Minggu III Prapaskah - Tahun C - 2010


Tonny Blikon, SS.CC

Kel 3:1-8, 13-15 I Kor 10:1-6, 10-12 Luk 13:1-9

Saudara dan saudariku
Tema minggu pengajaran pada bulan Maret ini adalah Sakramen Rekonsiliasi. Akan tetapi sebelum berbicara mengenai hal itu, saya ingin mengajak kita untuk melihat bacaan pertama hari ini; tentang penampakan Allah kepada Musa. Dalam permenungan saya, ada 2 hal menarik yang kiranya perlu mendapat perhatian kita bersama.

Pertama, penampakan itu terjadi bukan dalam Bait Allah atau di suatu tempat ibadat tertentu, tetapi di padang gurun – salah satu tempat yang sangat profan – kalau kita mau membedakan antara ‘yang kudus’ dan ‘yang profan’.

Kedua, penampakan itu terjadi bukan pada saat Musa berdoa tetapi ketika ia sedang melakukan pekerjaannya sehari-hari; menggembalakan kawanan domba milik Yitro, mertuanya.

Jadi, Allah menampakan diri-Nya kepada Musa di tempat yang sangat biasa – profan dan ketika ia sedang sibuk melakukan tugas kesehariannya.

Saudara dan saudariku.
Manusia zaman ini semakin kehilangan cita rasa akan kekudusan dan kehadiran Allah dalam dunia. Dunia telah menjadi tempat yang sangat profan. Di dalam gereja saja, yang notabene sebagai tempat kudus, yang dikhususkan bagi doa dan ibadat orang ribut dan lari ke sana ke mari. Atau sesudah misa, orang menjadikan tempat ini sebagai tempat ngobrol, bergossip ria …. apalagi kalau di luar gereja atau tempat ibadat lainnya. Singkatnya manusia mulai kehilangan cita rasa akan kekudusan dan kehadiran Allah dalam dunia.

Dengan ilmu pengetahuan, manusia merasa bisa menjelaskan segala sesuatu yang terjadi tanpa mau mengakui peranan Allah di balik setiap peristiwa yang terjadi. Untuk orang zaman ini, istilah ‘misteri’ itu tidak terlalu dipandang karena sesuatu yang belum bisa terungkap itu hanya tinggal menunggu waktu saja. Manusia merasa bahwa semua peristiwa alam maupun sosial bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Hal ini berakibat bahwa manusia sudah sangat sulit untuk mengenal kehadiran Allah dalam setiap peristiwa alam atau peristiwa hidupnya setiap hari. Orang tidak lagi mengakui kehadiran Allah dalam kesibukannya setiap hari atau orang tidak lagi mengikutsertakan Allah dalam kesibukannya setiap hari.

Namun dalam bacaan I hari ini kita mendengar bahwa Allah justru membuat diri-Nya dikenal dalam dunia yang sangat profan dan ketika Musa sibuk dengan ruthinitas hariannya. Perbedaan antara ’yang profan’ dan ’yang kudus’ itu hanyalah kategori manusia tetapi bagi Allah semua tempat adalah kudus. Allah tidak hanya hadir di gereja dan pada hari minggu atau ketika kita sedang berdoa saja tetapi Allah dapat membuat diri-Nya hadir dan dikenal dalam situasi yang sangat biasa. Bacaan pertama hari ini mengajak kita untuk mengenal Allah dalam ruthinitas harian kita. Kita diajak untuk mengenal gerakan roh Kudus yang membimbing kita dalam setiap tindakan harian.

Saudara dan saudariku
Tadi dikatakan bahwa ketika Musa diliputi oleh kekaguman akan semak berduri yang bernyala tetapi tidak terbakar itu, ia ingin mendekat dan melihat apa yang terjadi. Tetapi Allah berfirman kepadanya: ”Musa! Musa! Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkan kasutmu dari kakimu, sebab tempat, dimana engkau berdiri itu adalah tanah yang kudus.”

Allah mengatakan bahwa tanah di mana Musa berdiri adalah tanah yang kudus. Suatu pertanyaan untuk kita: Mengapa sejengkal tanah di mana Musa berdiri itu adalah tanah yang kudus? Apa yang membuat tanah itu menjadi tanah yang kudus?

Karena Kehadiran Allah. Kehadiran Allah-lah yang membuat tanah di mana Musa berdiri itu adalah tanah yang kudus.

Kita semua yang hadir sekarang ini sedang berdiri di atas tanah yang kudus karena kehadirian Allah yang memenuhi tempat ini. Kalau orang tidak lagi menyadari bahwa gereja ini adalah tempat yang kudus, itu berarti ia tidak lagi menyadari kehadiran Allah di dalam gereja ini.

Saudara dan saudariku
Kalau tempat di mana kita berdiri atau duduk sekarang ini adalah tempat yang kudus, lantas apa yang harus kita lakukan? Kita memang tidak perlu menanggalkan kasut seperti Musa dalam bacaan I tadi atau seperti orang muslim yang mau masuk Masjid, tetapi satu hal yang harus kita miliki sebelum masuk ke dalam gereja atau selama berada di dalam gereja adalah rasa hormat. Rasa hormat karena kehadiran Allah yang memenuhi tempat ini. Allah sungguh hadir di tempat ini... tetapi hendaknya kita juga ingat – seperti dalam bacaan I tadi – bahwa Allah hadir tidak hanya di tempat ini, tetapi Allah bisa dijumpai di mana saja. Artinya bahwa di mana pun kita berada, kita berdiri di atas tanah yang kudus karena bagi Allah seluruh dunia ini adalah tempat yang kudus.

Saudara dan saudariku
Hari ini Allah menyapa setiap kita dengan mengatakan: ”....tempat di mana engkau berdiri adalah kudus”. Seluruh dunia yang telah Allah berikan kepada kita adalah tanah yang kudus. Hal ini berarti bahwa kita harus memperlakukan lingkungan di mana kita tinggal sebagai tempat di mana kita bisa berjumpa dengan Allah.

Saudara dan saudariku
Berbicara tentang ’tanah yang kudus’ bukanlah sesuatu yang berada di luar diri kita tetapi pertama dan terutama adalah sesuatu yang ada di dalam diri kita.

Pertama adalah Tubuh. Tubuh kita adalah ’tanah’ yang kudus karena tubuh adalah karya Allah. Oleh karena itu, kita harus menghormati dan menjaga tubuh kita. St. Paulus memberikan alasan mengapa kita harus menghargai tubuh kita dengan mengatakan: ”tubuhmu adalah kenisah Roh Kudus yang telah diberikan Allah” (1 Kor 6:19)

Kedua adalah pikiran. Pikiran kita adalah ’tanah yang kudus.’ Banyak orang suka mengisi pikiran mereka setiap hari dengan hal-hal yang kotor yang diterima dari televisi, radio, majalah, internet dll. Setiap hari pikiran kita dicecokin dengan berita-berita tentang kejahatan, ketidakadilan, gossip, pornografi dll. Acara TV yang paling diminati oleh kaum ibu adalah gossip, silet, kabar-kabari.... St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi mengatakan: ”Pikirkanlah selalu tentang segala yang benar, kudus, adil, murni, yang indah dan luhur. Perhatikanlah segala yang patut dipuji dan dikagumi” (Flp 4:8). Sekali lagi, pikiran kita adalah ’tanah yang kudus; oleh karena itu baiklah kita mengikuti nasihat St. Paulus di atas.

Ketiga adalah hati. Hati merupakan tanah yang paling kudus yang terdapat di dalam diri kita. Manusia zaman ini lebih mementingkan penampilan luar. Mereka lebih memperhatikan kebersihan luar yang bisa dilihat tetapi mengabaikan kebersihan dan kemurnian dari dalam yaitu kemurnian hati. Yesus pernah berkata: ”tidak ada sesuatu pun dari luar yang masuk ke dalam manusia dapat menajikannya. Apa yang yang keluar dari manusia, itulah menajikan. Sebab pikiran jahat keluar dari hati” (Mrk 7: 15, 21).

Segala pikiran, perkataan dan perbuatan kita berasal dari hati. Hati merupakan inti kepribadian seseorang. Hati itu bagaikan sumber mata air tersembunyi yang mengalirkan hasrat, keinginan, perkatan dan tindakan kita. Jika sumber itu bersih maka semua yang berasal dari padanya akan bersih pula.

Karena itu saudara dan saudariku marilah kita berusaha untuk menjaga hati kita agar tetap bersih dan murni supaya kita bisa berjumpa dan mengalami Allah. Yesus pernah berkata: ”berbahagialah orang yang murni hatinya karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8)

Nah bagaimana menjaga hati kita agar tetap bersih dan murni? Yaitu melalui sakramen rekonsiliasi; sakramen yang paling tidak populer di kalangan orang katolik sendiri.

Saya akan mengajak kita untuk melihat tradisi pertobatan ini dalam sejarah gereja Katolik. Konsili Nicea I tahun 325 menegaskan bahwa ”Orang Kristen yang berdosa berat tetap diterima sebagai warga gereja walaupun mereka dilarang menerima Komuni dalam perayaan Ekaristi. Mereka baru di ijinkan mererima Komuni lagi setelah menjalani suatu proses pertobatan yang cukup lama dan berat.”

Saya kira ajaran klasik ini perlu ditekankan kembali. Kenyataan banyak umat menerima komuni suci dalam keadaan tidak berahmat. Hal ini disebabkan karena hilangnya cita rasa akan kekudusan dan cita rasa akan dosa.

Konsili Toledo III (tahun 589) mempertahankan tradisi lama dalam hal pertobatan ini dimana seorang pendosa berat harus menjalani masa penitensi yang cukup lama dan berat. Selama masa penitensi, ia dilarang menerima Komuni dalam perayaan ekaristi, baru setelah ia mendapat ABOLUSI didepan seluruh umat, dan diijinkan menerima komuni lagi sebagai lambang bahwa ia diterima kembali menjadi warga penuh dalam jemaat.

Konsili Lateran IV mengajarkan bahwa setiap orang Kristen yang sudah menggunakan akal wajib melaksanakan pertobatan dan menerima pengampunan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.

Pertobatan tersebut harus dilakukan secara rahasia di hadapan pastornya masing-masing.... Dalam Konsili tersebut, juga ditegaskan bahwa imam punya kewajiban berat untuk merahasiakan apapun yang ia ketahui dari pengakuan dosa yang dilayaninya. Imam yang membocorkan rahasia pengakuan dosa akan mendapat sanksi berat dari pimpinan gereja, yakni di jebloskan ke biara tertutup untuk melakukan penitensi seumur hidup.

Saudara dan saudariku.
Ada yang pernah mempersoalkan: ”mengapa kita harus mengaku dosa ke pastor? Bukankah pastor juga adalah manusia?

Saudara dan saudariku
Setiap sakramen baru sah dan berdaya guna atau berbuah kalau mempunyai dua unsur yang penting di dalamnya yaitu Forma dan Materi. Misalnya sakramen baptis: Materi: air; sedangkan Forma: Aku membaptis engkau dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.

Atau sakramen perkawinan, materi: seorang pria dan seorang wanita yang belum pernah menikah atau tidak terhalang oleh hukum gereja. Sedangkan Forma: di hadapan imam dan dua orang saksi.

Demikian pun sakramen rekonsiliasi. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita bisa langsung mengaku begitu saja kepada Allah seperti kaum protestan. Sekali lagi setiap sakramen itu baru punya daya kalau memiliki dua unsur di dalamnya yaitu Forma dan Materi.

Apakah yang menjadi Forma dan Materi dari sakramen rekonsiliasi?

