Berburu Senyuman

Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

“Betapa indahnya sebuah senyuman di dunia ini ?”, kataku pada diriku sendiri. Senyuman sudah menjadi barang langka di dunia yang banyak beban. Banyak orang pelit tersenyum, padahal tersenyum itu tidak mengeluarkan biaya. Sudah gratis, senyuman menyehatkan jiwa. Senyuman membuat wajah enak dipandang dan yang memandangnya pun ringan bebannya.

Di malam yang sunyi aku berburu senyuman. Pada malam itu, aku tidak mempunyai kesempatan untuk memejamkan mataku walaupun hanya sekejap. Ketika kebanyakan orang sedang menikmati mimpi malam, aku harus menyusuri Jakarta Pusat untuk memberikan Sakramen Perminyakan Suci kepada seorang pemuda lajang yang sakit keras. Dalam perjalanan pulang, seorang anggota Persekutuan Doa Karismatik menghubungi aku lewat handphoneku agar aku mengurapi dengan minyak suci kepada seorang bapak yang sedang menghadapi akhir hayatnya di sebuah rumah sakit di Serpong. Prinsipku adalah handphoneku ada agar umat bisa menghubungi aku kapan saja, khususnya untuk pelayanan orang-orang sakit. Kebahagiaan spiritual memenuhi diriku karena bisa melaksanakan tugas imamatku untuk menghadirkan Kristus kepada orang-orang sakit di tengah malam. Tidak lama kemudian kebahagiaan itu berubah menjadi kesedihan. Aku mendapatkan kabar duka cita bahwa kedua orang yang baru saja aku urapi dengan minyak suci sudah menghadap Tuhan. Senyumku tiba-tiba hilang ditelan duka. Perasaanku tenggelam dalam duka orang-orang yang baru saja ditinggalkan oleh anggota keluarganya. Aku juga mulai takut disebut “imam pencabut nyawa”.

Esok harinya seseorang menginformasikan kepadaku bahwa seorang nenek memintaku untuk mendoakannya karena keadaannya sudah gawat. Iblis ‘keraguan’ mulai menggodaku : “Jangan-jangan, nenek itu akan meninggal dunia seperti dua orang sebelumnya ketika aku mengunjunginya”. Ketika masuk ke kamarnya, aku kaget ternyata nenek itu tidak terbaring lemah dengan nafas satu dua yang keluar dari hidungnya. Nenek itu duduk di tempat tidurnya sedang mendaraskan doa rosario. Nenek itu enam bulan sebelumnya menjalani operasi jantung. Biasanya orang yang mengalami sakit seperti ini sering gelisah dan banyak keluh kesah. Nenek ini tampil beda. Ia tidak menampilkan rasa sakitnya. Ia selalu menebarkan senyuman manisnya. Setelah menerima komuni suci, senyumannya semakin menawan : “Romo, aku hari ini bahagia sekali. Tuhan datang kepadaku. Kebahagiaanku akan menambah umurku walaupun sakit jantung mengiringi hidupku”. Nenek ini sudah lama tidak mendapatkan kunjungan imam. Kunjungan imam dengan Hosti merupakan kerinduannya sebagai seorang aktivis gerejani di masanya yang sehat. Sejak itu ia selalu mengucapkan “selamat malam’ kepadaku melalui sms. Itulah yang mengharukan dan meneguhkan pelayananku. Yang teringat selalu dibenakku adalah wajahnya yang memancarkan sinar sukacita.

Aku harus tersenyum setiap saat. Tersenyum merupakan ungkapan pengharapan. Orang berpengharapan senantiasa tersenyum untuk melupakan masalahnya. Masalahnya telah dilupakannya karena yakin bahwa Tuhan akan mengangkatnya. Orang yang pessimist lupa tersenyum karena mengikatkan diri pada masalahnya. Mukanya menjadi jutek dan bibirnya manyun yang bisa membuat orang muak melihatnya. Wajah tersenyum menarik hati banyak orang seperti gula mengundang datangnya semut-semut. Senyuman akan mengubah dunia. Kebahagiaan dunia tergantung pada senyuman. Dunia bagaikan sebuah cermin dihadapan anda. Tersenyumlah dihadapannya, dan ia akan membalas senyuman anda. Tersenyum mengubah kekurangan menjadi keindahan. Senyuman membuat nasi bungkus terasa lezat. Senyuman akan melenyapkan penyakit yang menggerogoti raga : “Hati yang bergembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang” (Amsal 17:22). Tersenyumlah senantiasa, maka Tuhan Yesus yang diwartakan akan didatangi banyak orang. Tanpa senyuman, pewartaan akan sia-sia karena akan diabaikan oleh mereka. Ingatlah, tersenyum tidak merugikan, tetapi mendatangkan berkat ! Tuhan memberkati.

Tertawalah

Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC


Penyesalan bukan sekedar sebuah kata. Penyesalan merupakan kekuatan yang dapat merongrong semangat kehidupan. Pada suatu hari aku terlambat mengucapkan selamat “ulang tahun pernikahan” kepada sepasang suami istri yang sudah seperti keluargaku sendiri. Kekecewaan tampak dari raut muka mereka. Segala dalih yang aku lontarkan kepada mereka tidak memperbaiki situasi batin mereka. Bagi mereka hal itu tidak seharusnya terjadi bagi orang yang dekat. Penyesalan itu telah menguras energi. Apapun yang aku lakukan kandas pada kegagalan. Satu kalimat yang menghabiskan tenagaku : “Moment itu tak terulang kembali”.

Penyesalan terus menerus membuat hidup lari di tempat, seperti lari di atas mesin treadmill. Hidup berjalan tanpa tujuan. Prinsip hidup ini aku dapatkan pada saat memberikan pengajaran kepada komunitas PERDUKI (Persekutuan Doa Usahawan Katolik Indonesia) Chapter Pusat di Pacenongan-Jakarta Pusat. “Ilalang di antara Gandum” merupakan temanya. Wajah-wajah yang ramah menyambut umat yang datang dengan berbagai macam sisa-sisa kepahitan dan tentu juga kelimpahan berkat Tuhan.

Sepasang suami istri memintaku mengolah sharing mereka dan membagikannya kepada sebanyak mungkin umat. Sharing ini tentang bagaimana mereka melompat keluar dari kegelapan sumur penyesalan. Tuhan Allah tidak menghabisi orang jahat (ilalang), tetapi membiarkannya hidup bersama dengan orang baik (gandum) untuk memberikan kesempatan baginya agar berubah sampai pada hari penghakiman (masa penuaian). Mereka sangat bahagia pada dua tahun pertama pernikahan mereka walaupun mereka harus hidup sederhana. Perkawinan mereka disegarkan dengan lagu “Tulang Rusuk” yang mereka nyanyikan pada saat santai. Lagu “Tulang Rusuk” itu sangat mengesankan karena dinyanyikan sebelum mereka mengikrarkan janji perkawinan di depan altar. Lagu itu membuat mereka selalu merasa menjadi pengantin baru. Kebahagiaan mereka kemudian ditelan oleh setan kesombongan. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bintang istri jauh lebih bersinar daripada suaminya. Sang istri tanpa sadar, baik dengan kata-kata maupun dengan sekedar sikap, telah meremehkan suaminya. Suaminya pun merasa minder dihadapan istrinya yang mandiri. Rumah pun menjadi tempat yang membosankan. Tidak ada lagi kata cinta dan cita-cita. Sang suami kadang-kadang bertanya pada dirinya sendiri : “Jangan-jangan ia bukan tulang rusukku. Aku telah mengambil tulang rusuk yang salah”. Ia jatuh dalam perselingkuhan. Perselingkuhannya begitu rapi sehingga tidak terdeteksi oleh istrinya. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Sepandai-pandainya ia menyembunyikan penyelewengannya akhirnya terungkap dengan sendirinya. Pada suatu sore, seorang ibu datang ke rumahnya menyerahkan bayi merah dengan deraian air mata kepada istrinya : “Bayi ini adalah bayi suami ibu. Aku serahkan bayi ini kepadamu”. Ia seakan-akan disambar petir di siang bolong”. Semua kekuatannya hilang sehingga ia terkapar tak berdaya di sofa. Suaminya mengakui perbuatannya. Suaminya itu akhirnya meninggalkan keluarganya. Ia menitipkan bayi itu di sebuah biara. Mereka saling menyesali pernikahan mereka. Mereka saling menyalahkan. Penyesalan itu telah menghancurkan segala segi kehidupan mereka. Tuhan tidak tega melihat kehancuran mereka. Ia memulihkan keluarga mereka secara ajaib. Tak terduga mereka pada malam itu datang pada acara PERDUKI ini dari tempatnya masing-masing. Mereka bertemu di lift. Tanpa kata, tetapi ada dorongan dari hati untuk saling meminta maaf dan memaafkan. Rekonsiliasi terjadi di sebuah ruangan tidak lama setelah acara pujian dan penyembahan berakhir. Sang istri dengan sesenggukan berkata : “Tuhan, mampukan aku untuk menghilangkan akar kepahitan atas perbuatan suamiku sehingga aku dapat memaafkannya dan terlebih-lebih bisa menerima bayinya”. Suaminya membelai rambut istrinya dengan membisikkan sebuah kata : “Aku minta maaf karena telah melukai hatimu. Aku tidak lagi mengikuti bujukan setan Lucifer”. Mereka akhirnya sepakat untuk mengambil bayi yang dititipkan di susteran dan menjadikannya bagian dalam keluarganya.

Penyesalan itu bagaikan air yang tertumpah dari ember di mana kita tidak mungkin mengambilnya kembali. Penyesalan boleh-boleh saja, tetapi jangan keterusan. Hidup bisa berantakan karena sibuk dengan mencari-cari alasan bahwa ini bukan salah saya. Lebih baik katakan “Ya, aku salah”, maka penyesalan akan bermakna karena menjadi pijakan perubahan. Bukalah jendela kamar anda dan nikmatilah secercah cahaya pagi yang cerah. Tertawalah sejenak menyambut cahaya ilahi itu, maka hidup anda seluruh hari dibawah kendali Tuhan. Hidup di dalam tangan Tuhan menjauhkan kita berkubang dengan penyesalan. Berkubang dengan penyesalan membuat mulut bersungut-sungut dan melontarkan kemarahan : “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda….” (Filipi 2:14-15). Berkubanglah dengan cahaya Tuhan, maka hidup anda senantiasa berada di jalan yang benar. Berjalan di jalan Tuhan memberikan rasa aman seperti seorang anak kecil di pangkuan ayahnya. “MakaYesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah-tengah mereka lalu berkata : Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mateus 18:2-3). Tuhan memberkati.

Pesan Bapa Suci Benedictus XVI untuk Kaum Muda

disampaikan pada Hari Orang Muda Sedunia ke 26, tahun 2011 di Madrid

“Berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman” (bdk. Kol 2:7)

Sahabat muda terkasih,

Saya sering mengingat kembali Hari Orang Muda Sedunia di Sidney pada tahun 2008 silam. Di sana, kita merayakan pesta iman, saat Roh Allah secara giat bekerja di tengah-tengah kita semua, dan membangun komunitas rohani yang secara sungguh-sungguh dapat saling berbagi dalam satu iman, di antara para peserta yang datang dari berbagai belahan dunia. Pertemuan tersebut, seperti perjumpaan-perjumpaan sebelumnya, berbuah lebat dalam hidup banyak orang muda dan hidup Gereja. Sekarang kita menuju Hari Orang Muda Sedunia berikutnya, yang akan terselenggara di Madrid pada bulan Agustus 2011. Mengingat kembali masa pada tahun 1989, beberapa bulan sebelum hari bersejarah keruntuhan tembok Berlin, peziarahan orang muda seperti ini pernah dilakukan di Spanyol pula, waktu itu di Santiago de Compostela. Sekarang, saat masyarakat Eropa sedang dalam kebutuhan besar untuk menemukan kembali akar Kekristenan mereka, pertemuan kita akan mengambil tempat di Madrid, dengan tema : “Berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman” (bdk. Kol 2: 7). Saya menyemangati Anda untuk mengambil bagian dalam peristiwa ini, yang merupakan peristiwa penting bagi Gereja di Eropa dan bagi Gereja sedunia. Saya mengajak kalian semua orang muda, baik yang saling berbagi iman dalam Yesus Kristus, maupun kalian yang ragu dalam ketidakpastian, atau kalian yang tidak percaya akan Dia, untuk berbagi pengalaman ini, yang akan membuktikan kepastian hidup kalian. Inilah pengalaman akan Tuhan Yesus yang bangkit dan hidup, dan pengalaman akan kasihNya bagi kita masing-masing.

1. Pada sumber Keinginanmu yang terdalam

Dalam setiap periode sejarah kehidupan, termasuk periode kita, banyak orang muda memiliki kerinduan yang mendalam akan relasi pribadi, yang ditandai oleh kebenaran dan solidaritas. Banyak dari mereka membangun hubungan persahabatan yang tulus, untuk mengenal cinta sejati, untuk memulai hidup berkeluarga yang diharapkan manunggal bersatu, untuk mencapai kepenuhan pribadi dan kemapanan hidup yang nyata, serta semua hal yang menjamin masa depan yang bahagia dan tenang. Ketika mengenangkan masa muda saya sendiri, saya tersadar bahwa kemapanan dan perasaan aman nyaman bukanlah pertanyaan yang memenuhi pemikiran generasi muda. Memang cukup benar, bahwa pentinglah memiliki pekerjaan agar dengan itu memiliki pijakan yang kokoh. Namun selain itu, tahun-tahun masa muda merupakan juga waktu, saat kita mencari yang terbaik dari hidup kita. Ketika saya membayangkan kembali masa muda itu, saya ingat semua bahwa kita tidak ingin hidup nyaman demi kehidupan dalam kelas menengah yang mapan. Kita menginginkan sesuatu yang besar, sesuatu yang baru. Kita ingin menjelajahi kehidupan itu sendiri, dalam semua keagungan dan keindahannya. Secara alamiah, tahap itu merupakan bagian dari kehidupan yang kita alami. Selama kediktatoran Nazi dan peperangan, dapat dikatakan pada masa itu, semua orang terkungkung oleh segala peraturan dan batasan yang diciptakan oleh struktur yang sedang berkuasa. Maka, semua orang saat itu ingin mendobrak segala batasan: menginginkan adanya kebebasan, keterbukaan yang memungkinkan kita meraih peluang sebagai manusia. Saya berpikir, bahwa dorongan untuk mendobrak segala batasan yang ada, pada jangkauan tertentu, selalu menandai jiwa orang muda dari masa ke masa. Bagian dari menjadi muda, ialah hasrat akan sesuatu di balik hidup harian dan pekerjaan yang mapan, suatu kerinduan untuk sesuatu yang sungguh-sungguh lebih besar.

Apakah ini hanya mimpi yang akan memudar dan akhirnya menghilang jika kita menua? Tidak! Pria maupun perempuan, diciptakan untuk sesuatu yang besar, untuk sebuah keabadian. Tiada pernah cukup. Santo Agustinus benar ketika ia mengatakan: “Hati kami belum tenang, sampai menemukan istirahat di dalam Engkau”.

Hasrat untuk mencari kehidupan yang lebih bermakna merupakan tanda bahwa Tuhan menciptakan kita, agar mengemban citra diri-Nya. Tuhan adalah Sang Kehidupan, dan itulah sebabnya kita ciptaanNya selalu berusaha untuk menggapai dan menggenggam kehidupan. Karena manusia diciptakan dengan citra Allah, maka kita menggapai kehidupan dengan cara yang unik dan istimewa. Kita selalu berusaha untuk menggapai cinta, suka cita , dan damai. Jadi dapatlah kita lihat, betapa mustahil apabila kita berpikir bahwa kita dapat sungguh-sungguh hidup dengan menyingkirkan Allah dari gambar hidup kita! Tuhan adalah sumber kehidupan. Mengenyampingkan Allah berarti kita telah memisahkan diri kita dari sumber kehidupan, dan berarti kita telah memisahkan diri dari sumber sejati kebahagiaan, suka cita, dan damai. “Tanpa Sang Pencipta, makhluk ciptaan hilang melenyap” (Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 36). Di beberapa belahan dunia, terutama kehidupan di belahan dunia Barat, budaya mereka saat ini cenderung menyingkirkan Tuhan dari segala aspek dan segi kehidupan, dan memandang bahwa iman kepercayaan adalah urusan pribadi, tanpa memiliki hubungan dan relevansi apapun dengan kehidupan. Sekalipun segugus nilai-nilai yang mendasari kehidupan masyarakat berasal dari Injil, seperti nilai martabat pribadi, nilai solidaritas, nilai kerja, dan nilai berkeluarga, namun kita menyaksikan suatu “gerhana Tuhan” yang pasti, semacam amnesia (penyakit lupa) akan sejarah, sebuah penolakan Kristianitas, pengingkaran khasanah iman Kristen, sebuah pengingkaran yang bisa membawa kita pada hilangnya jati diri kita yang paling dalam.

Untuk alasan inilah, para sahabat, saya mendorong kalian untuk memperkuat iman kalian akan Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus. Kalian adalah masa depan masyarakat dan Gereja. Seperti Rasul Paulus telah menulis untuk umat di Kolose : Pentinglah memiliki akar, dasar yang kokoh. Perkara ini secara sebagian, benar untuk zaman kita sekarang. Banyak orang tidak memiliki titik acuan yang kokoh, tempat mereka membangun hidup, dan karena nya mereka sungguh merasa tidak aman. Saat ini ada mentalitas relativisme yang berpaham bahwa alasan adanya setiap hal cukup kuat dari dirinya sendiri, serta bahwa suatu kebenaran dan titik acuan yang mutlak, tidak pernah ada. Namun, jalan pikiran seperti ini tidak akan pernah mengarahkan kita kepada kebebasan sejati, tetapi lebih mengacu kepada ketidakstabilan, kebingungan, kompromi buta terhadap keisengan zaman ini. Sebagai orang muda, kalian berhak untuk mewarisi dari generasi pendahulu, titik acuan yang kokoh bagi kalian untuk menolong kalian membuat pilihan, dan membangun hidup di atasnya, bagaikan tunas muda yang membutuhkan dorongan yang mantap hingga bisa membenamkan akar tunggangnya dalam-dalam, tumbuh menjadi pohon kuat yang mampu menghasilkan buah lebat.

2. Berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus

Untuk menekankan betapa pentingnya iman bagi hidup umat Allah, kepada kalian saya ingin menyampaikan renungan saya, perihal tiga kata yang digunakan oleh St. Paulus dalam ungkapan : “Berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman” (bdk. Kol 2:7). Kita dapat membedakan tiga buah gambaran berikut ini: “Berakar” mengingatkan kita pada pohon dan akar yang memberi makan pohon itu. “Dibangun” mengacu pada susunan sebuah rumah; “Berteguh” menunjukkan pertumbuhan fisik dan susila. Ketiga gambaran ini sangat tepat. Sebelum memberi ulasan mengenai ketiga kata tersebut, saya tunjukkan bahwa menurut tata bahasa, ketiga kata itu dalam teks aslinya berbentuk kata kerja pasif. Berarti, Kristus sendirilah yang berkehendak untuk menanam, membangun, dan menguatkan kaum beriman.

Gambaran pertama ialah mengenai sebuah pohon yang dengan kokoh ditanam, yang berterima kasih kepada akar yang telah menopang dan memberi makanan kepadanya. Tanpa akar-akar itu, pohon akan roboh ditiup angin dan mati. Apakah akar kita? Secara alamiah, orangtua, keluarga dan kebudayaan negara kita merupakan unsur-unsur penting dari jati diri pribadi kita. Namun Kitab Suci mewahyukan unsur yang lebih lagi. Nabi Yeremia menuliskan: “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah” (Yer 17:7-8). Bagi Nabi Yeremia, berakar dalam Tuhan berarti menyerahkan kepercayaan kepada Tuhan. Dari Dia, kita melukis hidup kita. Tanpa Dia, kita tidak bisa benar-benar hidup. “Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam anak-Nya” (1 Yoh 5:11). Yesus sendiri menyatakan kepada kita, bahwa Dia sendirilah kehidupan kita (bdk. Yoh 14:6). Sebagai akibatnya, iman Kristen bukanlah hanya suatu kepercayaan bahwa suatu hal tertentu merupakan kebenaran, melainkan lebih dari itu, iman Kristen merupakan suatu hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. Iman kita ialah suatu perjumpaan dengan Sang Putra Allah yang memberikan tenaga pada seluruh keberadaan kita. Ketika kita memasuki hubungan pribadi dengan Dia, Kristus menyingkapkan jati diri kita yang asli, dan dalam persahabatan denganNya, hidup kita bertumbuh menuju kepenuhan yang lengkap. Ada saatnya ketika kita mengalami masa muda, ketika bertanya: Apa makna hidup saya? Manakah tujuan dan arah yang harus kuberikan pada hidup saya? Saat itu merupakan saat penting, dan pertanyaan-pertanyaan itu mungkin bisa membuat kita cemas untuk beberapa lama. Kita mulai mempertanyakan mengenai jenis pekerjaan yang harus kita pilih, pola hubungan-hubungan yang harus kita bangun, persahabatan yang harus kita pelihara.

Di sinilah, suatu saat, saya melihat kembali masa muda saya. Saya agak cukup dini menyadari, mengenai kenyataan bahwa Tuhan menghendaki saya menjadi imam. Kemudian setelah masa peperangan berakhir, saat saya di seminari dan universitas dalam jalur menuju tujuan imamat itu, saya harus melihat kembali kepastian cita-cita saya itu. Saya harus bertanya diri: sungguhkan ini jalur yang harus saya jalani? Apakah benar jalan ini merupakan kehendak Tuhan bagi saya? Apakah saya akan mampu bertahan setia bagiNya dan sepenuhnya melayani Dia? Keputusan seperti ini menuntut perjuangan tertentu. Hal ini tidak bisa tidak, harus dilakukan. Namun kemudian tibalah kepastian itu: inilah keputusan yang tepat! Ya, Tuhan menginginkan saya, dan ia akan memberi saya kekuatan. Jika saya mendengarkan Dia dan berjalan bersamaNya, maka saya pasti menjadi diri saya yang asli. Yang diperhitungkan bukanlah pemenuhan hasrat hati saya sendiri, namun kehendak Dia. Dengan cara ini, hidup menjadi sejati.

Serupa dengan akar yang menopang kuat pohon untuk tetap berada dalam tanah dan kehidupannya, maka pondasi sebuah rumah memberikan jaminan kekokohan jangka panjang. Melalui iman, kita telah dibangun dalam Yesus Kristus (bdk. Kol 2:7), seperti rumah dibangun di atas pondasinya. Sejarah Kekudusan telah menyediakan bagi kita banyak contoh Santo-Santa yang membangun hidupnya pada Sabda Tuhan itu. Yang pertama ialah Abraham, bapa iman kita, yang taat pada Tuhan, ketika Tuhan memerintahkan dia meninggalkan tanah leluhurnya untuk menuju tanah yang tidak ia kenal. “Percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran. Karena itu Abraham disebut “Sahabat Allah” (Yak 2:23). Dibangun dalam Yesus Kristus berarti menanggapi secara positif panggilan Tuhan, mempercayaiNya, dan menaruh SabdaNya dalam tindakan. Yesus sendiri mengingatkan para murid, “Mengapa engkau berseru kepadaku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?” (Luk 6:46). Dia lalu memakai gambaran pembangunan sebuah rumah: “Setiap orang yang datang kepadaKu dan mendengarkan serta melakukannya – aku akan menyatakan kepadamu – dengan siapa ia dapat disamakan. Ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah. Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun” (Luk 6:47-48).

Para Sahabat terkasih.

Bangunlah rumah kalian sendiri di atas batu karang seperti orang yang menggali dalam-dalam untuk membuat pondasi. Cobalah setiap hari untuk mengikuti sabda Kristus. Dengan keberadaan-Nya disamping kalian, kalian akan menemukan keberanian dan pengharapan untuk menghadapi berbagai kesulitan dan masalah, bahkan untuk mengatasi kekecewaan dan kemunduran. Kepada kalian, secara terus menerus ditawarkan pilihan-pilihan yang lebih mudah, namun kalian sendiri tahu, bahwa segala tawaran itu bersifat menipu dan tidak akan pernah mampu memberikan damai dan suka cita. Hanya Sabda Allah saja yang mampu memperlihatkan kepada kita jalan yang sejati dan hanya iman yang kita terima-lah yang menjadi cahaya dalam jalan kehidupan kita. Dengan penuh syukur, terimalah hadiah rohani ini yang telah kalian warisi dari keluarga kalian; Berusahalah untuk menanggapi panggilan Tuhan dengan penuh kesadaran, dan bertumbuhlah dalam iman. Janganlah percaya para mereka yang memberitahu kalian bahwa kalian tidak memerlukan orang lain untuk membangun hidup kalian! Temukanlah dukungan dalam iman, pada orang-orang yang mengasihi kalian, temukanlah dukungan dari iman Gereja, dan bersyukurlah pada Tuhan bahwa kalian telah menerima iman itu dan telah membuatnya menjadi milik kalian sendiri!

3. Berteguhlah dalam iman

Hendalah kamu “berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman.” (Kol 2:7). Surat dari mana kata-kata tersebut dikutip, ditulis oleh Santo Paulus untuk menanggapi kebutuhan khusus umat Kristen di kota Kolose. Waktu itu, komunitas umat di Kolose terancam oleh pengaruh kecenderungan budaya tertentu yang memalingkan kaum beriman dari Injil. Ruang lingkup budaya kita sekarang, para sahabat, bukanlah seperti keadaan umat kuno di Kolose. Namun saat ini, terdapat arus kuat pikiran kaum sekular serupa, yang bertujuan untuk meminggirkan Tuhan dari kehidupan masyarakat dengan menekankan dan menciptakan “surga” tanpa kehadiran-Nya. Sebenarnyalah, pengalaman memberikan bukti nyata kepada kita semua, bahwa dunia tanpa Tuhan selalu menjadi “neraka” : dipenuhi oleh keakuan, keluarga berantakan, kebencian antar-pribadi dan antar-bangsa, dan kekurangan yang besar akan kasih, suka cita, dan harapan. Di lain pihak, di manap ada pribadi dan bangsa menerima kehadiran Allah di tengah-tengah mereka, memujiNya dalam kebenaran serta mendengarkan suara-Nya, maka peradaban cinta kasih sedang dibangun, yaitu sebuah peradaban di mana martabat semua orang dihormati, dan persekutuan paguyuban meningkat, dengan segala kebaikannya. Namun demikian tetap saja, beberapa umat Kristen tergoda oleh sekularisme dan arus kepercayaan yang menjauhkan mereka dari iman akan Yesus Kristus. Ada pula beberapa orang Kristen, sekalipun tidak terpengaruh oleh godaan itu, namun telah dengan sembrono membiarkan iman mereka tumbuh seadanya, yang berakibat buruk pada hidup kesusilaan mereka.

Kepada orang-orang Kristen yang dipengaruhi oleh gagasan-gagasan yang jauhb dari nilai Injil, Rasul Paulus memberitakan mengenai kekuatan wafat dan kebangkitan Kristus. Misteri wafat dan kebangkitan Kristus merupakan dasar hidup kita serta pusat iman Kristen. Dengan tetap menghormati pertanyaan-pertanyaan besar yang terbenam dalam-dalam di hati manusia, menurut saya semua filsafat yang mengabaikan misteri salib serta menganggapnya “kebodohan” (1Kor 1:23), justru menyingkapkan keterbatasan mereka sendiri. Sebagai penerus Rasul Petrus, saya juga ingin menguatkan kalian dalam iman (bdk. Luk 22:32). Kita dengan teguh percaya bahwa Yesus Kristus menyerahkan diriNya sendiri di kayu salib untuk memberikan kasih-Nya kepada kita. Dalam penderitaanNya, Dia memikul penderitaan kita, menanggung dalam diri-Nya dosa –dosa kita, memberikan pengampunan bagi kita dan mendamaikan kita dengan Allah Bapa, membukakan bagi kita jalan menuju hidup abadi. Jadi, kita dibebaskan dari hal yang paling membelenggu hidup kita yaitu perbudakan dosa. Kita bisa mengasihi setiap orang, bahkan musuh kita, dan kita bisa membagikan kasih ini untuk yang termiskin dari saudara-saudari kita, dan bagi semua orang yang sedang dalam dalam kesukaran hidup.

Para Sahabat terkasih;

Salib sering menggentarkan kita karena salib tampak sebagai penolakan hidup. Pada kenyataannya, sebaliknyalah yang benar. Salib adalah pernyataan ‘Ya’ dari Allah kepada umat manusia, yang merupakan ungkapan tertinggi dari cinta-Nya dan sumber dari mana kehidupan kekal mengalir. Sesungguhnyalah, pernyataan ini berasal dari hati Yesus, yang dihancurkan di salib, yang justru dari hati yang hancur itu hidup ilahi mengalir, yang bisa ditampung oleh semua yang mengangkat mata mereka kepada Sang Tersalib.

Saya hanya dapat mendesak kalian untuk memeluk Salib Yesus Kristus, tanda cinta kasih Tuhan, sebagai sumber hidup baru.

4. Mengimani Yesus Kristus tanpa melihat langsung

Dalam Injil kita menemukan paparan mengenai pengalaman iman Rasul Thomas ketika ia menerima misteri Salib dan kebangkitan Kristus. Thomas merupakan salah satu dari kedua belas rasul. Dia mengikuti Yesus, dan menjadi saksi mata dari penyembuhan dan mukjizat yang dibuat Yesus. Thomas mendengarkan sabda-Nya, dan dia mengalami ketakutan pada saat wafat Yesus. Malam pada hari Paskah itu, ketika Tuhan menampakkan diri pada para murid, Thomas tidak hadir. Ketika ia diberitahu bahwa Yesus hidup dan memperlihatkan diriNya, Thomas menjawab: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangannya, dan mencucukkan jariku pada bekas paku itu dan mencucukkan tanganku pada lambungNya, sekali-kali aku tidak akan percaya” (Yoh 20:25).

Kita juga, ingin mampu melihat Yesus, berbicara denganNya dan merasakan kehadiranNya bahkan secara lebih penuh kuasa. Bagi banyak orang dewasa ini, menjadi sukar untuk mendekati Yesus. Ada terlalu banyak gambaran mengenai Yesus yang beredar, yang dinyatakan sebagai ilmiah, yang malahan membuat kabur keagungan dan keunikan pribadiNya. Itulah sebabnya, setelah bertahun-tahun belajar dan merenung, saya memikirkan untuk membagikan sesuatu dari perjumpaan pribadi saya bersama Yesus dengan menuliskannya menjadi sebuah buku. Ini merupakan sebuah cara untuk membantu orang lain melihat, mendengar, dan menyentuh Tuhan kepada siapa Ia datang supaya diri-Nya dikenal. Yesus sendiri ketika seminggu kemudian menampakkan diri lagi kepada para murid berkata kepada Thomas: “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tanganKu, ulurkanlah tanganmu dan cucukkanlah ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi melainkan percayalah.” (Yoh 20:27). Kita juga, bisa memiliki kontak yang tampak dengan Yesus dan menaruh tangan kita, juga berbicara padaNya, atas tanda-tanda penderitaan-Nya, tanda-tanda cinta kasih-Nya. Dalam sakramen-sakramen, Dia secara khusus dekat dengan kita, dan memberikan diriNya untuk kita. Orang muda terkasih, belajarlah untuk “melihat” dan “menjumpai” Yesus dalam Ekaristi, di mana Dia hadir dan dekat dengan kita, dan bahkan menjadi santapan bagi perjalanan kita. Dalam Sakramen Tobat, Tuhan memperlihatkan kerahimanNya dan selalu memberikan pengampunanNya untuk kita. Kenalilah, dan layanilah Yesus dalam diri orang miskin, orang sakit, dan dalam diri saudara-saudari yang sedang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan.

Masuklah dalam percakapan pribadi dengan Yesus Kristus dan peliharalah hal itu dalam iman. Kenalilah Dia lebih baik lagi dengan membaca Kitab Suci dan buku Katekismus Gereja Katolik (KGK). Berbincanglah dengan-Nya dalam doa kalian, dan letakkan kepercayaan kalian dalam Dia. Dia tidak pernah mengkhianati kepercayaan kalian itu! “Iman pertama-tama ialah ikatan pribadi manusia dengan Allah. Sekaligus tak terpisahkan dari itu, ialah persetujuan bebas terhadap seluruh kebenaran yang diwahyukan Tuhan” (KGK, 150). Dengan demikian, kalian akan menuai iman yang matang dan mantap, yaitu iman yang tak hanya didasarkan kepada rasa-perasaan keagamaan, atau hanya mengandalkan ingatan samar-samar akan katekismus pelajaran agama Katolik yang kamu terima dulu saat kanak-kanak. Kalian mau datang untuk mengenal Allah, dan hidup secara sejati dalam kesatuan dengan Dia, sebagaimana Rasul Thomas yang memperlihatkan imannya yang teguh dalam Yesus, dengan berkata: “Tuhanku dan Allahku!”.

5. Ditopang oleh iman Gereja untuk menjadi saksi.

Yesus berkata kepada Thomas: “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya.” (Yoh 20:29). Yesus saat itu sedang memikirkan jalur iman Gereja yang harus diikuti yang didasarkan pada para saksi mata wafat dan kebangkitan Kristus yaitu para Rasul. Dengan demikian, kita melihat, bahwa iman pribadi kita pada Kristus, yang menjumpai kita dalam percakapan pribadi denganNya, diikat dalam iman Gereja. Kita tidak beriman sebagai individu yang terpisah dari yang lain, namun melalui Baptis, kita ialah anggota keluarga besar Gereja. Iman yang diakui oleh Gereja selalu menguatkan kembali iman pribadi kita masing-masing. Kredo “Aku Percaya” yang kita doakan setiap misa hari Minggu melindungi kita dari bahaya kepercayaan terhadap “allah lain” yang tidak diwahyukan oleh Yesus Kristus: “Setiap orang beriman adalah anggota dalam jalinan rantai besar orang-orang beriman. Saya tidak dapat menjadi orang beriman kalau saya tidak didukung oleh iman orang lain. Dan oleh iman saya, saya pun mendukung iman orang lain” (KGK 166). Marilah selalu bersyukur kepada Tuhan atas anugerah Gereja, karena Gereja menolong kita untuk maju dengan aman, dalam iman yang memberi kita hidup sejati (bdk. Yoh 20:31).

Dalam sejarah Gereja, para orang kudus dan para martir selalu bergerak dari kemuliaan Salib Kristus - daya kesetiaan kepada Tuhan - menuju Allah, hingga pada titik mereka harus menyerahkan nyawa. Dalam iman, mereka menemukan kekuatan untuk mengatasi kelemahan, dan menang atas setiap kesulitan. Benarlah Rasul Yohanes mengatakan: “Siapakah yang mengalahkan dunia selain dari pada dia yang percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah?” (1Yoh 5:5). Kemenangan yang lahir dari iman adalah cinta kasih. Masih ada dan tetap ada, banyak umat Kristen yang menghayati kesaksian nyata dari daya iman yang diwujudkan dengan pelayanan karya amal kasih. Merekalah para juru perdamaian, promotor keadilan dan pekerja-pekerja demi dunia yang lebih manusiawi, dunia yang sesuai dengan rencana Tuhan. Dengan kompetensi dan sikap profesional, mereka bekerja penuh tanggung jawab dalam sektor-sektor hidup masyarakat yang beraneka ragam, menyumbangkan secara tepat guna, kesejahteraan bagi semua. Karya amal kasih yang berasal dari iman membawa mereka kepada kesaksian nyata dengan kata dan perbuatan. Kristus bukanlah harta milik yang ditujukan untuk diri kita saja. Dia, harta paling berharga yang kita miliki, ialah Dia yang ditujukan dan dibagikan untuk sesama yang lain. Pada masa globalisasi ini, jadilah saksi harapan Kristiani di seluruh dunia. Betapa banyaknya orang yang telah menanti untuk menerima harapan ini! Ketika berdiri di depan batu makam sahabat-Nya Lazarus, yang mati empat hari sebelumnya, sebelum Ia menghidupkan kembali si mati itu, Yesus berkata kepada saudari Lazarus, Martha: “Jika engkau percaya, engkau akan melihat kemuliaan Allah” (bdk Yoh 11:40). Dengan cara yang sama, jika kalian percaya, dan jika kalian mampu menghayati iman dan menjadi saksi atas iman setiap hari, kalian akan menjadi sumber yang membantu orang muda lainnya seperti diri kalian, untuk menemukan makna dan kegembiraan hidup, yang terlahir dari perjumpaan dengan Kristus!

6. Menuju Hari Orang Muda Sedunia di Madrid

Para Sahabat terkasih,

Sekali lagi, saya mengundang kalian semua untuk menghadiri Hari Orang Muda Sedunia di Madrid. Saya menunggu kalian masing-masing dengan sukacita yang besar. Yesus Kristus ingin menguatkan iman kalian melalui Gereja. Keputusan untuk percaya kepada Yesus dan mengikuti-Nya bukanlah perkara yang mudah. Iman padaNya sering terhalangi oleh kegagalan pribadi, dan oleh banyak keriuhan yang menawarkan jalur-jalur perjalanan yang lebih mudah. Jangan lemah semangat. Namun, temukanlah dukungan dari komunitas seiman, temukanlah dukungan dari Gereja! Selama tahun ini, persiapkanlah secara cermat untuk pertemuan di Madrid, bersama uskup-uskup, para imam, para pembimbing orang muda di keuskupan, komunitas-komunitas paroki, dan berbagai serikat serta perkumpulan kalian.

Mutu pertemuan kita mendatang akan seluruhnya bergantung pada : Persiapan rohani kita, doa-doa kita, kebersamaan kita dalam mendengarkan sabda Allah, dan dukungan satu sama lain.

Para muda terkasih, Gereja bergantung kepada kalian! Dia membutuhkan iman kalian yang bersemangat, amal kasih kalian yang kreatif, dan energi dari pengharapan kalian. Kehadiran kalian memperbaharui, meremajakan,dan memberikan energi baru bagi Gereja. Karena itulah, maka Hari Orang Muda Sedunia adalah rahmat, bukan saja untuk kalian orang muda, tapi juga untuk keseluruhan umat Allah.

Gereja Spanyol sedang bersiap diri secara aktif untuk menyambut kedatangan kalian sekaligus untuk berbagi pengalaman iman yang menggembirakan ini bersama kalian. Saya mengucapkan terima kasih kepada keuskupan-keuskupan, paroki-paroki, tempat-tempat ziarah, komunitas-komunitas religius, asosiasi-asosiasi dan perkumpulan-perkumpulan gerejawi, serta semua yang bekerja keras untuk mempersiapkan peristiwa ini. Allah menganugerahkan berkat-Nya untuk mereka semua. Semoga Bunda Perawan Maria menyertai kalian selama persiapan ini. Ketika menerima kabar gembira, Bunda Maria menerima Sang Sabda dengan imannya. Dalam iman, ia menyetujui rencana kepenuhan janji Allah yang terlaksana dalam dan melalui dirinya. Dengan menyerukan “fiat”, “terjadilah padaku menurut perkataanMu”, Bunda Maria menerima anugerah cinta kasih yang sedalam-dalamnya, yang membuat dia memberikan diri seutuhnya kepada Allah. Semoga doanya campur tangan dalam diri kalian, sehingga pada Hari Orang Muda Sedunia mendatang ini, kalian bertumbuh dalam iman dan kasih. Saya meyakinkan kalian bahwa saya dengan kasih kebapaan, mengingat kalian dalam doa-doa saya, dan saya memberikan kepada kalian berkat dari lubuk hati saya yang paling dalam.

Dari Vatikan, 6 Agustus 2010

pada Pesta Penampakan Kemuliaan Tuhan

Benedictus PP. XVI

Sumber: http://wyd-indonesia.org/pope-message.html

Taburkan Kasih

Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

“Camkan ini : Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Kor 9:6) sangat menyentuh permenunganku hari itu. Keinginan untuk menabur kasih tiba-tiba menggelora di dada. Aku meyakini pelayanan sebagai anugerah Tuhan yang menarik untuk dijalankan. Kemacetan jalan Serpong tidak membuatku stress. Suasana Misa untuk karyawan di sebuah kantor terasa nyaman. Doa disyukurinya sebagai sentuhan kasih Tuhan yang meringankan jiwa ditengah pejiarahan kehidupan yang berat. Aku memuji mereka : “Hari ini kalian memancarkan aura sukacita yang luar biasa sehingga Misa terasa indah”. Jawaban salah satu dari peserta: “Karena di mana kasihmu berada, di situ juga hatimu berada”.

Menaburkan kasih dari hati membangun kehidupan menjadi indah dalam segala hal. Dalam perjalanan pulang dari Katedral Jakarta, pukul 22.00 aku mendapatkan telefon untuk memberikan sakramen perminyakan suci kepada seorang bapak yang kondisinya sudah gawat di Rumah Sakit di Slipi. Ia menderita kanker hati. Aku memperkenalkan diri sebagai pastornya. “Pastor Katolik atau Pastor Protestan ?”, tanyanya. Tanpa segan-segan ia mengatakan sudah puluhan tahun tidak pergi ke gereja. “Walaupun tidak ke gereja, yang penting hatiku baik”, katanya. Aku memandang matanya, tanpa mengadilinya. Aku sentuh dahinya agar ia bisa mengalami kasih ilahi. Ia memejamkan matanya menikmati kelegaan.

Ia kemudian mensharingkan alasan mengapa ia sudah lama tidak beribadah di gereja. Semuanya bersumber pada kekecewaan. Seluruh perjalanan hidupnya dipenuhi dengan kekecewaan. Ia lahir dari keluarga katolik. Ia menerima pembaptisan sejak bayi. Ketika ia masih kanak-kanak, keluarganya sangat saleh. Mereka sangat aktif dalam kegiatan paroki. Kebahagiaan itu lenyap seketika seperti terbawa angin puting beliung ketika ia duduk di kelas enam Sekolah Dasar. Orangtuanya bercerai dan masing-masing telah menikah dengan pasangannya yang baru. Ia diasuh oleh kakek dan neneknya yang renta. Tidak mempunyai orangtua sungguh menyakitkan hatinya. Ia tidak tahu ke mana harus mengadu dan berlindung ketika persoalan datang. Sebutan “anak tukang kawin” sudah dimateraikan kepada dirinya. Orangtuanya tidak pernah mengambilkan raport kenaikan kelas, tetapi diwakili oleh tetangganya. Gereja yang diharapkan melindunginya, dianggapnya telah menyingkirkannya juga. Ia menjadi anggota misdinar (Putera Altar), tetapi tidak pernah mendapatkan tugas. Ia malu untuk menanyakannya kepada pembimbingnya. Ia berkali-kali gagal berpacaran. Semua pacarnya meninggalkannya bukan karena kesalahan, tetapi mereka takut bahwa sifat orangtuanya akan menurun kepadanya. Ia akhirnya menikah dengan seorang wanita yang mau menerima dirinya apa adanya, tetapi Tuhan tidak mengaruniai mereka anak. Ia menjadi manusia yang sangat minder. Ia berusaha menghindari pertemuan dengan siapa saja karena takut diketahui latar belakang keberadaannya. Kekecewaan yang tersimpan lama mungkin telah menyebabkan kanker hati. Satu-satunya yang membuatnya berarti adalah panti asuhan di mana ia menjadi salah satu pengurusnya. Setiap Sabtu sore ia mengunjungi anak-anak tersebut. Kemanjaan anak-anak tanpa orangtuanya itu membuat ia merasa dibutuhkan. Kehausan anak-anak akan kasih membuatnya ingin hidup lama. Setelah terjadi keheningan sejenak, ia memegang tanganku : “Romo, aku akan menemui engkau ketika aku keluar dari Rumah Sakit ini. Aku telah kembali ke gereja”. Setitik kasih sangat berarti baginya yang sejak lama tidak mengalaminya.

Setitik kasih yang ditaburkan dengan iman akan mengubah segalanya. Setitik kasih yang ditaburkan akan tertanam di hati sesama dan pada waktunya akan menghasilkan sesuatu yang jauh lebih indah daripada yang ditaburkan. Tuhan akan terus menaburkan kasih-Nya kepada umat yang mau memberikan kasih yang ada padanya. Semakin banyak kasih ditaburkan, semakin kasih itu melimpah di dalam dirinya agar kasih-Nya semakin mengalir lagi ke banyak tangan-tangan manusia : “….Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2 Kor 9:8). Taburkan kasih pada setiap kesempatan, maka hidup anda akan bermakna karena membawa jiwa dapat merasakan Tuhan. Jadilah saksi akan ‘kasih’ dengan tetap sederhana di tengah kelimpahan dan tidak bermental meminta-minta ditengah kekurangan, maka hidup anda akan bahagia karena tidak diperbudak oleh iblis bloon ‘keserakahan’. Tuhan memberkati.

Minggu Biasa ke 25 - tahun A - 2011

Bacaan

Yes 55:6-9
Flp 1:20c – 24.27a
Mat 20:1-16a

Renungan oleh pastor Tonny Blikon, SS.CC

Saudara dan saudariku yang terkasih!
Dalam bacaan Injil nanti kita akan mendengar kisah perumpamaan tentang seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. Ada yang mulai bekerja pada pagi hari, ada yang jam 9 pagi, ada yang jam 12 siang, ada yang jam 3 sore dan ada yang jam 5 sore. Setelah itu masing-masing mendapat upah yang sama yaitu 1 dinar. saya yakin kita semua tahu kelanjutan kisah perumpamaan ini.

Saya akan mengawali renungan ini dengan sebuah kisah: Pada suatu hari ada seorang pengusaha yang sangat kaya melakukan perjalanan bisnisnya. Dalam perjalanan itu dia bertemu dengan dua orang.... mereka saling berkenalan dan bersahabat satu sama lain. Tentang dua orang itu, yang pertama namanya RAKUS dan yang kedua namanya IRI. Nah....ketika mereka harus berpisah, sang pengusaha berkata kepada keduanya, ”Sebelum kita berpisah, saya ingin memberikan kamu hadiah. Kamu boleh minta apa saja. Caranya begini: Orang yang pertama menyampaikan permintaaannya - akan langsung mendapatkan apa yang dimintanya. Orang yang kedua tidak perlu menyampaikan lagi permohonanya karena dia pun langsung mendapatkan dua kali dari apa yang didapatkan oleh orang pertama. Misalnya, kalau orang pertama meminta satu mobil, maka orang kedua akan mendapatkan dua mobil.”

Kedua orang itu sangat senang dengan tawaran itu yang menarik itu. Sayangnya, masing-masing menunggu siapa yang harus mulai. Si RAKUS berharap bahwa si IRI akan menyampaikan permohonannya terlebih dahulu sehingga dia bisa mendapatkan dua kali lipat. Sebaliknya si IRI juga menunggu supaya si RAKUS yang lebih dulu menyampaikan keinginannya sehingga dia bisa dapat dua kali lipat. Setelah menunggu dan menunggu, ternyata tidak ada yang memulai untuk menyampaikan permintaannya. Akhirnya si RAKUS mengamcam si IRI; ’Ayo..kamu yang duluan menyampaikan permintaanmu, kalau tidak kamu saya pukul nanti.” akhirnya si IRI berkata: ”Baiklah kalau begitu. Saya minta supaya satu mata saya menjadi buta.” Pada saat itu juga satu mata si IRI menjadi buta dan pada pada saat yang sama kedua mata si RAKUS menjadi buta.

Saudara dan saudariku
Kedua orang dalam kisah tadi menjadi korban kerakusan dan iri hatinya sendiri. Kerakusan dan iri hati seringkali melekat dalam hati manusia dan telah menimbulkan banyak persoalan dalam kehidupan bersama.

Dalam hidup ini, kita seringkali iri hati terhadap orang yang bernasib lebih baik dari diri kita. Seringkali kita membandingkan: ”oh dia lebih berbakat dari saya, dia lebih kaya, lebih cakep, lebih cantik, dll”

Dengan berpikir demikian, kita telah melakukan suatu kesalahan yaitu: menilai orang lain berdasarkan standar yang sangat duniawi dan bukan dengan standar Allah. Seandainya kita dapat menilai mereka berdasarkan ukuran yang diberikan oleh Allah maka kita akan menyadari bahwa kita sama-sama bernasib baik.

Kalau kita memang merasa bahwa diri kita kurang beruntung bila dibandingkan dengan orang lain, maka St. Paulus meneguhkan kita dengan kata-katanya kepada jemaat di Korintus: ”Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti” (1Kor 1:27-28).

Inilah cara kerja Allah. Orang yang bodoh dipilih oleh Allah, yang lemah dipilih oleh Allah, yang tidak terpandang dipilih oleh Allah. Lantas mengapa kita suka membanding-bandingkan berkat Allah bagi kita dengan berkat Allah bagi orang lain? Hal itu hanya akan membuat kita masuk dalam dosa iri hati dan akhirnya kurang bersyukur kepada Tuhan .

Allah dalam bacaan I tadi berbicara melalui nabi Yeremiah: ”Rancangan-Ku bukanlah rancanganmu dan jalanmu bukanlah jalan-Ku. Seperti tingginya langit dari bumi, demikian pun jalan-Ku lebih luhur dari jalanmu dan pikiran-Ku lebih mulia dari pikiranmu”.

Saudara dan saudari
Bacaan Injil tadi memang mengundang orang untuk mempertanyakan dimanakah keadilan Allah? Protes kaum pekerja yang masuk lebih awal memang bisa kita terima secara akal sehat. Kalau memang pemilik kebun anggur itu murah hati, apakah dia tidak memberikan ’bonus’ kepada mereka yang bekerja lebih awal?

Ada beberapa penafsir yang mencoba meminimalisasikan persoalan ini dengan mengatakan: mungkin kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang bekerja lebih awal dengan mereka yang bekerja hanya satu jam, setara atau sama. Mereka yang bekerja lebih awal, banyak waktu dihabiskan dengan sia-sia sedangkan mereka yang masuk kemudian langsung bekerja dengan sungguh-sungguh.

Nah... ini hanyalah tafsiran yang juga berdasarkan akal manusia. Akan tetapi perumamaan ini lebih berbicara tentang sifat radikal dari belaskasih Allah. Allah menunjukkan belaskasih kepada kita bukan karena jasa-jasa kita melainkan atas dasar kasih sayang itu sendiri.

Saudara dan saudariku
Pengalaman ’mengeluh’ ini seringkali kita alami di dalam kehidupan kita. Banyak orang mengeluh karena kerja, pelayanan, dedikasi dan pengorbanan mereka untuk gereja tidak dibayar dengan dengan gaji atau tanda jasa yang setimpal. Atau seringkali kita mendengar orang mengeluh seperti ini: ”Selama ini saya aktif di mana-mana: di lingkungan, Legio, kharismatik, rajin misa, ikut offisi, kok hidup saya tetap menderita? Jika kita berpikir demikian, baiklah dengan rendah hati kita harus mengakui bahwa kita tidak bedanya dengan para pekerja yang masuk pagi-pagi benar dalam kisah Injil tadi.

Saudara dan saudariku
Tidak ada di antara kita yang dapat menuntut berkat yang sebenarnya telah Allah siapkan bagi kita. Segala karya baik kita, tidak membuat kita berhak menuntut rahmat istimewa dari Allah. Kata ’hak’ tidak ada dalam kosa kata Kerajaan Allah.

Satu hal yang dapat kita lakukan hanyalah mengharapkan belaskasih Allah. Logika manusia ada batasnya, tetapi rahmat dan belaskasih dari Allah tidak terbatas.

Rahmat dan berkat Allah itu selalu berlimpah. Dan setiap orang menerima bagiannya sendiri-sendiri. Jika Allah memang memberikan kita lebih, tidak berarti kita lalu bersikap sombong dan mengabaikan orang-orang yang kurang beruntung.

Saudara dan saudariku
Bagi saya, hanya ketika orang yang berkelebihan dan yang berkekurangan, hidup bersama dalam kerendahan hati dan kesederhanaan, dan mengakui bahwa Allah adalah kasih, barulah mereka dapat belajar arti yang sebenarnya dari cinta dan keadilan.

Beberapa point untuk refleksi kita.

Dalam Injil Yesus mengajarkan bahwa kita harus membuang segala rasa cemburu dan iri hati. Hal ini nampak jelas dalam bacaan Injil hari ini. kepada mereka yang menggerutu, pemilik kebun anggur itu berkata: ”tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikan engkau, karena aku murah hati?”

KGK, pada pembahasan bagian Sepuluh Perintah Allah mengatakan demikian:

KGK 2552: Perintah kesepuluh melarang kelobaan, yang muncul dari kerinduan tanpa batas dan penuh nafsu akan kekayaan dan akan kekuasaan yang berkaitan dengannya.

KGK 2553: Iri hati terdiri dari kesedihan karena orang lain mendapatkan untung dan kerinduan yang tidak terkendalikan untuk memperoleh milik orang lain. iri hati adala suatu kebiasaan buruk yang pokok.

Amsal 14: 30 “Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang” – artinya iri hati menghancurkan hidup kita, justru dari dalam.

Iri hati adalah dosa yang membuat kita tidak mampu mengenal keindahan dan keunikan orang lain dan membuat kita tidak dapat menghargai orang lain. Nah....agar kita dapat mendekatkan diri kepada Allah yang adalah sumber segala kebaikan, keindahan dan kemurahan hati, maka sikap iri hati ini harus dimatikan. Iri hati membutakan mata kita.

Karena itu, Injil hari ini mengajak kita untuk berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain. Injil mengundang kita untuk menerima diri kita sebagaimana adanya kita. Ia mengajak kita untuk mengikuti nasihat rasul Paulus kepada umat di Galatia: ”Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain” (Gal 6:4).

Hal yang terpenting dalam hidup ini bukanlah apa yang orang lain pikirkan tentang dirimu, tetapi apa yang Allah pikirkan tentang anda. Bukan soal bagaimana orang lain telah menilai saya tetapi tetapi bagaimana Allah menilai hidup saya.

Untuk itu marilah kita bersyukur kepada Tuhan atas segala rahmat, berkat, dan talenta yang telah Tuhan berikan kepada kita. Berkat Allah selalu lebih dari yang kita harapkan....

Api Cintaku

Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Hari Rabu pagi aku bergegas menuju rumah duka untuk merayakan Misa pelepasan jenasah. Seorang ibu dengan tangan dan kakinya yang lumpuh sebelah akibat serangan “stroke” berjalan tertatih-tatih menyambut kedatanganku. Aku tidak mengenalnya sebelumnya. Ia mencium tanganku dengan deraian air mata : “Cintaku telah pergi ke surga”. Ternyata ia belum katolik. Kenangan atas cinta suaminya tertanam kuat dalam sanubarinya sehingga tak terlukiskan dalam rangkaian kata.

Cinta mereka mulai berpadu pada acara ospek di SMA dahulu. Hati suaminya itu tertambat padanya karena tertarik dengan matanya yang sendu. Matanya yang sendu memancarkan hatinya yang teduh. Ia sudah berkali-kali ingin mengungkapkan isi hatinya kepadanya, tetapi gagal karena takut ditolak. Pada suatu pagi, ia memberanikan diri memasukkan surat cintanya yang berwarna merah muda di tasnya ketika ia sedang asyik bermain bola voli dalam pelajaran olah raga. Hari-hari penantian terasa lama dan jantungnya berdebar dengan kerasnya. Tak terduga cintanya diterimanya ketika mereka berjumpa di kantin sekolah. Ia melontarkan cita-cita yang indah dalam keluarga yang bahagia yang dapat membuat jiwa melayang ketika mendengarnya.

Mereka menikah dan dikaruniai empat putera. Keluarga mereka merupakan keluarga yang bahagia. Sang istri selalu berada di rumah ketika sang suami pulang. Ia mengatakan bahwa ia ada untuk suaminya. Suaminya pun berusaha pulang tepat pada waktunya agar bersama-sama dengan istri dan anak-anaknya. Setiap saat mereka saling merindukan. Saling merindukan membuat cinta mereka selalu terasa segar.

Pada suatu siang, ia merasakan kepalanya pusing ketika sedang memasak “makanan spesial” untuk suaminya yang merayakan ulang tahun yang kelima puluh. Ia jatuh di lantai karena serangan tekanan darah tinggi. Separoh badannya lumpuh. Suaminya tetap setia kepadanya. Habis pulang kerja, ia selalu menyisir rambut istrinya. Istrinya suatu hari bertanya kepadanya : “Pa, mengapa engkau selalu menyisir rambutku ?” Suaminya menjawab : “Aku selalu menyisir rambut mama agar mama tetap merasa cantik sehingga tetap percaya diri”.

Pada suatu hari, tanpa tanda-tanda sebelumnya, sang suami itu meninggal dunia di kamarnya ketika baru pulang dari kantor sambil memegang martabak kesukaan istrinya yang baru saja dibelinya untuknya. Banyak orang tidak mengira bahwa sang suami yang sehat itu meninggal dunia lebih dahulu daripada istrinya yang sakit. Suaminya meninggal dunia sebagai seorang Katolik karena ia menerima pembaptisan pada Malam Paskah (lima bulan sebelumnya). Ketika upacara kremasi akan dimulai, ia mencium peti jenasah suaminya sambil berkata : “Api yang akan digunakan untuk mengkremasikan suamiku melambangkan api cintaku yang menjiwai hidup kekalnya. Selama jalan pa !”.

Tuhan menganugerahkan diri-Nya dalam wujud “cinta”. Kobaran api cinta sangat dahsyat sehingga jarang ada hati yang mampu mengelak darinya. Nyala api cinta bisa membuat manusia bertindak dengan penuh resiko di luar akal manusia. Seorang Samaria yang mau turun dari kudanya untuk menolong seorang manusia yang membutuhkan uluran tangannya walaupun kemungkinan bahaya ada di depan matanya merupakan contohnya. Nyala api cinta tidak akan padam asalkan senantiasa diminyaki dengan kerinduan akan pengabdian. Terimalah cinta sebagai anugerah Tuhan dan bagikan nyalanya sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pemberinya. Api cinta membuat hidup bahagia karena menghanguskan kecemburuan, kebencian, dan kemarahan. Tuhan pun menantikan hati yang penuh cinta untuk menikmati kehangatan kepak cinta-Nya : “Dengan kepak-Nya Ia akan menudungi engkau, di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung” (Mazmur 91:4).

Dekat Salib berdiri ibu-Nya



Peringatan Maria Bunda Dukacita
15 September

Kutipan dari kotbah Santa Bernardus, abas

Kemartiran Santa Perawan maria terkandung dalam nubuat Simeon, maupun dalam kisah sengsara Tuhan kita. Orang suci yang sudah lanjut usia itu berkata tentang kanak-kanak Yesus, “Anak ini ditentukan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan.” Kemudian ia berkata kepada Maria. “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri.”

Sungguh, Ibu tersuci, suatu pedang menembus hatimu. Sebab tidak ada pedang dapat menusuk tubuh Puteramu tanpa menembus hatimu. Setelah Puteramu menyerahkan hidup-Nya, tombak kejam yang tidak menyayangkan tubuh-Nya yang sudah tak bernyawa, membuka lambung-Nya. Meskipun tombak itu tidak dapat menyakiti Dia, dan tidak juga dapat menyentuh jiwa-Nya, namun sungguh menembus jiwamu. Jiwa Yesus sudah tidak ada lagi, tetapi jiwamu tidak dapat dicabut. Maka pedang dukacita menembus jiwamu, sehingga dengan tepat kami menyebut engkau lebih dari seorang martir, karena rasa pilu yang engkau derita melebihi semua penderitaan fisik.

Ataukah kata-kata ini, “Ibu, inilah anakmu,” lebih menyakitkan daripada tusukan pedang? Sebab kata-kata ini menembusi jiwamu, dan menusuk sampai ke inti, di mana jiwa mulai terpisah dari roh. Pertukaran yang luar biasa! Yohanes diberikan kepadamu untuk menggantikan Yesus, seorang pelayan menggantikan Tuhan, murid ganti Guru, putera Zebedeus ganti Putera Allah, manusia biasa ganti Allah yang benar. Kata-kata ini tentu menembusi jiwamu yang penuh cinta, sebab mengenangkan itu saja sudah menghancurkan hati kami, meskipun keras seperti batu.

Kisah Cintaku

Sharing Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Pujian dan penyembahan malam itu mengalirkan romatika cinta Tuhan. Setelah acara pujian dan penyembahan, seorang bapak memintaku singgah ke rumahnya. Ia pulang lebih dahulu untuk mempersiapkan segalanya. Aku menikmati tingkah lakunya ketika aku sampai di rumahnya. Ia menyanyikan lagu “Kisah Cintaku” yang dinyanyikan oleh Chrisye dengan penuh penghayatan sambil memandang foto dirinya bersama istrinya. Ia mengenang masa lalunya yang indah bersama dengan istrinya. Istrinya merupakan anugerah Tuhan yang terindah dalam hidupnya. Mereka selalu bersama-sama sejak Sekolah Dasar karena orangtua mereka sangat akrab dan rumah mereka berdekatan. Kedekatan mereka menumbuhkan cinta di hati mereka ketika mereka duduk di bangku SMA. Mereka mengagungkan “kesetiaan dan pengorbanan. Mereka berikrar bahwa cinta mereka ini merupakan cinta yang pertama dan yang terakhir. Cinta mereka tidak akan pernah purna, bahkan oleh Alam baka. Cinta mereka diukirkan dalam sebuah pernikahan gereja yang sangat mengesankan. Mereka dikaruniai tiga putera sebagai hadiah dari Tuhan pada perkawinan mereka. Tanpa diduga sebelumnya, sang istri pada usia empat puluh tahun mengalami gagal ginjal. Ia sudah dibawa ke China berkali-kali selama dua tahun dalam usaha transplantasi ginjal. Namun, tidak ada satu ginjalpun yang cocok dengan dirinya. Sang suami tidak menyerah untuk mencarikan donor ginjal bagi istrinya karena ia yakin bahwa pada waktunya Tuhan akan menurunkan kemurahan-Nya asalkan ia tetap tekun berdoa. Doanya sangat sederhana, tetapi mendalam : “Tuhan, aku percaya kepadaMu”. Tuhan sungguh menepati janjinya. Pada suatu siang, staff rumah sakit di China mengabarkan bahwa ginjal telah tersedia bagi istrinya dan ia harus segera datang. Hatinya penuh dengan kegembiraan. Ia menyampaikan kabar sukacita ini kepada istrinya yang terbaring lemah di kamarnya. Istrinya menatapnya dengan sinar mata yang teduh. Pelan-pelan ia menutupkan kelopak matanya selama-lamanya. Istrinya itu ternyata menulis sebuah pesan dengan huruf-huruf yang indah di buku hariannya : “Hon, cinta dan pengorbananmu mengiringi langkahku pulang ke Rumah Bapa. Ketika donor ginjal telah tersedia, berikanlah kepada orang yang sangat membutuhkannya, khususnya yang anak-anaknya masih memerlukan pendampingannya. Aku tetap hidup di dalam dirinya”. Kisah cinta anak Tuhan yang mengharukan. Tanpa ada komando, kami menyanyikan syair-syair lagu “Kisah Cintaku” yang diiringin dengan deraian air mata sebagai penutup sharing makna cinta pada malam itu :

Di malam yang sesunyi ini
Aku sendiri tiada yang menemani
Akhirnya kini kusadari
Dia telah pergi tinggalkan diriku

Adakah semua 'kan terulang
kisah cintaku yang seperti dulu
Hanya dirimu yang kucinta dan kukenang di dalam hatiku
Takkan pernah hilang bayangan dirimu untuk selamanya

Mengapa terjadi kepada diriku
Aku tak percaya kau telah tiada
Haruskah kupergi tinggalkan dunia
Agar aku dapat berjumpa dengan mu


“Terimakasih Tuhan, Engkau telah menunjukkan kepadaku adanya cinta adikodrati dalam diri dua manusia”, doaku kepadaNya. Cinta adikodrati mampu menyegarkan cinta yang telah layu akibat pengkhianatan, penindasan, dan penganiayaan. Tuhan telah mematrikan nafas cinta-Nya ke dalam hati setiap insan. Cinta adalah perasaan yang bernyawa. Ia ingin dicari. Ia ingin dirindukan. Ia ingin dipertahankan. Ia ingin dihidupi. Ia tidak mau dipermainkan. Cinta akan memancarkan keindahan jika tidak diterlantarkan. Keindahan cinta tidak akan pernah sirna di tengah kehidupan fana di dunia yang sementara : “Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir, bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap” (1 Kor 13:8). Kekekalan cinta menggambarkan keabadian Tuhan, Sang Sumber Cinta. Jangan pernah bangga menjadi manusia seadanya, tetapi jadilah manusia yang mulia. Kucinya : jangan biarkan cinta merana, terbengkalai di tengah keegoisan. Keindahan cinta akan membuat kehidupan tak akan berakhir pada wadas kematian. Tuhan memberkati.

Salib Yesus: Sumber keselamatan kita

Bacaan
Bil 21:4-9
Yoh 3:13-17

Renungan
oleh Pastor Tonny Blikon, SS.CC

Saudara dan saudariku…..
Hari ini (14 September) kita merayakan Pesta Salib Suci. Perayaan ini dimaksudkan untuk mengenang kembali peristiwa bersejarah penemuan Salib Yesus pada tahun 326. Penemuan ini menjadi bukti kuat bahwa iman Kristiani bukanlah suatu dongeng belaka tetapi suatu peristiwa yang sungguh pernah terjadi.

Menurut St. Yohanes Crysostomus, St. Helena, ibu dari Kaiser Konstantinus ingin sekali menemukan salib yang dipakai untuk penyaliban Yesus. Untuk alasan ini maka dia melakukan perjalanan jauh ke Yerusalem. Dia juga membawa orang-orang yang ditugaskan untuk menggali bukit kalvari. Para penggali menemukan ada 3 salib kayu. Mereka tidak bisa membedakan manakah salib Yesus dan mana yang dipakai untuk menghukum kedua orang penjahat yang dihukum bersama Yesus. Akhirnya mereka membawa seorang wanita yang sedang sakit keras dan seorang yang telah meninggal…dimana mayatnya sedang diusung ke pemakaman. Mereka mulai mencoba salib temuan tadi satu per satu. Salib-salib itu diletakan pada orang yang sakit dan yang sudah meninggal itu. dua salib yang pertama tidak membawa efek apa-apa. Sampailah pada salib yang ketiga. Apa yang terjadi? Wanita yang sakit tadi langsung sembuh dan orang mati tadi pun langsung hidup.

Sejak saat itu berita tentang hal itu tersebar. Banyak orang beriman datang untuk melihat dan menyembah salib itu. Lantas Patriarc Yerusalem waktu itu yang bernama Makarios, mendirikan suatu tiang dan menempatkan salib itu di sana supaya semua orang bisa melihatnya. Ketika melihat salib itu, semua orang berlutuh, menyembah dan berkata: “Tuhan kasihanilah kami”. St. Helena lalu memerintahkan untuk mendirikan sebuah gereja pada tempat di temukan salib itu. Gereja itu diberkati pada tanggal 13 September 335. Pesta Penemuan Salib Suci ditetapkan untuk dirayakan setiap tahun pada hari berikutnya yaitu pada tanggal 14 September.

Saudara dan saudariku….
Itulah sedikit tentang latar belakang sejarah pesta yang kita rayakan pada hari ini.

Bacaan-bacaan hari ini menarik perhatian kita pada suatu peristiwa sejarah keselamatan itu datang kepada kita karena Yesus telah menderita sengsara di atas salib.

Bacaan I hari ini berbicara tentang umat Israel yang berkesal hati karena segala kesulitan yang mereka alami selama perjalanan menuju tanah terjanji. Mereka telah lupa akan masa lalu mereka, tentang bagaimana Allah telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir dan menuntun mereka keluar dari negri berbudakan itu. Mereka tidak lagi percaya bahwa Allah yang menyelenggarakan hidup mereka. Mereka kesel dan menggerutu terhadap Allah dan terhadap Musa. Dalam situasi seperti itu tiba-tiba saja banyak ular berapi bermunculan di mana-mana dan memagut mereka. Banyak orang mati. Setelah itu Allah menyuruh Musa untuk membuat patung ular perunggu dan menempatkan-nya pada suatu tiang. Patung ular perunggu itu mengingatkan umat akan dosa ketidakpercayaan. Setiap orang yang terpagut, akan tetap hidup, bila memandang patung ular perunggu itu. Suatu gambaran tentang salib Kristus… orang yang memandang kepada salib Yesus akan tetap diselamatkan.

Saudara dan saudariku.
Bacaan Injil hari ini hendaknya menjadi suatu suatu hiburan kita. Walaupun kita telah jatuh ke dalam dosa dan berulangkali melakukan dosa dan kesalahan yang sama, kita mungkin ingat akan dosa-dosa berat yang kita lakukan… tetapi dalam Injil tadi dikatakan: “Demikian besar cinta kasih Allah kepada dunia, sehingga Ia menyerahkan Putera-Nya yang tunggal, agar setiap orang yang percaya akan Dia tidak binasa melainkan memiliki hidup abadi." Karena Allah mengutus Putera-Nya ke dunia bukan untuk menghukum, melainkan untuk menyelamatkan dunia. jatuh ke dalam dosa…

Yesus sendiri bersabda bahwa Allah sedemikian mencintai kita dan menghendaki agar kita hidup selama-lamanya. Melalui misteri yang kita rayakan hari ini, kita diajak untuk memuji dan memuliakan Allah yang telah menyelamatkan kita melalui Yesus Kristus… Luangkan waktu hari ini untuk memandang salib Yesus. Memandang dengan cinta…. Dari sánalah keselamatan kita.

Luar Biasa

Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.

Sore itu aku menyetir mobil sendirian menuju sebuah rumah panggung yang telah tua usianya. Rumah panggung ini merupakan rumah kas orang Chinese Benteng pada jaman dahulu. Di depan rumah itu terdapat beberapa pohon mangga yang tinggi dan besar, tetapi rimbun yang menandakannya sudah berumur ratusan tahun. Rumah itu terletak di tanah luas yang ditumbuhi banyak pohon-pohon liar. Ada suasana mistik yang membuat bulu kuduk berdiri bagi orang yang baru pertama kali mendatanginya.

Rumah itu sepi sekali. Aku ketok pintunya berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Aku kelilingi rumah itu sambil mengucapkan “Shalloom”. Hatiku riang sekali melihat sebuah jendela rumah itu terbuka. Aku melihat dari jendela itu seorang ibu yang kelihatan sudah tua walaupun baru berumur lima puluh lima tahun. Ia pernah bertemu denganku pada Misa pagi. Dengan kaca mata “plus” produksi lama, ia asyik sekali menjahit sebuah baju dengan mesin jahit yang sudah tua. Ia menjahit sambil menyanyikan lagu rohani “Ku Tak Dapat Jalan Sendiri” dan sekali-kali membuka Kitab Suci. Menyanyikan lagu-lagu rohani dan membaca Kitab Suci merupakan doanya untuk meminta berkat dari Tuhan. Berkat Tuhan mengalir baginya melalui mesin jahit tuanya. Mesin jahit itu menopang kehidupan keluarganya. Mesin jahit itu telah menghidupi dan menyekolahkan putera satu-satunya sampai lulus akademi pariwisata. Puteranya itu lahir ketika ia berusia tiga puluh tahun. Suaminya itu menderita sakit jiwa, tidak lama setelah kelahiran puteranya. Orangtuanya membawanya pulang ke rumahnya sampai sekarang agar mendapatkan ketenangan. Di dalam kesederhanaannya, ia pantang meminta-minta atau meminjam uang ke mana-mana untuk memenuhi kebutuhannya. “Romo, aku tidak akan pernah meminta-minta karena aku tidak pernah merasa kekurangan. Meminta-minta kepada manusia akan menghambat berkat Tuhan. Hanya kepada Tuhan aku memohon apa yang aku butuhkan karena Dialah gudang berkat bagi anak-anak-Nya”, katanya dengan hati yang mantap. Tuhan memang luar biasa. Walaupun sekarang ini tukang jahit kurang laku, banyak karyawan meminta tolong kepadanya untuk memperbaiki kancing baju atau kancing celana yang rusak.

Hatinya sekarang sedang galau karena puteranya itu akan menikah dengan seorang gadis dari keluarga yang sangat kaya. Ia akan tinggal bersama mertuanya di tempat yang berbeda. Perasaan minder, perasaan kehilangan, dan perasaan takut kesepian bercampur aduk menjadi satu. Satu-satunya yang dapat melegakan hatinya adalah mengiringi pernikahan anaknya dengan doa. Setelah ibadat singkat bagi anak dan calon menantunya, ia menyampaikan ungkapan hatinya : “Segala sesuatu di dunia ini akan sirna, hanya Tuhanlah yang kekal. Hidup di dunia ini hanya sementara. Aku yakin surga yang aku cita-citakan sudah di depan mata. Kunciku untuk masuk Rumah Bapa adalah mesin jahit tua. Melalui mesin jahit tua ini, aku telah memuji Tuhan dan mengabdi sesama. Tuhan telah mengubah mesin jahitku yang sederhana menjadi luar biasa”. Tuhan telah memulihkan kepercayaan dirinya.

Perjumpaanku dengan ibu yang luar biasa itu telah membawaku masuk ke wilayah iman. Tuhan telah melakukan banyak hal yang luar biasa. Yang biasa akan diubah menjadi luar biasa oleh Tuhan. Tuhan menciptakan aku bukan hanya untuk menjadi manusia tipe standard, biasa-biasa saja, tetapi menjadi manusia yang luar biasa. Luar biasa bukan untuk kemuliaan diri, tetapi untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Tuhan telah memperlengkapi aku dengan apa yang aku butuhkan untuk menjadi manusia yang luar biasa. Cinta akan Tuhan dan sesama merupakan kunci untuk membuka perlengkapan-pelengkapan yang ada. Karena itu, hinaan dan kegagalan tidak akan membuatku minder atau terkapar karena Tuhan menyertaiku untuk menjadi manusia yang luar biasa : “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu; janganlah kecut dan tawar hati, sebab Tuhan, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi” (Yosua 1:9). Pesan spiritual : Jangan puas menjadi istri biasa-biasa, menjadi suami biasa-biasa, orangtua biasa-biasa, anak biasa-biasa, umat katolik biasa-biasa, pastor biasa-biasa, tetapi jadilah istri yang luar biasa, suami yang luar biasa, anak yang luar biasa, umat katolik yang luar biasa, pastor yang luar biasa. Intinya : Jangan puas menjadi manusia biasa, tetapi jadilah manusia yang luar biasa untuk memancarkan Tuhan yang luar biasa. Tuhan memberkati.

Tuhan Memegang Tanganku

Sharing Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Hari itu merupakan hari yang melelahkan sekali. Konseling memenuhi agendaku pagi itu. Tak lama kemudian seorang ketua lingkungan memintaku membawa seorang ibu yang sangat sederhana ke rumah sakit karena pendarahan hebat. Suaminya bekerja sebagai buruh pabrik di Cikarang dan seminggu sekali baru pulang ke rumah. Setelah menyelesaikan urusan dengan rumah sakit itu, aku harus mengirim sembako bagi umat yang membutuhkan. Pada siang harinya aku memimpin Misa pelepasan jenasah seorang bapak yang aku kenal di Bandung pada waktu aku masih frater. Dalam keadaan lelah, godaan manusiawi muncul dalam diriku : “Apakah orang-orang yang aku layani ini nanti masih mengingat aku ketika aku sudah rapuh karena penyakit menggerogotiku dan tidak mempunyai apa-apa lagi untuk ditawarkan kepada mereka ?” Aku pun tertidur di meja kerjaku. Tuhan muncul dalam mimpiku sore itu. Ia menepok bahuku : “Jangan pikirkan apakah orang mengingat apa yang engkau lakukan supaya semangat pelayananmu tidak goyah !”. Mimpi itu mengambil bebanku. Kejernihan pikiran spiritualku dipulihkan. Aku sadar bahwa iblis ingin membunuh antusiasme dalam pelayananku dengan menyodorkan perntanyaan apakah yang aku lakukan ini ada artinya. Aku kini hanya ingin melayani sesamaku sebaik-baiknya agar mereka mengalami diri berharga di mata Tuhan. Kalaupun ada yang mengingatku, itu adalah bonus dan bukan tujuan pelayananku.

Bonus dari Tuhan itu datang saat itu juga. Sepasang suami istri dari Paroki Santa Maria Tangerang ingin bertemu denganku. Mereka berjualan kain di pasar Cikupa. Aku menikahkan mereka lima tahun silam. Aku membantunya dalam persiapan upacara pernikahan mereka karena sang istri adalah satu-satunya yang beragama katolik sehingga tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Keterlibatanku dalam persiapan upacara pernikahan mereka rupanya mengesankan mereka sehingga mereka sudah bertahun-tahun mencoba dengan berbagai cara untuk menemukan keberadaanku. Mereka ingin menyampaikan kabar gembira kepadaku bahwa sang suami telah menjadi katolik seperti dijanjikannya sebelum pernikahan. Kami dipenuhi dengan kegembiraan sehingga tidak terasa kami ngobrol selama dua jam. Kesaksian tentang pergumulan iman sang istri menjadi fokus obrolan kami.

Ia lahir dan bertumbuh di dalam keluarga yang sangat sederhana, tanpa ayah. Ayahnya meninggal dunia ketika adiknya yang ketujuh lahir ke dunia karena penyakit komplikasi. Ia tidak mengalami indahnya masa remaja karena harus membantu ibunya membuat kue untuk dijajakan keliling. Dalam kesulitan hidup, ia bersyukur dianugerahi seorang ibu yang tulus dan tegar dalam berjuang untuk menghidupi dan menyekolahkan ketujuh anaknya. Krisis moneter pada tahun 1998 membuat ekonomi keluarganya semakin sulit. Pada waktu itu, ia duduk di kelas dua SMP. Jualan kuenya terus merugi. Ibunya terpaksa mengkontrakkan rumahnya untuk menopang kehidupan keluarganya. Hasil dari kontrakan rumahnya tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Tanpa sepengetahuan ibunya, ia bekerja setelah pulang sekolah, seperti tanpa malu-malu menawarkan diri untuk membersihkan rumah tetangganya. Tuhan memberkati hatinya yang tulus. Ia mendapatkan beasiswa, yaitu bebas biaya sekolah sejak SMP sampai lulus universitas. Refleksinya dari petualangan imannya sangat indah : “Tuhan selalu membantu umat-Nya yang berserah diri kepadaNya. Ketika badai menerjang kehidupan dan hidup sudah berada dalam jurang, Dia senantiasa memegang tangan kita. Ia menopang semua beban berat kita. Dia adalah Bapa yang peduli terhadap anak-Nya. Karena itu, jangan kuatir akan hari esok karena Dia mempunyai rencana yang indah dan terbaik bagi kita”.

Iman dan harapannya sedang dipertajam dengan kesabaran. Ia belum dikaruniai anak walaupun usia pernikahannya sudah menginjak lima tahun. Kista sepanjang 3,5 cm menjadi penghambat kehamilannya. Ia menjalani operasi laparascopy (operasi tanpa sayatan). Walaupun paska operasinya sudah berlangsung satu tahun, tanda-tanda kehamilan belum tampak padanya. Ia tetap percaya akan rencana terbaik Tuhan. Hadiah yang terindah adalah suaminya menjadi seorang katolik setelah mengikuti persiapan yang panjang. “Aku yakin bahwa Tuhan akan memberikan anak supaya dididik dalam jalan-Nya pada keluarga katolik. Harapanku akan terwujud ketika aku tetap beriman. Buah kesabaran adalah sukacita”, katanya penuh keyakinan.

Tuhan pada waktunya akan meratakan jalan kehidupan . Kehidupan yang sulit tiba-tiba terasa mudah. Kebuntuan tiba-tiba ada jalannya. Aku merasakan beban hidupku diangkat dan hidupku pun ringan. Aku adalah harta kesayangan Tuhan sehingga Ia mengurapiku dengan minyak : “Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak ; pialaku penuh melimpah” (Mazmur 23:5). MinyakTuhan adalah kasih-Nya yang membersihkan karat-karat kehidupan, seperti penderitaan dan kesulitan, sehingga jalan menuju kehidupan yang lebih baik semakin hari akan semakin lebih mudah atau lebih licin. Tetaplah berpegang pada iman, tidak menyerah dengan keadaan, maka cita-cita dan harapan akan menjadi kenyataan. Berkat Tuhan akan mengikuti sepanjang masa. Pelayanan kepada sesama merupakan ungkapan syukur atas apa yang diterima dari Tuhan, tanpa mengharapkan untuk diingat karena semuanya adalah milik-Nya. Itulah kunci kebahagiaan. Tuhan memberkati.

Mengampuni berarti menyembuhkan diri sendiri

Renungan Minggu Biasa XXIV – Tahun A
Oleh Pastor Tonny Blikon, SS.CC

Bacaan:
Sir 27:30 - 28:9
Roma 14:7-9
Matius 18: 21-35

Renungan:

Saudara dan saudariku
Dalam cerita silat, salah satu tema yang menonjol adalah balas dendam. Sebuah kalimat yang seringkali muncul adalah: "Aku akan mati dengan tenang sesudah dendamku usai terbalas."

Inilah yang seringkali terjadi dalam kehidupan ini. Banyak orang berpegang pada kebencian, mereka menimbun rasa dendam terhadap orang yang menyakiti mereka dan suatu hari nanti mereka akan membalasnya. Namun yang sebenarnya adalah: jika kita tidak mengampuni orang maka kita sedang menghukum dalam diri kita sendiri. Tidak mengampuni merupakan penghalang bagi kita untuk merasa damai. Kita harus menyingkirkan penghalang itu, membuka lebar pintu dan memberikan pengampunan kepada orang. Di saat hati terbuka maka kita dapat melepaskan sakit hati, penderitaan dan memberikan kesembuhan.

Dalam Injil hari ini, Petrus bertanya kepada Yesus : "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Jawab Yesus : "Sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali artinya mengampuni secara tuntas, tanpa bekas.

Ini pengajaran yang bagus, tetapi sulit untuk dilaksanakan karena memberikan pengampunan tidak semudah membalikan telapak tangan. Banyak orang berkata, "Aku tidak memaafkan dia, hatiku sudah terlanjur sakit. Kok enak, dia sudah berbuat jahat dan menyakiti aku, kok saya yang harus mengampuni dia?" Harus kita akui bahwa hal mengampuni ini memang hal yang tidak mudah untuk dilakukan, terlebih lagi jika orang yang menyakiti dan berbuat jahat kepada kita adalah orang-orang terdekat atau orang yang kita kasihi. Tetapi sebetulnya jika kita mengampuni maka kita berada pada posisi sebagai pemenang.

Saya punya suatu film yang bagus sekali, ”Karol: a Man who became Pope.” Film ini dibuat oleh para actor-aktris Polandia dalam rangka penghormatan bagi salah seorang pemimpin terbaik kereja, bahkan salah seorang pemimpin dunia terbaik, yang banyak kita kenal keteladanan pribadinya: Paus Yohanes Paulus II.

Dikisahkan bahwa ketika masih sebagai dosen di sebuah universitas di Polandia, Karol mempunyai seorang mahasiswa yang sangat dekat dengannya yang bernama. Karol tidak menyadari atau mencurigai bahwa sebenarnya mahasiswa itu adalah mata-mata yang dikirim oleh Parta Komunis yang berkuasa saat itu. Adam menyamar sebagai mahasiswa dan bersahabat dengan Karol dengan maksud mencari kesalahan-kesalahan yang bisa dipakai untuk menangkap Karol.

Dalam film itu, terlihat bahwa Adam Zielinski memasang alat rekam suara di mana-mana bahkan sampai di ruang pengakuan. Namun sepanjang pengamatannya, Adam tidak menemukan hal-hal subversif yang dilakukan oleh Karol Woytila sebagai bukti untuk menangkapnya. Yang terjadi justru sebaliknya. Ia makin mengenal Karol Woytila sebagai seorang hamba Tuhan yang sungguh mendedikasikan hidupnya bagi Tuhan, bangsa dan negaranya. Adam sendiri tidak tahan mendengar penderitaan orang yang datang berkonsultasi. Dia akhirnya mengakui dan meminta maaf di hadapan gurunya itu.

Melihat dan mendengar pengakuan Adam Zielinski yang mengakui kesalahannya dengan menyesal dan hancur hati, Karol Woytila mengatakan: ’if you made mistakes, you already paid for them’, maksudnya, penyesalannya yang diungkapkan itu sudah cukup untuk membayar kesalahannya. Karol Wojtyla, dengan gampang sekali mengampuninya, ia sama sekali tidak bertanya mengapa ia melakukan perbuatan jahat kepadanya, apa latar belakangnya, ataupun jengkel, marah dan dendam. Adam Zielinski tak pernah menduga bahwa ia mendapatkan maaf dan ampun dari gurunya segampang itu, padahal dialah yang selama ini menyebabkan gurunya itu menderita kesulitan akibat tekanan-tekanan partai komunis. Mengapa Karol Wojtyla begitu mudah mengampuninya? Sebab, harga dari jiwa yang menyesal itu lebih mahal, dan rasa dendam sama sekali tidak sebanding dengan indahnya pertobatan.

Saudara dan saudariku
Di saat hati terbuka untuk mau mengampuni maka kita dapat melepaskan sakit hati, penderitaan dan memberikan kesembuhan. Bila kita bisa mengampuni dengan tuntas maka yang kita dapatkan adalah kesembuhan dalam jiwa kita, bebas dari marah, benci, dendam dan tentu saja berkat Tuhan untuk kita tidak terhalang. Pertumbuhan hidup rohani sangat erat terkait dengan kesediaan untuk mengampuni. Bila seseorang tidak mampu atau tidak mau mengampuni orang yang bersalah dengannya itu berarti dia menutup kesempatan bagi rohaninya untuk bertumbuh. Jadi, kalau mau bertumbuh maka belajarlah untuk mengampuni.

Kesaksian:
Saya adalah seorang biarawati dari tarekat CB yang berkarya di Kupang NTB, nama saya Suster Marietha, CB (umur 37 tahun). Tiga tahun yang lalu saya divonis oleh dokter di RS Panti Rapih Jogja bahwa saya menderita Kanker Payudara stadium 1B. Selama 1 tahun lebih saya berusaha minum obat-obatan tradisionil dan teh hijau, tapi setelah 1 tahun saya check kembali ke dokter di Panti Rapih, stadium bertambah menjadi 2B, kemudian oleh seorang ibu di Semarang, saya dianjurkan ke Romo Yohanes Indrakusuma, O Carm di Cikanyere, Puncak, Jawa Barat untuk didoakan.

Pada waktu tangan Romo Yohanes menumpangkan tangan di atas kepala saya,dia berkata: "Suster pasti menyimpan dendam yang sudah lama kepada seseorang di hati suster."

Mendengar itu saya menangis tersedu-sedu dan saya katakan kepada romo: "Benar romo, saya memang membenci ayah saya sejak saya di SMP, karena ayah saya telah mengkhianati ibu, 2 kakak saya dan saya. Kami diusir dari rumah kami, kemudian ayah dan seorang wanita menempati rumah yang sudah bertahun-tahun kami tempati itu. Sejak saat itu ibu saya sakit-sakitan dan akhirnya meninggalkan kami selama-lamanya. Dan sejak itu saya memendam kebencian terhadap ayah."

