Tertawalah

Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC


Penyesalan bukan sekedar sebuah kata. Penyesalan merupakan kekuatan yang dapat merongrong semangat kehidupan. Pada suatu hari aku terlambat mengucapkan selamat “ulang tahun pernikahan” kepada sepasang suami istri yang sudah seperti keluargaku sendiri. Kekecewaan tampak dari raut muka mereka. Segala dalih yang aku lontarkan kepada mereka tidak memperbaiki situasi batin mereka. Bagi mereka hal itu tidak seharusnya terjadi bagi orang yang dekat. Penyesalan itu telah menguras energi. Apapun yang aku lakukan kandas pada kegagalan. Satu kalimat yang menghabiskan tenagaku : “Moment itu tak terulang kembali”.

Penyesalan terus menerus membuat hidup lari di tempat, seperti lari di atas mesin treadmill. Hidup berjalan tanpa tujuan. Prinsip hidup ini aku dapatkan pada saat memberikan pengajaran kepada komunitas PERDUKI (Persekutuan Doa Usahawan Katolik Indonesia) Chapter Pusat di Pacenongan-Jakarta Pusat. “Ilalang di antara Gandum” merupakan temanya. Wajah-wajah yang ramah menyambut umat yang datang dengan berbagai macam sisa-sisa kepahitan dan tentu juga kelimpahan berkat Tuhan.

Sepasang suami istri memintaku mengolah sharing mereka dan membagikannya kepada sebanyak mungkin umat. Sharing ini tentang bagaimana mereka melompat keluar dari kegelapan sumur penyesalan. Tuhan Allah tidak menghabisi orang jahat (ilalang), tetapi membiarkannya hidup bersama dengan orang baik (gandum) untuk memberikan kesempatan baginya agar berubah sampai pada hari penghakiman (masa penuaian). Mereka sangat bahagia pada dua tahun pertama pernikahan mereka walaupun mereka harus hidup sederhana. Perkawinan mereka disegarkan dengan lagu “Tulang Rusuk” yang mereka nyanyikan pada saat santai. Lagu “Tulang Rusuk” itu sangat mengesankan karena dinyanyikan sebelum mereka mengikrarkan janji perkawinan di depan altar. Lagu itu membuat mereka selalu merasa menjadi pengantin baru. Kebahagiaan mereka kemudian ditelan oleh setan kesombongan. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bintang istri jauh lebih bersinar daripada suaminya. Sang istri tanpa sadar, baik dengan kata-kata maupun dengan sekedar sikap, telah meremehkan suaminya. Suaminya pun merasa minder dihadapan istrinya yang mandiri. Rumah pun menjadi tempat yang membosankan. Tidak ada lagi kata cinta dan cita-cita. Sang suami kadang-kadang bertanya pada dirinya sendiri : “Jangan-jangan ia bukan tulang rusukku. Aku telah mengambil tulang rusuk yang salah”. Ia jatuh dalam perselingkuhan. Perselingkuhannya begitu rapi sehingga tidak terdeteksi oleh istrinya. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Sepandai-pandainya ia menyembunyikan penyelewengannya akhirnya terungkap dengan sendirinya. Pada suatu sore, seorang ibu datang ke rumahnya menyerahkan bayi merah dengan deraian air mata kepada istrinya : “Bayi ini adalah bayi suami ibu. Aku serahkan bayi ini kepadamu”. Ia seakan-akan disambar petir di siang bolong”. Semua kekuatannya hilang sehingga ia terkapar tak berdaya di sofa. Suaminya mengakui perbuatannya. Suaminya itu akhirnya meninggalkan keluarganya. Ia menitipkan bayi itu di sebuah biara. Mereka saling menyesali pernikahan mereka. Mereka saling menyalahkan. Penyesalan itu telah menghancurkan segala segi kehidupan mereka. Tuhan tidak tega melihat kehancuran mereka. Ia memulihkan keluarga mereka secara ajaib. Tak terduga mereka pada malam itu datang pada acara PERDUKI ini dari tempatnya masing-masing. Mereka bertemu di lift. Tanpa kata, tetapi ada dorongan dari hati untuk saling meminta maaf dan memaafkan. Rekonsiliasi terjadi di sebuah ruangan tidak lama setelah acara pujian dan penyembahan berakhir. Sang istri dengan sesenggukan berkata : “Tuhan, mampukan aku untuk menghilangkan akar kepahitan atas perbuatan suamiku sehingga aku dapat memaafkannya dan terlebih-lebih bisa menerima bayinya”. Suaminya membelai rambut istrinya dengan membisikkan sebuah kata : “Aku minta maaf karena telah melukai hatimu. Aku tidak lagi mengikuti bujukan setan Lucifer”. Mereka akhirnya sepakat untuk mengambil bayi yang dititipkan di susteran dan menjadikannya bagian dalam keluarganya.

Penyesalan itu bagaikan air yang tertumpah dari ember di mana kita tidak mungkin mengambilnya kembali. Penyesalan boleh-boleh saja, tetapi jangan keterusan. Hidup bisa berantakan karena sibuk dengan mencari-cari alasan bahwa ini bukan salah saya. Lebih baik katakan “Ya, aku salah”, maka penyesalan akan bermakna karena menjadi pijakan perubahan. Bukalah jendela kamar anda dan nikmatilah secercah cahaya pagi yang cerah. Tertawalah sejenak menyambut cahaya ilahi itu, maka hidup anda seluruh hari dibawah kendali Tuhan. Hidup di dalam tangan Tuhan menjauhkan kita berkubang dengan penyesalan. Berkubang dengan penyesalan membuat mulut bersungut-sungut dan melontarkan kemarahan : “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda….” (Filipi 2:14-15). Berkubanglah dengan cahaya Tuhan, maka hidup anda senantiasa berada di jalan yang benar. Berjalan di jalan Tuhan memberikan rasa aman seperti seorang anak kecil di pangkuan ayahnya. “MakaYesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah-tengah mereka lalu berkata : Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mateus 18:2-3). Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar: