatu yang buruk. Bahkan dikatakan, itu baik dan bahkan perlu. Kalau kita berusaha untuk menekan perasaan sedih itu maka kita pasti akan merasa sakit.

Kita semua tentu ingin dikenang. Jesus sendiri pun ingin dikenang. Dia meninggalkan bagi kita suatu cara untuk mengenang Dia yaitu melalui Ekaristi. Pada perjamuan malam terakhir Dia bahkan mengatakan : ‘Lakukan ini sebagai peringatan akan Daku’

Dan hal yang menakjubkan dalam hal ini adalah bahwa ketika kita mengenang Yesus dengan cara ini, Dia akan hadir bersama kita. Bukan suatu kehadiran fisik tetapi secara rohani: Suatu kehadiran nyata yang mengatasi ruang dan waktu. Dengan demikian kita bisa masuk dalam suatu relasi dengan dia lebih dalam daripada relasi melalui kehadiran fisik. Kita tidak hanya berkomunikasi dengan Dia tetapi kita bersatu dengan Dia.

Orang-orang yang kita cintai yang telah meninggal dunia, tidak pernah hilang, tidak pernah dipisahkan dari kita. Jika kita mengenang mereka, maka mereka pun hadir bersama dengan kita. Bukan hanya dalam kenangan tetapi sungguh hadir…kita tidak bisa melihat, tetapi kita bisa merasakan.

Pada kesempatan ini, pertama-tama kita diajak untuk bersyukur kepada Allah atas anugerah hidup yang telah Ia berikan kepada almarhum…juga atas anugerah hidup yang telah kita terima melalui dia.

Dari sharing-sharing yang dulu, saya mendapat kesan bahwa kita semua berbangga bahwa dalam hidup ini kita mengenal dan bahkan hidup bersama Pak Paul Saya yakin keluarga pasti sangat berbangga memiliki seorang ayah seperti ini. Namun satu hal yang ingin saya katakan bahwa betapa pun baiknya seorang ayah, cintanya yang pernah kita terima masih merupakan cinta seorang manusia yang terbatas dan tidak sempurna. Kita merindukan sebuah cinta yang sungguh dapat dipercayai, sebuah cinta yang sungguh sempurna, dimana hanya Allah sajalah yang mampu memberikannya. Hanya Allah dapat memberikan apa yang kita rindukan.

Cinta seorang ayah bagi anak-anaknya mengingatkan kita akan cinta Allah. Cinta seorang ayah merupakan refleksi atas cinta Allah. Berulang kali di dalam Injil, Yesus berbicara tentang Allah dengan membandingkan cinta seorang ayah kepada anak-anaknya. Dan ketika Yesus mati, dia mempercayakan roh-Nya kepada Bapa-Nya seperti seorang anak yang menjatuhkan dirinya ke dalam rangkulan sang ayah.

Kita adalah anak-anak Allah. Ketika Allah menciptakan kita, Ia menciptakan menurut gambar dan rupa-Nya sendiri. Ketika Allah memandang kita, Allah melihat gambaran diri-Nya di dalam kita yang membuat-Nya selalu mencintai kita.

Seringkali kita diingatkan akan cinta Allah pada peristiwa-peristiwa kematian. Ketika sanak keluarga meninggal, kita merasa tak berdaya, bahwa semuanya itu berada di luar kontrol diri kita. Kita seakan berjalan sendirian. Tetapi...Allah selalu ada dalam situasi apapun. Allah tidak meninggalkan kita dalam situasi seperti ini.

Cinta Allah itu memampukan kita untuk meninggalkan dunia ini menuju suatu dunia yang baru dengan penuh harapan.

Dalam bacaan pertama tadi, rasul Paulus menegaskan kepada umat di Korintus bahwa kita hidup dalam dua dunia yakni dunia yang sekarang dan dunia yang akan datang. Dunia yang sekarang ini bersifat sementara, dunia yang penuh dengan tekanan sosial, politik, keamanan dan karena tidak kekal, hasil buatan manusia maka dunia sekarang ini bisa dibongkar.

Sebaliknya dunia yang akan datang sifatnya kekal, dunia yang penuh dengan kedamaian. Pembangunnya ialah Allah sendiri.

Allah telah memberi kita kunci untuk bisa masuk ke dalam dunia yang akan datang. Namun satu hal yang dituntut dari setiap kita yang mau masuk ke dalamnya adalah Iman, harap dan kasih. Semoga.

Pastor Tonny Blikon, SS.CC

Selasa pekan 25 - 2009

Bacaan Lukas 8:19-21
Ibu dan saudara-saudara Yesus datang kepada-Nya, tetapi mereka tidak dapat mencapai Dia karena orang banyak. Orang memberitahukan kepada-Nya: "Ibu-Mu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan ingin bertemu dengan Engkau." Tetapi Ia menjawab mereka: "Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya.

Renungan
Siapakah yang lebih anda cintai di dalam hidup ini? Allah tidak pernah bermaksud agar manusia itu hidup seorang diri. Dalam kitab kejadian, kita bisa baca bahwa ketika Allah menjadi Hawa dari tulang rusuk Adam, Allah bersabda: “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja”. Dalam kehidupan ini Allah memberikan kita banyak sekali kesempatan untuk menjalin relasi dengan anggota keluarga, sahabat, tetaangga, rekan kerja, dll.