Setelah mendengarkan cerita saya, Romo Yohanes berkata: "Ya, itulah BIANG dari penyakit suster, selama suster tidak mau mengampuni ayah, obat apapun tidak akan menyembuhkan suster. Dan mengampuni bukan hanya dengan kata-kata tapi harus dibuktikan dengan perbuatan."

Setelah itu saya minta ijin cuti selam 6 bulan pada suster provinciaL CB untuk menengok dan merawat ayah, karena saya dengar dari saudara ayah kalau ayah terkena stroke. Selama 6 bulan itu saya merawat ayah dengan cinta kasih yang tulus. Selama bersama ayah saya tidak minum obat apapun.

Setelah selesai masa cuti, sebelum kembali ke Kupang, saya ke RS Panti Rapih di Jogja untuk check up, dokter yang merawat saya sangat heran dan bertanya: "Suster minum obat apa selama ini?" Saya jawab kalau tidak minum apa2, dan saya balik bertanya ada apa dokter?

Dokter menjawab dari hasil pemeriksaan, baik darah maupun USG semuanya NEGATIVE. Langsung saya jawab obatnya PENGAMPUNAN. Dokter heran dan bertanya apa maksud suster? Saya ceritakan semuanya, kemudian dokter berkata wah kalau begitu kepada pasien-pasien saya yang menderita kanker, saya akan bertanya apakah anda punya perasaan dendam atau benci terhadap seseorang. Kalau jawabannya ya, saya akan suruh berdamai dan memberikan pengampunan seperti suster, sambil tertawa si dokter menepuk pundak saya.

Demikianlah pengalaman yang saya alami bisa dibagikan kepada saudara-saudari semua, bahwa PENGAMPUNAN itu sangat besar faedahnya, tidak hanya untuk jasmani tapi juga rohani kita. (kisah Sr. Marietha, CB di sharingkan via Timothy Wibowo)

Saudara dan saudariku.
Marilah kita semua berlutut dan berdoa mohon rahmat pengampunan. Kita bisa berdoa bagi diri kita sendiri, juga bagi orang lain yang kita tahu bahwa sampai saat ini masih sulit untuk mengampuni.

Meditasi (Music)
Bayangkan segala sakti hati, dendam yang masih mempengaruhimu sampai saat ini. Bayangkan juga wajah orang yang telah menyakitimu itu. Dia datang kepadamu untuk meminta maaf.

Dari dalam dirimu sadarilah bahwa tidak ada gunanya menyimpan rasa sakit hati. Dengan mengampuni maka hidup jadi lebih ringan. Mintalah rahmat dari Tuhan: rahmat untuk mengampuni.

Hayatilah perasaan yang terluka dan berduka itu. Yesus berjanji: Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.

Ingatlah bagaimana Allah telah mengampuni Anda. Dalam imaginasimu…pandanglah salib Kristus, hampirilah salib itu. Anda akan mendapat keadilan dan kekuatan.

Mintalah karunia dan kuasa untuk mengampuni. Mungkin batin kita berontak, ’Aku tidak mungkin mengampuninya” – tidak apa-apa. Ceritakan saja pada Yesus. Dia pasti bisa mengerti.

Dari atas salib, Yesus telah mengajar kita sebuah doa yang sangat indah: ”Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan” – jadikanlah doa ini sebagai doamu saat ini.

Lagu: Mengampuni lebih sungguh.

Mengasihi, mengasihi lebih sungguh (2x)
Tuhan lebih dulu mengasihi kepadaku
Mengasihi, mengasihi lebih sungguh.

Melayani, melayani lebih sungguh (2x)
Tuhan lebih dulu melayani kepadaku
Melayani, melayani lebih sungguh.

Mengampuni, mengampuni lebih sungguh (2x)
Tuhan lebih dulu mengampuni kepadaku
Mengampuni, mengampuni lebih sungguh.

Manisnya Pengampunan

Renungan Minggu Biasa ke 24 Tahun A
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Bacaan:
Sir 27:30 - 28:9
Roma 14:7-9
Matius 18: 21-35

Renungan:

Pengampunan mengingatkan kita akan lagu “Madu dan Racun” yang dinyanyikan oleh Arie Wibowo : “Madu di tangan kananmu, Racun di tangan kirimu, Aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku”. Madu adalah simbol manisnya pengampunan dan racun adalah lambang pahitnya kebencian. Mengampuni memang tidak mudah, apalagi mengampuni orang yang sama. Lebih mudah mengampuni seratus kali kepada orang yang berbeda daripada sepuluh kali kepada orang yang sama. Menyimpan kebencian berarti menyebarkan racun yang mematikan diri kita sendiri. Membuang kebencian mendatangkan kelegaan. Ilustrasi ini indah sekali.

Seorang ibu guru meminta murid-murid-Nya membawa satu kantong plastik dan kentang sejumlah orang yang dibencinya. Masing-masing kentang diberi nama berdasarkan orang yang dibencinya. Ada yang membawa kantong plastik berisi satu kentang, ada yang dua, ada yang tiga, bahkan ada yang lima. Murid-murid itu harus membawanya kemana saja mereka pergi selama satu minggu. Hari berganti hari, kentang-kentang itu mulai membusuk. Mereka mengeluh, apalagi yang membawa lima buah kentang, selain berat, baunya juga tidak sedap. Pada hari ketujuh semua murid merasa lega setelah membuang kantong plastik berisi kentang-kentang kebencian itu ke tempat sampah. Inti dari ceritera itu : tidak enak membawa kebencian dalam hidup kita. Menyimpan kebancian bisa menimbulkan penyakit. Tidak ada jalan lain agar kita mengalami kelegaan, yaitu melepaskan pengampunan kepada orang yang melakukan kesalahan kepada kita. Kemarahan yang disimpan adalah sampah dan racun bagi jiwa ! Karena itu, buanglah kemarahan dan lepaskanlah pengampunan bagi siapapun juga.

Ada sebuah kesaksian tentang pengampunan di antara suami dan istri dalam sebuah retret. Kesucian pernikahan mereka telah dinodai dengan perselingkuhan suami. Perselingkuhan sang suami dengan pembantu rumah tangganya sendiri tertangkap basah oleh istri. Hati sang istri terluka sekali. Tidak ada kata “maaf” sampai mati. .Ia mempertahankan perkawinannya ini hanya demi anak-anak yang membutuhkan “papi”, walaupun ia harus makan hati. Situasi rumah tangga sudah menjadi seperti api neraka. Pertengkaran terjadi setiap hari. Pertengkaran yang berakar dari kecurigaan. Istri tidak percaya lagi dengan suami. Suami diam-diam memata-matai istri. Ia takut istrinya membalas perbuatannya selama ini. Setiap malam ia memeriksa handphone istri untuk melihat apakah ada kata-kata “romantis” dari pria lain yang mengungkapkan “jatuh hati”. Kecurigaan telah melenyapkan kenyamanan hati suami dan istri. Dalam doa pemulihan dan adorasi, mereka merasakan sebungkah es pelan-pelan melelehi hati. Air mata pun tertumpah di pipi. Mereka saling memandang, tetapi tidak ada yang berani mengatakan “maaf” karena gengsi. Getaran handphone yang hampir bersamaan di dalam saku celana mereka telah mengubah keadaaan. Tak terduga getaran handphone itu berisi SMS dari puterinya yang berumur tujuh tahun : “Papi dan mami, jangan lupa besok ulang tahunku ! Aku tak mau tas baru sebagai hadiah ulang tahunku. Janji ya….. sebagai hadiah ulang tahunku adalah papi dan mami tidak boleh bertengkar lagi !”. SMS dari anak kecilnya ini mampu membuat mereka tersenyum. Senyuman membawa mereka pada pembaharuan janji pernikahan. Janji pernikahan membuat mereka berjalan sambil berangkulan dengan meninggalkan aku bengong sendirian di kamar makan ha…. ha…..ha….

Yesus mengatakan kepada Petrus bahwa ia harus mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali. Pengampunan bukan sekedar jumlah atau sekedar melupakan kesalahan. Pengampunan merupakan panggilan untuk menghadirkan kerajaan Allah. Menghadirkan Kerajaan Allah berarti menghadirkan belaskasihan Allah yang tak terhingga kepada umat-Nya. Dengan mengampuni, kita memperoleh kedamaian di hati karena terlepaskan dari belenggu balas dendam, kemarahan, dan kebencian. Pengampunan tidak pernah rugi. Menyimpan kesalahan membikin sakit hati, batin tertekan, perasaan tidak nyaman, muka muram, dan senyuman menjadi hambar. Pengampunan akan memulihkan perasaan tidak nyaman menjadi menyenangkan. Trauma pun akan hilang. “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kolese 3:13). Tuhan memberkati.

Happy Birthday to our Lady

Bacaan
Roma 8:28-30
Matius 1:1-16,18-23

Renungan
oleh Pastor Tonny Blikon, SS.CC

Dalam bacaan pertama hari ini, apa yang dikatakan rasul Paulus kepada jemaat di Roma, juga dikatakan kepada kita semua: “orang-orang yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya”

Jika kita coba menempatkan kalimat ini dalam konteks bacaan Injil hari ini, kita melihat bahwa silsilah Yesus Kristus itu berawal dari Abraham, Ishak dan Yakub. Dari keturunan merekalah Mesias akan dilahirkan. Allah tahu dari suka manakah akan terlahir seorang yang akan melahirkan juruselamat.

Merayakan hari kelahiran bunda Maria, mengingatkan kita akan apa yang dikatakan oleh Paulus kepada jemaat di Galatia: ”setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan....” (Gal 4:4).

Kutipan dari ini saya kira penting untuk kita renungkan bahwa bahwa Allah sejak keabadian, telah menerencakan penciptaan kita masing-masing, menempatkan kita pada suatu tempat tertentu untuk maksud dan tujuan tertentu sesuai dengan kehendak Allah. Kehadiran kita di dunia ini bukanlah merupakan suatu kebetulan. Juga bukan atas kehendak orang tua kita masing-masing. Hari dan jam kelahiran kita telah diketahui oleh Allah. Demikian pun kelahiran bunda Maria. Sekali lagi saya membaca kutipan dari surat rasul Paulus di atas: “setelah genap waktunya maka Allah mengutus Anak-Nya yang lahir dari seorang wanita….” Kebenaran yang berlaku bagi Yesus dan Maria, juga berlaku bagi kita semua.

Karena itu, merayakan ulang tahun Bunda Maria adalah satu kegembiraan karena hanya dialah satu-satunya manusia yang hidup sesuai dengan maksud dan rencana Allah. Kita bergembira karena dengan kelahiran Bunda Maria maka telah dekatlah keselamatan yang datang dari Allah itu.

Saya membayangkan begini. Ketika bunda Maria dilahirkan, semua malaikat bersukacita karena dekatnya keselamatan bagi umat manusia.

Hadiah apakah yang pantas kita berikan kepada Maria pada perayaan ulang tahunnya ini? Kita bisa membayangkan begini: jika seorang anak bertanya kepada ibunya yang merayakan ulang tahun: ‘mama…mau hadiah apa? Mama itu menjawab: “Yang penting adalah kamu jadi anak yang baik.”

Hari ini ketika kita merayakan ulang tahun bunda Maria, kita boleh bertanya: “bunda mau hadiah apa? Maka Maria pasti akan menjawab: yang terpenting adalah kamu menjadi anakku yang baik. Karena itu, marilah kita berusaha untuk hidup sebagai anak Maria yang baik, meneladani bunda Maria yang dikandung tanpa noda dosa dengan menjauhkan segala perbuatan dosa.

Saya ingin menyanyikan lagu ini untuk bunda Maria

On this day o beautiful Mother
On this day we give thee our love
Near the madona fondly we hover
Trusting thy gentle care to prove.

On this day we ask to share
Dearest mother thy sweet care
Aid us ere our feet astray
Wander from thy guiding way

Queen of angels, deign to hear
Lisping children’s humble prayer
Youg heart gain, o virgin pure
Sweetly to thyself allure.

Tuhan mendengarkan

Sharing pastoral oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.

“Romo, doakan aku supaya aku tidak menjadi anak nakal”, pinta seorang anak kecil, berusia tiga tahun, dengan polosnya. Ketika aku mendoakannya, ia mengikutinya dengan khusyuknya. Ia memejamkan matanya dan melipatkan kedua telapak tangannya di dada seperti gambar seorang kudus yang dipajang di dinding rumah-rumah orang beriman. “Tanda Salib” yang diterima di dahinya membuatnya sangat bahagia. Ia kemudian berlari sambil menari-nari menuju ibunya. Kepolosan seorang anak sering mengundang kerinduan untuk hidup di dalam kesucian.

Ibunya mensharingkan pengalaman imannya tentang kelahiran anaknya. Anaknya ini merupakan anugerah dari doa novenanya yang sangat panjang, selama empat tahun lamanya. Kehamilannya membuatnya sangat bahagia. Impiannya menjadi kenyataan. Ia menjaga kandungannya dengan baik agar bayinya lahir dengan selamat. Ia sudah sering bermimpi menggendong bayinya dengan bangga. Panggilan kepadanya “mama” menjadi kerinduannya. Kerinduannya hampir sirna karena kecelakaan lalu lintas. Ia jatuh dari sepeda motor ketika akan menuju gereja untuk mengikuti Misa. Ia mengalami pendarahan yang hebat. Bayi dalam kendungannya dalam keadaan bahaya. Secara medis bayi itu akan meninggal dunia beberapa hari kemudian. Banyak orang menyarankannya agar membersihkan kandungannya demi keselamatan nyawanya. Ia menampung semua saran manusia, tetapi ia percaya bahwa Tuhan mampu melakukan sesuatu di luar logika manusia. “Bagi orang beriman tidak ada istilah menyerah dengan keadaaan walaupun solusi tampaknya tidak ada”, katanya penuh keyakinan. Ia yakin bahwa anaknya akan selamat ketika ibunya menyelimutinya dengan doa. Ia pun rela menjalani bed rest selama enam bulan demi bayinya. Ia rela melepaskan karir dalam pekerjaan yang telah dirintis dan dicita-citakannya sejak kuliah. Semuanya rela dikorbankannya, bahkan nyawanya demi keselamatan bayi yang berada dalam kandungannya. Ia menderita bukan karena tubuhnya yang kaku karena tidak bergerak sangat lama, tetapi karena kekuatiran yang dibisikkan oleh setan jahanam. Ia kadang-kadang kuatir bahwa anaknya belum tentu hidup dan mungkin lahir cacat. Kekuatiran itu menggodainya untuk mengambil keputusan menurut pertimbangan ekonomis, untung rugi, dalam kaca mata manusia. Semakin ia menggunakan pertimbangan manusia, ia semakin gelisah. Ia pun berputar arah. Ia tidak lagi memusatkan diri pada kekuatiran, tetapi kepada Tuhan, Sang Pencipta Kehidupan. Ketika kekuatiran datang, ia akan berdoa : “Tuhan, nyawaku dan nyawa bayi di dalam kandunganku adalah satu. Aku akan menjaganya. Aku serahkan diriku dan bayiku dalam kebijaksanaan-Mu. Terpujilah nama-Mu kini dan sepanjang masa”. Doa itu memberikan ketenangan yang mendalam kepadanya. Ia mengalami bahwa Tuhan semakin dekat dengannya. Ia berhasil menjadikan kekuatiran dan kecemasannya sebagai doanya kepada Tuhan. Tuhan memenuhi janjinya. Ia melahirkan dengan lancar dan normal. Ia tidak merasakan sakit sama sekali ketika melahirkan. Peristiwa ini diyakininya sebagai hadiah dari Tuhan atas kerelaannya menanggung penderitaan yang cukup lama dengan iman. Bayinya lahir dengan sempurna. Bayi ini sangat antusias dengan hal-hal spiritual. Tangan bayi ini akan melambai-lambai kegirangan pada waktu diperdengarkan musik-musik rohani. Sekarang ia tidak bisa tidur kalau belum berdoa bersama. Keluarganya pun semakin akrab satu sama lain. “Semoga anakku terus menjadi pujian bagi Tuhan”, harapnya dengan penuh kebanggaan.

Tuhan memintaku untuk menghadirkan kuasa-Nya dengan tak jemu-jemunya berdoa. Tuhan berjanji akan mendengarkan doa anaknya : “Ketika aku dalam kesesakan, aku berseru kepada Tuhan, kepada Allahku aku berteriak minta tolong. Ia mendengar suaraku dari bait-Nya, teriakku minta tolong kepada-Nya sampai ke telinga-Nya” (Mazmur 18:7). Tuhan memperhatikan doa yang dipanjatkan dengan tak henti-hentinya, dari hati yang jujur, dan dengan penuh iman : “Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin” (Yakobus 1:6). Pesannya : “Jangan puas hanya titip doa kepada orang yang dianggap luar biasa, tetapi yakinlah bahwa doa anda akan penuh kuasa yang membawa pembaharuan. Jangan banyak bicara kepada manusia karena hanya akan menambah masalah, tetapi banyak bicaralah kepada Tuhan karena akan memberikan banyak berkat”. Tuhan memberkati.

Kardinal Suenens: Saya mencintai Legio Mariae karena keberaniannya


Selasa Pekan 23 Tahun A

Bacaan:
Kol 2: 6-15 + Mzm 145 + Luk 6: 12-19


Homily:

Para legioner yang terkasih.
Kita merayakan ekaristi ini sebagai perayaan syukur. Ada banyak hal yang membuat kita bersyukur kepada Tuhan. Kita dapat bersyukur kepada Tuhan karena pengalaman kebaikan Tuhan yang kita alami baik secara pribadi maupun secara kolektif / bersama. Hari ini kita ingin bersyukur kepada Tuhan karena pengalaman bersama ini: bimbingan Tuhan selama 90 tahun atas karya kerasulan legio Mariae di seluruh dunia.

Ketika merenungkan perayaan 90 tahun ini dan bagaimana karya kerasulan Legio Mariae yang tersebar hampir ke seluruh dunia, saya teringat akan peristiwa yang dikisahkan di dalam Kisah Para Rasul 5 dimana para rasul dihadapkan kepada Mahkama Agama dan Imam Besar mengatakan: "Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalam Nama itu. Namun ternyata, kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu dan kamu hendak menanggungkan darah Orang itu kepada kami." Tetapi Petrus dan rasul-rasul itu menjawab, katanya: "Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.....” Setelah itu terjadi keributan besar. Tetapi Gamaliel seorang Farisi yang sangat dihormati di dalam Mahkama Agama itu, meminta supaya para rasul di keluarkan sebentar dari ruang sidang." Dan setelah itu dia berkata kepada sidang: "Hai orang-orang Israel, pertimbangkanlah baik-baik, apa yang hendak kamu perbuat terhadap orang-orang ini! Sebab dahulu telah muncul si Teudas, yang mengaku dirinya seorang istimewa dan ia mempunyai kira-kira empat ratus orang pengikut; tetapi ia dibunuh dan cerai-berailah seluruh pengikutnya dan lenyap. Sesudah dia, pada waktu pendaftaran penduduk, muncullah si Yudas, seorang Galilea. Ia menyeret banyak orang dalam pemberontakannya, tetapi ia juga tewas dan cerai-berailah seluruh pengikutnya. Karena itu aku berkata kepadamu: Janganlah bertindak terhadap orang-orang ini. Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini; mungkin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Allah.”

Saya ingin mengarisbawahi perkataan Gamaliel tersebut: ”Kalau maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini; mungkin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Allah.”

Saya berani mengatakan bahwa Legio Mariae merupakan suatu gerakan kerasulan awam yang berasal dari Allah sendiri. Toh kenyataannya adalah Legio Mariae merupakan suatu buah dari devosi yang sangat mendalam kepada Bunda Maria dan ekaristi oleh Frank Duff.

Karena devosi yang mendalam inilah maka, Allah mengilhami dia sebuah pengertian yang mendalam tentang misteri gereja sebagai Tubuh Kristus dan peranan Maria dalam misteri Kristus dan gereja.

Sebelum konsili Vatican II, gereja identik dengan kaum berjubah. Tetapi pendiri kita Frank Duff mendapat pengertian yang lain tentang misteri gereja ini. Dia ingin membagi-bagikan pengertian itu kepada orang lain bahwa gereja bukanlah kaum berjubah, tetapi gereja adalah seluruh kaum beriman. Karena itulah ia mendirikan Legio Mariae sebagai tanda cinta kasih Bunda Maria bagi dunia dan sebagai sarana untuk melibatkan semua orang yang telah dibaptis dalam tugas gereja mewartakan Injil.

Konsili Vatican II baru terjadi pada tahun 1960-an. Salah satu dekrit konsili Vatican II adalah dekrit tentang Kerasulan Kaum Awam. Konsili ini baru terjadi pada tahun 1960-an, tetapi sudah sejak tahun 1921 atau bahkan sebelumnya, Bapak Frank Duff telah mendapat pengertian bawah gereja bukanlah identik dengan kaum berjubah, tetapi gereja adalah semua murid Kristus. Karena itu kaum awam pun harus terlibat dalam kehidupan menggereja.

Saudara dan saudariku
Merenungkan tentang keterlibatan kaum awam, terutama Legio Mariae di dalam hidup menggereja, saya kira bacaan-bacaan hari ini menyodorkan kepada kita beberapa point menarik untuk kita renungkan bersama.

Bacaan Injil hari ini berbicara tentang Yesus yang memanggil murid-murid-Nya dan memilih dari antara mereka 12 rasul. Nampaknya pemilihan 12 orang itu tanpa kualifikasi atau test terlebih dahulu: ada Simon Petrus yang menyangkal sang Guru, ada Yakobus dan Yohanes yang meminta kedudukan yang mapan dalam kerajaan surga, ada Thomas yang meminta bukti kebangkitan-Nya dan juga ada Yudas Iskariot yang menjadi pengkhianat.

Apa makna Injil bagi kita hari ini, terutama bagi para legioner. Pertama, sebagai Legioner, anda terpilih dan terpanggil bukan karena kehebatanmu, tetapi semata karena kasih Tuhan. Tuhan mau supaya anda berkembang dalam rahmat kekudusan melalui kelompok kerasulan awam ini. Tujuan Legio adalah kemuliaan Allah melalui pengudusan anggotanya yang dikembangkan dengan doa dan kerjasama yang aktif. Legio menawarkan kepada kita suatu sistem, yang bila diikuti dan dihayati dalam maka sistem itu akan membentuk kepribadian kita. Yesus memilih 12 rasul untuk dibimbing dan melalui merekalah pewartaan Kerajaan Allah itu berkembang ke seluruh dunia. demikian pun Legioner adalah orang-orang yang sering berkumpul bersama pastor paroki sebagai pembimbing rohani. Legioner harus terbuka terhadap bimbimbingan dan arahan pembimbing rohani agar karya cinta kasih Allah semakin berkembang.

Kedua, Yesus memilih para rasul, bukan sebagai pengawal, preman atau bodyguard, yang siap membentengi Yesus kalau terjadi masalah> Legio Mariae bukanlah bodyguard dari pastor paroki walaupun beberapa dari kalian sudah lulus ujian tarung derajat. Kebaikan Petrus untuk melindungi Yesus pun ditolak. Legioner adalah orang-orang yang terpanggil dan terpilih untuk menjadi ’tangan kanan’ pastor paroki dalam mengembangkan tugasnya di suatu paroki. Tanpa Legio Mariae, karya kerasulan di sebuah paroki tidak akan berhasil karena hanya mengandalkan pastor paroki.

Ketiga, dalam Injil tadi dikatakan bahwa Yesus pergi ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah. Sebagai seorang manusia, layak dan wajarlah kalau Yesus berdoa dan terus berdoa. Akan terasa aneh kalau seorang manusia tidak pernah berdoa. Manusia yang tidak pernah berdoa tidak jauh berbeda dengan binatang. Karena binatang tidak pernah menyadari penciptanya sedangkan manusia menyadarinya. Apalagi kalau kita sudah beriman kepada Yesus, kebangetan kalau kita tidak pernah berdoa.

Nah....legio Mariae menawarkan kepada kita suatu spiritualitas hidup yang memadukan doa dan karya.

Legioner yang tercinta
Kardinal Suenens dari Belgia adalah orang yang gigih dalam hierarki yang memberikan dukungan kepada Legio Maria. Dia menulis buku ’Theologi Kerasulan Legio Mariae, kehidupan Edel Quinn – seorang utusan Legio yang berkarya di Afrika, dan atas desakannya Konsili Vatican II mengajukan Perawan Maria sebagai model kerasulan.

Ketika ditanyai: Apa yang membuat anda begitu mencintai Legio Maria? Dia menjawab: "Saya harus mengatakan dengan jujur bahwa hal yang membuat saya mencintai Legio Mariae adalah keberanian mereka." Para legioner menunjukkan keberanian ketika setiap minggu mereka dengan sederhana menawarkan diri untuk menjadi alat/ instrument rahmat dan membuat sesuatu menjadi mungkin bagi Tuhan untuk melakukan karya ajaib-Nya.

Sebagai Legioner, anda tidak hanya berbicara tetapi anda berharap dan mempunyai iman yang kuat untuk pergi keluar dan “berjalan di atas air”. Itulah keajaiban Legio Maria, semangat imannya dan keberaniannya, tugas apostoliknya dan ketekunannya.

Para Legioner yang terkasih
Dalam Instruksi tetap ketiga yang dibacakan setiap awal bulan: “Agar ia melakukan sejumlah kegiatan pekerjaan Legio dalam semangat iman dan dalam persatuan dengan Maria, sedemikian rupa sehingga mereka yang tersangkut dalam pekerjaan itu dan dalam para legioner sendiri dapat melihat kepribadian Kristus lagi sebagai yang diabdi”

Haruslah kita ingat bahwa Bapak Frank Duff menulis kalimat ini dengan penuh perhatian, kata demi kata sehingga membentuk suatu kalimat yang menjadi prinsip legio.

Ini harus menjadi tugas legioner, yang diserahkan kepada presidium untuk mengaturnya. Jadi bukan melakukan pekerjaan sendiri. Dalam intruksi ketiga itu terungkap suatu perasaan bahwa legioner harus senantiasa bertugas dan didorong untuk melakukan karya apostolik kapan saja dan di mana saja.

Dalam kalimat itu juga terungkap bahwa tujuan utama Legio adalah membentuk dalam diri mereka dan sesama suatu kekudusan, tetapi karakter spesifik kekudusan legioner adalah karakter apostoliknya.

Legioner bukan hanya sekeder bertemu tiap minggu berdoa bersama untuk membentuk kesucian pribadi atau untuk membangun sebuah etalase rohani: 'o ini etalase Cermin Kekudusan, o ini etalase Penghibur Orang yang Berduka cita, O ini etalase Pintu Surga, O ini etalase Ratu Para Malaikat. Bukan untuk itu. Kalau hanya sekeder datang doa bersama, maka tidak perlu menjadi legioner. Doa hendaknya tidak terpisahkan dari kehidupan apostolik. Devosi kita kepada Maria hanya akan menjadi rangkaian kata-kata di bibir saja apabila kita tidak melakukan karya kerasulan bagi keselamatan jiwa-jiwa.

Karena itu adalah tugas presidium untuk bertanya paling tidak sebulan sekali: apakah kita sungguh-sungguh melakukan tugas-tugas untuk keselaatan jiwa-jiwa? Dapatkan kita melakukannya dengan lebih baik lagi tugas luhur ini?

Karya harus jelas: dua jam seminggu dan dilakukan dalam persatuan dengan Maria. Tugas-tugas Legio adalah suatu karya yang mendalam dan suatu praktek dari Bakti Sejati Kepada Maria.

Saya ingin menggarisbawahi kalimat terakhir: ”...dalam persatuan dengan Maria, sedemikian rupa sehingga mereka yang tersangkut dalam pekerjaan itu dalam dalam para legioner sendiri dapat melihat kepribadian Kristus lagi sebagai yang diabdi.”

Ini berarti, memberikan seluruh kehidupan kita kepada Maria sehingga ia dapat mencintai Yesus melallui kita dan melayani Kristus dalam diri Legioner dan kepada siapa saja yang kita jumpai dalam karya kerasulan kita.

Buku pegangan justru mengatakan bahwa anggota aktif yang tidak menjalankan karya kerasulan, tidak pantas untuk menyandang nama sebagai legioner. Latihan-latihan rohani, seperti doa rosario, offisi, adorasi, jumad pertama, tidak cukup untuk memenuhi kewajiban legioner sebagai anggota aktif. Tentu sana sini kita merasa gagal. Misalnya, saya mau hanya hadiri rapat aja, tetapi nda bisa kalau soal kunjungan..... bagi orang semacam itu, baiklah ia berdoa untuk menohon rahmat menemukan spirit legio yang benar.

Saya berharap agar legioner di paroki santa Odilia menyambut dengan sukacita suatu karya aktif yang jelas dna mendasar setiap minggu dengan semangat apostolik yang khas, karena di dalam karya-karya itulah terdapat sumber rahmat dan hadiah terbaik yang akan Allah anugerahkan kepada kalian semua.

Santo Paulus dalam bacaan I hari ini mengajak kita untuk bersyukur karena kita telah diselamatkan. Ia mengatakan: ”Kamu telah menerima Kristus Yesus, tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam dia.” Hidup di dalam Yesus berarti juga terlibat di dalam karya perutsannya. Legio Maria dipanggil bukan saja menjadi sekolah untuk menjadi orang kudus, tetapi juga menjadi orang yang hebat dalam karya kerasulan.

Ave Maria