Dalam konsili Florence tahun 1439 ditegaskan bahwa quasi-materia dari sakramen tersebut adalah hal-hal yang dilakukan penitent, yakni : Contritio (sesal sempurna atas dosa-dosa dan niat untuk tidak berdosa lagi), Confessio (pengakuan dosa secara utuh di depan seorang imam), Satisfactio (perbuatan-perbuatan silih yang sesuai dengan beratnya dosa, seperti disarankan imam pelayan sakramen ini dan biasanya terdiri dari doa, puasa dan derma). Sedangkan Formanya adalah kata-kata absolusi: ”Yesus telah memberikan kuasa kepada para murid-Nya untuk mengampuni dosa dengan mengatakan: ”apa yang kamu ikat di bumi akan terikat di surga dan apa yang kamu lepaskan di bumi akan terlepas di surga. Melalui kuasa Roh Kudus dalam urapan imamat, saya mewarisi kuasa tersebut, maka kini atas nama gereja saya melepaskan engkau dari belenggu dosa-dosamu itu.......

Jika demikian maka buah dari sakramen itu adalah pengampunan atas dosa-dosa yang diakui tadi.


Saudara dan saudariku
Tadi sudah saya singgung soal pandangan orang protestan tentang tidak perlunya mengakui dosa kepada para imam. Mereka mengatakan pengampunan dosa, bukanlah sebuah sakramen. Hal ini muncul pada abad 16.

Untuk menanggapi pandangan itu, para uskup berkumpul dalam Konsili Trente tahun 1551 dan menegaskan kembali soal ajaran tradisional tentang sakramen tobat. Mereka mengatakan: Sakramen tobat sungguh sungguh perlu bagi semua ornag yang telah melakukan dosa berat agar ia kembali memperoleh rahmat dan pembenaran. Jadi bukan sekali baptis dan beres karena sudah dibenarkan dalam iman.

Hal lain yang dikatakan oleh para uskup pada saat itu adalah: pada saat Tuhan Yesus masih hidup di dunia, pertobatan memang belum menjadi sakramen, tetapi setelah kebangkitan-Nya, Ia menciptakan sakramen tobat dengan cara menghembusi para rasul dengan bersabda: ”Terimalah Roh Kudus, Jika kamu mengampuni dosa seseorang, ia diampuni, Jika kamu tidak mengampuni dosa seseorang, iapun tidak diampuni.” Yoh 20:22-23.

Saudara dan saudariku
Sudah beberapa kali saya sampaikan apa yang dikatakan oleh Yesus dalam suatu penampakan-Nya kepada Sta. Maria Faustina: Yesus bahkan mendesak St. Faustina untuk mengatakan hal ini: “Katakanlah kepada jira-jiwa yang Madang untuk datang kepada kerahiman-Ku. Datanglah kepada-Ku di kamar pengakuan. Untukmu telah Ku-dirikan tahkta kerahiman-Ku di dunia ini – yaitu sakramen rekonsiliasi. Yang kamu jumpai di sana bukanlah seorang manusia, tetapi Aku sendirilah yang akan bertindak. Aku akan mencurahkan kerahiman-Ku selebar-lebarnya bagi jira yang datang kepada kerahiman-Ku dengan penuh kepercayaan”

Saudara dan saudariku.
Masa prapaskah ini merupakan masa penuh rahmat di mana kita semua diajak untuk bertobat dan membarui relasi kita dengan Allah dan sesama.

Dalam dekrit Misericordiam Suam (Introduksi tata ibadat tobat) dikatakan bahwa waktu terbaik untuk pelayanan sakramen ini adalah masa Pra-Paskah. Karena itu marilah kita gunakan saat penuh rahmat ini dengan baik. Untuk itu mulai minggu ini, satu jam sebelum misa, kami para imam stand by di kamar pengakuan. Umat bisa datang untuk boleh mengalami kasih dan Kerahiman Yesus yang mengalir dari sana.