Dalam Injil hari ini, Yesus nampaknya tidak mengakui anggota keluarganya dan familinya tetapi sebagai manusia yang utuh Yesus pasti sangat mencintai ibu dan saudara-saudaranya. Ini satu hal yang tidak dapat diragukan. Selama hidupnya Yesus selalu mengajarkan kepada para murid-nya suatu pelajaran rohani mengenia kebenaran Kerajaan Allah. Dalam Injil hari ini, ketika banyak orang berkumpul di sekitar-Nya Yesus menunjukkan suatu yang mendalam tentang relasi yaitu relasi kita dengan Allah dan dengan semua orang yang menjadi milik Allah.

Saudara dan saudariku.
Inti dari kristianitas bukanlah sebuah doktrin ajaran iman, atau sebuah ketetapan atau hukum. Tetapi yang pertama dan terutama adalah menyangkut sebuah relasi – sebuah relasi yang didasarkan atas kepercayaan, cinta, komitmen, kesetiaan, keramahan, pengertian, belaskasih, saling membantu…dan masih banyak lagi yang bisa membuat orang bersatu dalam cinta kasih. Allah menawarkan kepada kita suatu relasi dengan diri-Nya. Dan relasi yang menyangkut hati, budi dan pikiran -. Hal ini bisa kita baca dalam 1 Yoh 4: 8.16 “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih, Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.

Allah tidak pernah gagal, tidak pernah lupa, tidak pernah berbohong, dan tidak pernah mengecewakan kita. Cinta-Nya tetap teguh.

Allah akan tetap mencintai kita, apapun keadaan kita. Cinta-Nya kuat dan teguh, tak tergoncangkan. Tidak ada yang dapat memisah kita dari cinta Allah. Karena Allah adalah kasih maka Ia menciptakan kita untuk bersatu dengan Dia – Bapa, Putra dan Roh Kudus – Allah mengundan kita untuk masuk dalam persekutan kasih diri-Nya. Dalam 1 Yoh 3:1 kita baca ”Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah”. Itulah sebabnya dalam bacaan Injil hari ini Yesus menantang para pengikut-Nya untuk mengenal dan mengakui bahwa Allah adalah sumber dari segala relasi yang ada. Allah menghendaki agar segala macam bentuk relasi yang kita bangun harus di dasarkan atas cinta.

Yesus adalah cinta Allah yang menjelma menjadi manusia. Hal ini jelas kita baca dalam 1 Yoh 4: 9-10 ” Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.

Itulah sebabnya Yesus menyebut diri-Nya sebagai Gembala yang baik yang rela menyerahkan nyawaya untuk hidup domba-dombanya. Dan gembala yang senantiasa mencari dombanya yang hilang. Melalui salib Yesus-lah kita diangkat menjadi anak-anak Allah. Itulah sebabnya Yesus mengatakan kepada para murid-Nya: barangsiapa melaksanakan kehendak Allah, dialah saudaraku, dialah saudariku, dialah ibuku.

Saudara dan saudariku.
Apakah kita ingin bertumbuh di dalam cinta dan persahabatan dengan Allah? Jika kita ingin maka biarlah hati kita terbuka akan karya Roh yang senantiasa mengubah hati, budi dan pikiran kita agar kita dimampukan untuk mencintai sebagaimana Yesus telah mencintai kita. Amen.

Kesatuan antara Kitab Suci dan Tradisi

Kesatuan antara Kitab Suci dan Tradisi

Saudara dan saudariku.
Tema pengajaran bulan Kitab Suci ini adalah kesatuan antara Kitab Suci dan Tradisi. Dan tokoh ziarah bulan ini adalah St. Matius, penginjil dan St. Hironimus.

Hampir semua denominasi protestan mengatakan bahwa ’hanya Alkitab” adalah sumber iman Kristiani. Tetapi tidak untuk gereja katolik. Memang Gereja katolik juga menerima Kitab Suci sebagai dasar iman tetapi bukan satu-satunya. Karena kita juga mengakui adanya tradisi dan magisterium (hak mengajar) gereja yang tertuang dalam ajaran resmi gereja.

Dalam suatu kesempatan, Bapak Uskup Julius Kardinal pernah menyampaikan keprihatinannya bahwa banyak umat katolik tidak PD kalau berhadapan dengan sesama kita dari protestan kalau mulai membahas soal KS. Lebih lanjut Bapak Uskup menegaskan bahwa sebagai orang katolik, kita harus berbangga karena memiliki banyak kekayaan rohani. Selain KS, kita juga punya tradisi, ajaran resmi gereja dan sakramen-sakramen. Kita orang Katolik melihat KS bukan sebagai satu-satunya aturan normative tetapi KS dilihat sebagai sumber inspirasi.

Saudara dan saudariku.
Ada 3 semboyan reformasi yang dikalukan oleh kaum protestan dalam menentang gereja Katolik: ”Sola fidei, sola gracia, sola scriputra” Berkaitan dengan tema pengajaran minggu ini saya hanya ingin mempersoalkan ’Sola Scriputra’ Artinya; hanya Kitab Suci yang menjadi otoritas kebenaran. Di luar kitab suci, seperti tradisi dan ajaran gereja tidak diterima sebagai kebenaran. Tapi kalau kita teliti, tidak pernah di dalam KS diajarkan bahwa ’Hanya Alkitab saja” lah yang menjadi otoritas tunggal.

Dasar ajaran Sola Scriptura itu hanya merupakan tafsiran atas 2 Tim 3:16-17 ”Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik”.

Tetapi kalau kita teliti, kita bisa lihat bahwa Paulus tidak berkata: ”Hanya Alkitab yang diilhamkan Allah memang bermanfaat”, tetapi ia berkata: ”segala tulisan yang diilhamkan Allah”. Tulisan Para Bapa Gereja yang adalah tradisi yang dibukukan, juga diilhamkan oleh Allah

Berbicara tentang tradisi, Yesus Mat 15, tidak mengutuk semua tradisi tetapi hanya tradisi yang menyimpang.

Juga dalam 2 Tes 2:15: ”Paulus menasihatkan umatnya: ”Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.” Ajaran-ajaran yang tidak tertulis inilah yang disebut sebagai tradisi.

Jadi ajaran tentang Sola Scriptura itu tidak ada dasar dalam alkitab. Alkitab tidak pernah mengajar bahwa ia adalah otoritas satu-satunya.

Tradisi adalah ajaran yang tidak ditulis di dalam kitab suci. Mengenai ajaran yang tidak tertulis ini pun disebut dan diakui di dalam Kitab Suci. Misalnya

Kis 2:42 dikatakan bahwa jemaat perdana ”bertekun dalam pengajaran para rasul”. Jadi, jauh sebelum kitab-kitab Injil ditulis kehidupan iman gereja tergantung pada ajaran lisan para pemimpin suci yang ditetapkan oleh Tuhan.

1 Kor 15:3 ”Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci”. Di sini Paulus mengatakan bahwa kebenaran tentang Yesus yang ia terima sendiri telah ia sampaikan (dan ini secara lisan, tentunya)

Yoh 21:25 “Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu”. Yohanes mengakui bahwa yang ia tulis hanyalah hal-hal yang paling mendasar untuk keselamatan manusia.

Yoh 16: 12-13 “Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku.”. Nah…. Bagaimana Roh Kudus akan membimbing kita kepada seluruh kebenaran, jika kebenaran itu hanya dibatasi oleh tradisi yang sudah dituliskan dalam alkitab”

Bagaimana terjadinya tradisi ini?
Pada waktu Yesus masih hidup, Ia memilih para rasul, supaya mereka menemani-Nya sebagai pemberita kerajaan Allah, lalu sesudah kebangkitan-Nya menjadi saksi-Nya yang resmi sampai ke ujung bumi. Selama Yesus hidup, para rasul mengalami-Nya, tetapi belum memahami-Nya. Setelah dicurahi Roh Kudus, seluruh pengalaman yang sudah mereka miliki sehubungan dengan Yesus dan karya-Nya, mereka renungkan dan olah sedemikian rupa, sehingga mereka:
1. Memahami Yesus;
2. Mampu meneruskannya kepada generasi selanjutnya.
Pengalaman unik para rasul itu, yang kemudian mereka teruskan, disebut Tradisi Apostolik. Iman Gereja sepanjang masa bertumpu pada refleksi atas pengalaman nyata para rasul yang dibimbing oleh Roh Kudus secara istimewa itu. Gereja kristen berlandaskan Tradisi ilahi-rasuli itu. Dalam tahap awalnya, Gereja belum memiliki Perjanjian Baru tertulis.

Apa itu Tradisi?
Tradisi ialah "Sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka, dalam terang Roh kebenaran, dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia." (Dei Verbum , no.9) Para Rasul meninggalkan kepada Gereja pemberitaan hidup. Di dalamnya tercakup segala sesuatu yang mereka lakukan dan ajarkan tanpa ditulis, baik sebelum maupun sesudah tersusunnya Perjanjian Baru.
Tradisi mencakup segala sesuatu yang diteruskan oleh para rasul untuk dipelihara sebagai bagian integral iman, antara lain ajaran, persekutuan kasih, ibadah. Semuanya itu merupakan sarana untuk hidup suci dalam iman. Semuanya itu dapat diteruskan, tetapi tidak semuanya dapat diteruskan secara verbal. Vatikan II,
Dei Verbum menerangkaannya sebagai berikut, "Adapun apa yang diteruskan oleh para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadahnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, iman seutuhnya." (Dei Verbum, no.8.)

Saudara dan saudariku
Dari uraian mengenai tradisi ini jelaslah bahwa ada kaitan yang erat antara Tradisi dan Kitab Suci. Oleh karena itu, Alkitab harus ditafsirkan dalam konteks dan dalam kesatuan dengan Tradisi. Sulit membayangkan bahwa penafsiran Alkitab itu lepas dari Tradisi, sebab sebelum Alkitab ditulis, Sabda Allah itu sudah lebih dahulu dihayati dalam Tradisi.
________________________________________

Ada banyak tradisi yang tidak diterima oleh gereja sebagai sebuah tulisan suci karena tidak mengungkapkan kebenaran yang ada di dalam kitab suci.

Misalnya Injil Yudas.... Dalam Injil Yudas dikatakan bahwa Yesus tidak mati disalibkan tetapi Yudas Iskariot. Pandangannya mengatakan: Orang yang mati disalib dianggap sebagai orang yang dihukum oleh Allah sehingga Yesus tidak mungkin mati disalibkan. masakan Yesus Putra Allah dibiarkan oleh Allah untuk mati disalibkan? Sehingga pada waktu disalibkan, Yesus dengan kuasanya turun dari salib....dan digantikan dengan Yudas Iskariot..... nah itu pandangan menurut Injil Yudas...yang tentu bertentangan dengan Injil Yohanes. Dalam Yohanes 19:35 ”Dan orang yang melihat hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini dan kesaksiannya benar, dan ia tahu, bahwa ia mengatakan kebenaran, supaya kamu juga percaya”

Yohanes...murid yang dikasihi Tuhan... berdiri di bawah kaki salib Yesus.. Dia yang adalah murid yang terkasih tentu tidak mungkin salah mengenal bahwa yang tergantung di salib itu adalah Yesus, Tuhan dan Gurunya.

Dalam banyak hal, Injil Yudas, bertentangan dengan teks Injil yang kita miliki sekarang sehingga tidak diterima sebagai suatu tradisi gereja.
Ada yang bertanya: Kok kenapa hanya empat Injil? Kan ada Injil Petrus, Injil Barnabas, Injil Thomas dll....

St. Irenius (abad 2) memberikan jawabannya sbb: Hanya ada 4 kitab Injil dan sampai kapan pun tetap 4 tidak akan bertambah apalagi berkurang. Empat itu menunjuk pada 4 titik utama pada kompas penunjuk arah. Gereja menyebar ke seluruh penjuru dunia dengan 4 Injil sebagai 4 pillar utama dan sebagai empat arah mata angin yang bertiup ke mana pun umat hidup. 4 kitab itu sebenarnya merupakan satu Injil yang diinspirasikan oleh Roh Kudus.

Sebenarnya jumlah 4 ini sudah digambarkan dalam pengalaman rohani nabi Yehezkiel (Yez 1:4-10) ”Lalu aku melihat, sungguh, angin badai bertiup dari utara, dan membawa segumpal awan yang besar dengan api yang berkilat-kilat dan awan itu dikelilingi oleh sinar; di dalam, di tengah-tengah api itu kelihatan seperti suasa mengkilat. Dan di tengah-tengah itu juga ada yang menyerupai empat makhluk hidup dan beginilah kelihatannya mereka: mereka menyerupai manusia, tetapi masing-masing mempunyai empat muka dan pada masing-masing ada pula empat sayap. Kaki mereka adalah lurus dan telapak kaki mereka seperti kuku anak lembu; kaki-kaki ini mengkilap seperti tembaga yang baru digosok. Pada keempat sisi mereka di bawah sayap-sayapnya tampak tangan manusia. Mengenai muka dan sayap mereka berempat adalah begini: mereka saling menyentuh dengan sayapnya; mereka tidak berbalik kalau berjalan, masing-masing berjalan lurus ke depan. Muka mereka kelihatan begini: Keempatnya mempunyai muka manusia di depan, muka singa di sebelah kanan, muka lembu di sebelah kiri, dan muka rajawali di belakang.
Hal yang sama dilihat oleh Yohanes dalam wahyu 4:7 ”Adapun makhluk yang pertama sama seperti singa, dan makhluk yang kedua sama seperti anak lembu, dan makhluk yang ketiga mempunyai muka seperti muka manusia, dan makhluk yang keempat sama seperti burung nasar yang sedang terbang”

Keempat Injil yang kita miliki sekarang ini sangat erat kaitan dengan penglihatan-penglihatan kudus ini. Yesus tetap menjadi pusat dari ke-4 injil tersebut.

Lambang ke empat penginjil itu sama dengan lambang binatang-binatang yang digambarkan dalam penglihatan tadi.

Markus dilambangkan dengan singa karena ia mengawali pewartaannya dengan kisah tentang tampilnya Yohanes Pembaptis yang berseru di padang gurun seperti singa yang mengaum-ngaum mencari mangsanya.

Matius dilambangkan dengan suatu makluk serupa seorang manusia yang bersayap. Karena dalam Injilnya dia lebih menekankan Yesus sebagai anak manusia. Istilah ’anak manusia’ ini berakar dalam Dan 7:13-14 ”Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah”. Dalam Mat 25 tentang Pengadilan Terakhir Yesus tampil sebagai raja yang menerima kuasa dari Allah untuk menghakirim dunia.

Lukas dilambangkan dengan seekor anak lembu karena ia mengawali kisah dengan ceritra tentang nabi Zakariah yang mempersembahkan korban di Bait Allah.

Yohanes dilambangkan dengan burung rajawali karena pada awal injilnya dia berbicara tentang kekuasaan dan kemuliaan Sang Sabda yang nampaknya terlalu tinggi untuk dipahami oleh manusia (seperti En avrch/| h=n o` lo,goj( kai. o` lo,goj h=n pro.j to.n qeo,n( kai. qeo.j h=n o` lo,gojÅ Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. (Yoh 1:1).

St. Hironimus berkata: ”Ignorance of the scripture is ignorance of the Christ”

Kerendahan hati adalah dasar dari semua kegiatan legio

Bacaan Rohani Mrk 9: 30-37

Legioner yang terkasih.
Saya akan mengawali alukusio ini dengan sebuah kisah nyata tentang seorang tokoh dunia yang terkenal: Nelson Mandela. Ketika dia masih sebagai mahasiswa hukum di kota Johannesburg, dia mempunyai seorang teman yanga bernama Paul Mahabane. Paul Mahabane ini adalah seorang anggota Konggres National Africa yang terkenal sebagai orang yang sangat radikal menentang segala macam bentuk penindasan terhadap orang kulit hitam.

Pada suatu hari keduanya sedang berdiri di depan sebuah kantor pos, dan tiba-tiba datanglah seorang hakim, seorang berkulit putih yang berumur kira-kira 60-an. Hakim itu mendekatai Paul Mahabane dan meminta dia untuk masuk ke dalam kantor pos membelikan beberapa perangko. Pada waktu itu adalah hal yang biasa pada waktu kalau orang kulit putih minta orang kulit hitam untuk melakukan apa yang ia inginkan.... (misalnya... ketemu...terus bilang push up....). Pada peristiwa itu, Paul Mahabane menolak untuk membelikan perangko. Dan hakim itu sangat marah.

Dengan marah dia berteriak: “engkau tahu siapakah saya ini?

Mahabane menjawab: “tidak perlu saya tahu siapakah engkau, tetapi saya tahu orang macam apakah anda”.

Hakim tadi menjadi sangat marah...dan mengatakan.... ”Engkau akan membayar perkataanmu ini...engkau akan diseret ke dalam pengadilan” setelah itu dia pergi.

Orang kulit putih tadi yakin bahwa dia adalah bos... hanya karena dia adalah seorang hakim.... dan sudah menjadi keyakinan dia bahwa orang kulit hitam harus menjadi budak untuk melayani dia.

Kita cendrung menilai orang berdasarkan pekerjaan yang mereka lakukan. Kalau dia adalah seorang profesor atau dokter....kita memberikan penilaian yang tinggi kepada dia, tetapi berhadapan dengan seorang kuli bangunan atau tukang sapu, penilaian kita terhadap pribadinya pun tidak seberapa. Ini tentu tidak adil karena ada sesuatu yang lebih penting daripada hanya sekedar pekerjaan. Nilai seseorang tidak ditentukan oleh pekerjaannya tetapi orang seperti apakah yang ada di balik pekerjaan itu...

Beberapa hari ini media massa diramaikan dengan kasus yang menyerang beberapa anggota KPK. Pada awalnya kita mungkin menilai bahwa sebagai anggota KPK, integritas pribadi orang itu tentu sangat matang dan kuat. Mereka adalah orang yang tidak mudah dipengahuri oleh pihak manapun.... nah...kita memberikan penilaian yang tinggi kepada mereka..... tetapi setelah muncul banyak kasus akhir-akhir ini, kita baru mengerti. Sekali lagi, yang menentukan nilai seseorang adalah bukan pekerjaannya tetapi pribadi macam apakah yang ada di balik pekerjaan itu.

Kesalahan yang dilakukan oleh para murid adalah menempatkan pekerjaan atau posisi mereka sebagai yang utama... dalam pandangan mereka yang menjadi terbesar di antara mereka adalah yang mendapat kedudukan tertinggi.

Tetapi Yesus mengatakan bahwa Kerajaan-Nya bukan soal mencari penghormatan dan kedudukan pribadi tetapi soal melayani orang lain. Jika mereka siap untuk melayani orang lain, maka dengan cara demikian mereka akan mendapat kedudukan tertinggi di dalam Kerajaan-Nya. Mendapat kedudukan tertinggi di dalam Kerajaan Allah tidak berarti duduk di atas sebuah tahta atau sofa yang empuk tetapi akan direndahkan...duduk di atas lantai seakan dengan sebuah ember berisi air di tangan yang satu dan di tangan yang lain memegang sebuah handuk...mereka harus membasuh kaki dari orang-orang yang mereka layani.

Yang terpenting itu bukan apa yang kita lakukan (pekerjaan) tetapi orang seperti apakah kita. Harga diri seseorang tidak ditentukan oleh apa yang ia kerjakan.

Maria menyebut dirinya sebagai hamba Allah. Dalam kata aslinya doulas artinya seorang hamba perempuan. (perempuan dalam kebudayaan Yahudi ditempatkan sebagai orang yang tidak punya hak apa-apa). Maria menyadari bahwa segala rahmat yang ia peroleh adalah semata-mata karena kasih karunia Tuhan.

Dala buku pegangan Bab 6 point 2 dikatakan bahwa meniru kerendahan hati Maria adalah akar maupun instrumen kegiatan legioner. Api yang berkobar dalam hati legioner sejati hanay timbul dari sikap hidup sederhana yang bernilai luhur. Yang paling utama di antaranya adalah kerendahan hati. Kerendahan hati adalah sarana penting dalam kerasulan legioner. Legio sangat bertumpu kepada karya yang memerlukan pekerjaan kepribadian lembut dan sedrhana yang berasal dari kerendahan hati sejati. Kerendahan hati adalah dasar dari semua semua kegiatan legioner. Tanpa ini tidak ada kegiatan legioner yang efektif.

Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik yang disegani oleh dunia, menyebut dirinya sebagai ”servus servorum Dei” (Hamba dan semua hamba Allah).

Rasul Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Filipi mengajak umat untuk ”dengan rendah hati yang seorang mengganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri” (Flp 2:5)

Kidung Hamba Allah dalam Flp 2:5-8 kiranya memberikan inspirasi bagi kita untuk saling menjadi pelayan satu sama lain. ”Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib”

Kita bisa merenungkan dalam hati: bagaimana saya dengan pekerjaan sekarang ini bisa melayani orang lain? Semoga Tuhan memberkati karya pelayanan kita.

Pesan Bapa Suci Benediktus XVI untuk dialog antar-umat beragama

DEWAN KEPAUSAN
UNTUK DIALOG ANTAR-UMAT BERAGAMA

Umat Kristiani dan Umat Islam:
Bersama Mengentaskan Kemiskinan

PESAN UNTUK AKHR BULAN SUCI RAMADHAN
HARI RAYA IDUL FITRI 1230H/2009AD


Saudara-saudara Umat Islam yang terkasih,
1. Pada Hari Raya, ketika Anda sekalian mengakhiri bulan suci Ramadhan ini, kami ingin menyampaikan kepada Anda sekalian Ucapan Selamat kami, disertai dengan harapan akan kedamaian dan kebahagiaan bagi Anda sekalian. Melalui Ucapan Selamat ini pula kami ingin menyampaikan usulan tema yang kiranya dapat menjadi bahan permenungan kita bersama: Umat Kristiani dan Umat Islam: Bersama Mengentaskan Kemiskinan.

2. Ucapan Selamat Idul Fitri yang dikeluarkan oleh Dewan Kepausan untuk Dialog Antar-Umat Beragama seperti ini, telah menjadi tradisi yang kita pupuk bersama dan yang senantiasa menjadi kerinduan yang dinantikan setiap tahunnya. Dan ini sungguh-sungguh telah menjadi sumber kegembiraan kita bersama. Dari tahun ke tahun, di banyak Negara, hal ini telah menjadi suatu kesempatan untuk perjumpaan dari hati ke hati antara banyak Umat Kristiani dan Umat Islam. Tidak jarang pula perjumpaan itu menyapa suatu masalah yang menjadi keprihatinan bersama, dan dengan demikian membuka suatu jalan yang kodusif ke arah pergaulan yang ditandai oleh rasa saling percaya dan keterbukaan. Bukankah semua unsur ini secara langsung dapat dipahami sebagai tanda-tanda persaudaraan di antara kita, yang harus kita syukuri di hadapan Allah?

3. Berkaitan dengan tema kita tahun ini, masalah manusia yang berada dalam situasi kemiskinan adalah sebuah topik yang, dalam pelbagai iman kepercayaan, justru berada di jantung perintah-perintah agama yang kita junjung tinggi. Perhatian, belarasa dan bantuan yang kita semua, sebagai sesama saudara dan saudari dalam kemanusiaan, dapat memberikan kepada mereka yang miskin untuk membantu mereka mendapatkan tempat mereka yang sebenarnya di dalam tatanan masyarakat yang ada, adalah sebuah bukti yang hidup dari Cintakasih Allah yang Mahatinggi, sebab justru itulah yang menjadi kehendak-Nya, bahwa kita dipanggil-Nya untuk mengasihi dan membantu mereka sebagai sesama manusia tanpa pembedaan yang mengkotak-kotakkan.
Kita semua mengetahui, bahwa kemiskinan memiliki kekuatan untuk merendahkan martabat manusia dan menyebabkan penderitaan yang tak-tertanggungkan. Tidak jarang hal itu menjadi penyebab keterasingan, kemarahan, bahkan kebencian dan hasrat untuk membalas dendam. Hal itu dapat memancing tindakan-tindakan permusuhan dengan mempergunakan segala macam cara yang mungkin, bahkan tidak tanggung-tanggung memberinya pembenaran diri melalui landasan-landasan keagamaan, atau dengan merampas kekayaan seseorang bersama dengan kedamaian dan rasa amannya, atas nama apa yang dianggapnya sebagai "keadilan ilahi". Itulah sebabnya, mengapa apabila kita memperhadapkan gejala-gejala ekstremisme dan kekerasan, tidak boleh tidak kita harus mengikutsertakan juga perihal penanganan kemiskinan dengan memajukan pengembangan manusia seutuhnya. Inilah yang oleh Paus Paulus VI disebutnya sebagai "nama baru untuk perdamaian" (Ensiklik Populorum Progressio, no. 42). Dalam Ensikliknya yang baru, Caritas in Veritate, sebuah ensiklik yang membahas pengembangan manusia secara integral melalui cintakasih dan kebenaran, Paus Benediktus XVI, sambil memperhitungkan juga usaha-usaha yang dewasa ini sedang diupayakan untuk memajukan pengembangan, menggaris-bawahi adanya kebutuhan pada "suatu sintese kemanusiaan yang baru" (no 21), yang dengan mempertahankan keterbukaannya terhadap Allah, dapat memberikan kepadanya kedudukannya sebagai "pusat dan puncak" dunia ini (no. 57). Oleh karena itu, haruslah diupayakan terciptanya suatu pengembangan yang sejati "bagi manusia seutuhnya dan bagi setiap orang" (Populorum Progressio, no. 42).

4. Dalam pidatonya pada kesempatan Hari Perdamaian Sedunia, pada tanggal 1 Januari 2009, Paus Benediktus XVI membedakan dua macam kemiskinan: yakni kemiskinan yang harus diperangi dan kemiskinan yang harus dirangkul. Kemiskinan yang harus diperangi ini diketahui oleh semua orang: misalnya kelaparan, tidak adanya air bersih, pelayanan kesehatan yang sangat terbatas, papan tempat tinggal yang kurang memadai, tatanan pendidikan dan kebudayaan yang tak memadai, tuna-aksara, belum lagi bentuk-bentuk baru kemiskinan "di dalam masyarakat-masyarak at yang kaya, di mana terdapat pula bukti-bukti masih adanya marginalisasi, seperti juga adanya kemiskinan afektif, moral dan spiritual... " (Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia, 2009, no. 2).
Adapun kemiskinan yang harus dirangkul adalah gaya hidup sederhana dan mendasar, yang menghindarkan pemborosan dan menghormati lingkungan serta kebaikan ciptaan. Kemiskinan ini dapat juga, sekurang-kurangnya pada saat-saat tertentu dalam satu tahun, mengambil bentuk berupa laku matiraga dan puasa. Ini adalah kemiskinan yang menjadi pilihan sadar kita dan yang memungkinkan kita untuk melewati batas diri sendiri, dan memperluas wawasan hati kita.

5. Sebagai orang beriman, kerinduan untuk menjalin kerja-sama untuk mencari cara yang tepat dan dapat bertahan lama untuk memecahkan masalah pengentasan kemiskinan, tentu juga harus disertai dengan refleksi terhadap masalah-masalah berat jaman kita sekarang ini dan, apabila mungkin, juga dengan saling berbagi keprihatinan yang sama untuk mencabut sampai ke akar-akarnya permasalahan itu. Dalam pandangan ini, pembahasan tentang segi-segi kemiskinan yang terkait dengan gejala globalisasi dalam masyarakat-masyarak at kita dewasa ini, memiliki pula dampak spiritual dan moral, karena kita semua turut mengambil-bagian dalam panggilan yang sama untuk membangun satu keluarga umat manusia, di mana semuanya, baik pribadi-pribadi perseorangan, maupun suku dan bangsa, masing-masing bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip persaudaraan dan rasa tanggungjawabnya.

6. Dengan mempelajari secara seksama gejala-gejala kemiskinan tersebut, kita bukan saja akan dibawa sampai kepada asal-usul permasalahannya, yakni kurangnya rasa hormat kepada martabat koderati manusia, tetapi juga seharusnya mengundang kita untuk membentuk suatu solidaritas global, misalnya melalui penerapan suatu "kode etik bersama" (Paus Yohanes Paulus II, Pidato kepada Akademi Kepausan untu Ilmu Pengetahuan Sosial, 27 April 2001, no. 4), yang norma-normanya bukan saja memiliki karakter konvensional, tetapi yang tidak boleh tidak harus juga berakar pada hukum alam yang telah disuratkan oleh Sang Khalik sendiri di dalam hati nurani setiap orang (bdk Rom 2:14-15).

7. Rupanya, di pelbagai tempat di dunia ini, kita sudah melewati jenjang toleransi dan memasuki era pertemuan bersama, mulai dengan pengalaman-pengalam an hidup yang kita hayati bersama dan dengan berbagi keprihatinan nyata yang sama pula. Ini merupakan sebuah langkah maju yang penting.
Dalam membagikan kepada setiap orang kekayaan hidup doa kita, puasa kita dan saling cintakasih kita satu sama lain, tidak mungkinkah hal ini semua akan semakin menjadi daya dorong bagi dialog dari orang-orang yang justru sedang berada dalam ziarah menuju kepada Allah?
Kaum miskin bertanya kepada kita, menantang kita, tetapi di atas semuanya itu mereka mengundang kita untuk bekerja-sama untuk urusan masalah yang mulia ini, yakni mengentaskan kemiskinan.
Selamat Hari Raya Idul Fitri.

Jean-Louis Cardinal Tauran
Ketua
Uskup Agung Pier Luigi Celata
Sekretaris

Minggu Biasa ke 25_tahun B_2009

B_25th Sunday OT_2009
Tonny Blikon, SS.CC

Bacaan: I Keb 2:12.17-20 II Yak 3:6 - 4:3 Injil Markus 9:30-37

Pengantar:
Setiap kita pasti punya ambisi. Ambisi itu memang penting untuk menjadi daya gerak untuk mencapai cita-cita kita. Tetapi dalam hidup bersama, ambisi bisa menjadi penyebab perpecahan. Pada Minggu biasa 25 ini kita diundang untuk mengatasi ambisi itu dengan cara bersikap rendah hati dan mau melayani.

Dalam bacaan Injil hari ini Yesus menantang kita untuk menjadi hamba dari semua orang. Inilah cara yang paling praktis dan efektif untuk mengatasi pertentangan di antara umat Allah, sebagaimana terungkap dalam bacaan kedua nanti.

Dalam perayaan Ekaristi ini, marilah kita mohon rahmat dari Allah untuk bisa melayani demi cinta dan karena cinta.

Homili:

Saudara dan saudariku
Saya akan mengawali renungan ini dengan sebuah kisah nyata tentang seorang tokoh dunia yang terkenal: Nelson Mandela. Ketika dia masih sebagai mahasiswa hukum di kota Johannesburg, dia mempunyai seorang teman yanga bernama Paul Mahabane. Paul Mahabane ini adalah seorang anggota Konggres National Africa yang terkenal sebagai orang yang sangat radikal menentang segala macam bentuk penindasan terhadap orang kulit hitam.

Pada suatu hari keduanya sedang berdiri di depan sebuah kantor pos, dan tiba-tiba datanglah seorang hakim, seorang berkulit putih yang berumur kira-kira 60-an. Hakim itu mendekatai Paul Mahabane dan meminta dia untuk masuk ke dalam kantor pos membelikan beberapa perangko. Pada waktu itu adalah hal yang biasa pada waktu kalau orang kulit putih minta orang kulit hitam untuk melakukan apa yang ia inginkan.... (misalnya... ketemu...terus bilang push up....). Pada peristiwa itu, Paul Mahabane menolak untuk membelikan perangko. Dan hakim itu sangat marah.

Dengan marah dia berteriak: “engkau tahu siapakah saya ini?

Mahabane menjawab: “tidak perlu saya tahu siapakah engkau, tetapi saya tahu orang macam apakah anda”.

Hakim tadi menjadi sangat marah...dan mengatakan.... ”Engkau akan membayar perkataanmu ini...engkau akan diseret ke dalam pengadilan” setelah itu dia pergi.

Orang kulit putih tadi yakin bahwa dia adalah bos... hanya karena dia adalah seorang hakim.... dan sudah menjadi keyakinan dia bahwa orang kulit hitam harus menjadi budak untuk melayani dia.

Saudara dan saudariku
Kita cendrung menilai orang berdasarkan pekerjaan yang mereka lakukan. Kalau dia adalah seorang profesor atau dokter....kita memberikan penilaian yang tinggi kepada dia, tetapi berhadapan dengan seorang kuli bangunan atau tukang sapu, penilaian kita terhadap pribadinya pun tidak seberapa. Ini tentu tidak adil karena ada sesuatu yang lebih penting daripada hanya sekedar pekerjaan. Nilai seseorang tidak ditentukan oleh pekerjaannya tetapi orang seperti apakah yang ada di balik pekerjaan itu...

Beberapa hari ini media massa diramaikan dengan kasus yang menyerang beberapa anggota KPK. Pada awalnya kita mungkin menilai bahwa sebagai anggota KPK, integritas pribadi orang itu tentu sangat matang dan kuat. Mereka adalah orang yang tidak mudah dipengahuri oleh pihak manapun.... nah...kita memberikan penilaian yang tinggi kepada mereka..... tetapi setelah muncul banyak kasus akhir-akhir ini, kita baru mengerti. Sekali lagi, yang menentukan nilai seseorang adalah bukan pekerjaannya tetapi pribadi macam apakah yang ada di balik pekerjaan itu.

Dalam bacaan Injil hari ini, kesalahan yang dilakukan oleh para murid adalah menempatkan pekerjaan atau posisi mereka sebagai yang utama... dalam pandangan mereka yang menjadi terbesar di antara mereka adalah yang mendapat kedudukan tertinggi. Mereka jelas berpikir bahwa Yesus akan membangun sebuah kerajaan duniawi karena itu mereka masing-masing ingin mendapat posisi yang tertinggi di dalam kerajaan-Nya.

Tetapi Yesus mengatakan bahwa Kerajaan-Nya buakn soal mencari penghormatan dan kedudukan pribadi tetapi soal melayani orang lain. Jika mereka siap untuk melayani orang lain, maka dengan cara demikian mereka akan mendapat kedudukan tertinggi di dalam Kerajaan-Nya. Mendapat kedudukan tertinggi di dalam Kerajaan Allah tidak berarti duduk di atas sebuah tahta atau sofa yang empuk tetapi akan direndahkan...duduk di atas lantai seakan dengan sebuah ember berisi air di tangan yang satu dan di tangan yang lain memegang sebuah handuk...mereka harus membasuh kaki dari orang-orang yang mereka layani.

Yang terpenting itu bukan apa yang kita lakukan (pekerjaan) tetapi orng seperti apakah kita. Harga diri seseorang tidak ditentukan oleh apa yang ia kerjakan.

Banyak studi psikologi sekarang mengembangkan ilmu tentang pengembangan diri. Dan saya kira ini penting karena inilah yang mendasari segala hal yang kita lakukan. Jika kita ingin bermegah atas diri kita, maka kita harus melakukan sesuatu yang dapat membuat kita bermegah. Pekerjaan apakah itu yang dapat membuat kita bermegah? Yesus dalam bacaan Injil hari ini dengan tegas mengatakan bahwa pekerjaan itu adalah mencintai dan melayani.
Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik yang disegani oleh dunia, menyebut dirinya sebagai ”servus servorum Dei” (Hamba dan semua hamba Allah).

Rasul Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Filipi mengajak umat untuk ”dengan rendah hati yang seorang mengganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri” (Flp 2:5)

Dalam bacaan II tadi kita mendengar terjadinya kekacauan di antara jemaat karena mereka masing-masing tidak mau merendahkan diri dan menjadi pelayan atau hamba bagi satu sama lain. Mereka saling menghadang satu sama lain sebagaimana terungkap dalam bacaan pertama hari ini.

Saudara dan saudariku.
Kidung Hamba Allah dalam Flp 2:5-8 kiranya memberikan inspirasi bagi kita untuk saling menjadi pelayan satu sama lain. ”Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib”

Kita bisa merenungkan dalam hati: bagaimana saya dengan pekerjaan sekarang ini bisa melayani orang lain? Semoga Tuhan memberkati karya pelayanan kita.