Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.
Aku tiba di Gereja Santo Kristoforus-Grogol satu setengah jam lebih cepat dari jadwal Perayaan Ekaristi untuk orang sakit yang akan aku persembahkan. Aku mengisi waktu luangku dengan berjalan-jalan di tempat parkir. Hatiku terharu melihat banyak orang sakit berjalan dengan bantuan tongkat, tetapi mereka sangat antusias mengikuti Perayaan Ekaristi yang dikoordinir oleh Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Cabang Paroki Santo Kristoforus. Tidak terdengar keluhan dari mereka, tetapi senyuman menawan menghiasi wajah mereka. Perayaan Ekaristi pun menyalurkan rahmat keheningan hati bagi lebih dari empat ratus penderita penyakit. Keheningan ini bukan keheningan hampa, tetapi keheningan spiritual karena menikmati cengkerama bersama Tuhan. Kebersamaan dengan Tuhan dalam Perayaan Ekaristi merupakan kerinduan mereka. “Tuhan, mereka adalah para pewarta Kabar Gembira, tanpa mimbar, melalui ketabahan, senyuman, dan keheningan mereka di tengah pergumulan mereka dengan penyakit-penyakit”, kataku kepada Yang Mahakuasa.
Ketika Perayaan Ekaristi usai, seorang ibu bersama anaknya menemuiku di sankristi. Ia sangat rajin mengikuti Ekaristi ini karena mendapatkan kelapangan hati. Ia menatapku dengan kepuasan hati karena telah menemukan yang telah lama dicari : “Maaf, Romo. Romo masih ingat aku enggak ? Aku adalah sepupunya umat yang tinggal di Jalan Pribadi – Tangerang. Aku adalah ibu dari seorang anak yang dahulu menderita kanker. Romo pernah mendoakan anakku dan mengatakan kepadaku ‘jangan kuatir, anakmu pasti sembuh’. Kata-kata itu telah menguatkan aku ketika aku harus melewati saat yang menegangkan, khususnya waktu anakku harus menjalani operasi dan kemoterapi. Puji Tuhan, aku telah dapat melalui semuanya ini. Dokter akhirnya menyatakan anakku telah sembuh. Aku mengalami banyak mukjizat ketika anakku menjalani kemoterapi. Melalui mujikzat itu, imanku kepada Tuhan Yesus semakin dikuatkan. Tuhan Yesus bagiku sangat luar.... biasa..... Dia adalah Tuhan yang dahsyat”.
Mukjizat Tuhan yang sungguh nyata adalah Tuhan menyediakan biaya kemoterapi tepat pada waktunya. Ketika suaminya sudah putus asa karena uang sudah habis, ia tetap percaya bahwa Tuhan pasti akan menyediakannya. Tuhan ternyata benar-benar menyediakannya. Tiba-tiba ada yayasan dari Negeri Belanda bersedia membayar biaya empat kali kemoterapi yang terakhir. Anaknya harus menjalani sepuluh kemoterapi. Biaya setiap kali kemoterapi adalah enam juta rupiah. Uangnya habis pada saat kemoterapi yang keenam.
Tuhan Yesus tidak pernah berubah. Terang-Nya tetap bersinar kepada semua orang yang mengasihi Dia. Kehadiran-Nya tetap membawa pertolongan kepada orang yang sumeleh (pasrah) pada kuasa-Nya. Tuhan tidak pernah mengingkari janji-Nya : “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekakayaan dan kemulian-Nya dalam Kristus Yesus” (Filipi 4:19). Kesabaran akan datangnya janji Tuhan merupakan kuncinya. Kita tidak memaksakan waktu kita, tetapi percaya ada waktu Tuhan. Tuhan membuat hidup kita indah bagaikan kuncup bunga mawar yang sedang mekar. Kuncup bunga mawar berkembang secara perlahan-lahan. Jangan mencoba memaksanya untuk bemekar secara sempurna sebelum waktunya karena akan merusakkan keindahan yang terkandung di dalamnya. Setiap tahap perkembangan kuncup bunga mawar mempunyai keindahannya sendiri. Kuncup bunga mawar akhirnya akan menjadi mawar yang keindahannya memukau banyak orang. Keindahan bunga mawar itu muncul melalui batang yang berduri. Keindahan hidup pun menjadi keindahan yang luar biasa justru ketika melalui duri-duri kehidupan, seperti penyakit yang kadang-kadang menyakitkan dan melelahkan. Karena itu, marilah kita menyerahkan seluruh hati kita kepada Tuhan. Tuhan pada waktunya akan mengangkat kita karena kebaikan-Nya kekal : “...Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yeremia 31:3). Tuhan memberkati.

Tampilkan postingan dengan label Refleksi Pastoral. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refleksi Pastoral. Tampilkan semua postingan
Pengalaman Kebersentuhan
by Frater Diakon Siprianus Smakur Tukan, SS.CC
Kisah Ibadat Pelepasan Jenasah dan Pemakaman Olivia Dewi Soerijo
(senin 12 Maret 2012)
Hari minggu pagi saya membaca di Koran Kompas halaman 2 di tuliskan, Olivia Dewi Soerijo (17) – runnur up 1 gadis sampul 2010, tewas dalam kondisi hangus dalam kecelakaan tunggal di depan mid-plasa Jakarta Pusat, sabtu 10 Maret 2012 pkl 02.50.WIB. Mobil Nissan Juke dengan nomor polisi B 60 GOH yang di kemudikannya menabrak tiang reklame dan terbakar, sedangkan temannya Joy Sebastian (17) selamat. Ketika membaca berita itu, saya termenung; anak yang masih mudah, cantik dan baik mengalami kecelakaan seperti itu. Bagaimana dan mengapa itu terjadi? Hari itu menjadi permenungan dan doaku. Aku semakin semangat melayani dengan mengajar Anak-anak pukul 08.00 WIB, (menggantikan guru BIA yang tidak datang). Sungguh luarbiasa semangat, bertemu dengan keceriaan anak-anak yang antusias belajar. Dalam pelayanan itu saya membatin dengan doa-doa sambil mengikuti pertemuan PA/PS dan mengikuti gladi bersih untuk minggu Palma. Sungguh kegiatan yang membentukku untuk selalu belajar dan terus belajar.
Malam harinya saya di hubungi Ibu Deasy (Istri Pa Paul) untuk memimpin ibadat penguburan Olivia Dewi Soerijo (17). Reaksi awalku yakni kalaw ada Romo yang bersedia memimpin penguburan akan lebih baik. Namun setelah beberapa lama, ternyata tidak ada yang bersedia karena sudah ada kesibukan. Saya akhirnya mengatakan siap walau dalam hati kecilku saya merasakan ketak-mampuanku (ketakpantasanku). Pikirku Lebih lagi jangan sampai menjadi batu sandungan dalam pelayananku. Saya semakin kuat ketika di teguhkan Rm Felix bahwa selalu siap sedia menjadi seperti Matias - melayani yang tak terlayani. Dalam hati saya berdoa dan mengatakan: TUHAN BILA INI KEHENDAK DAN CARAMU, SAYA SIAP. Saya memantapkan hatiku dan siap untuk melayani. Saya di telpon Ibu Yully untuk memastikan jam berangkatnya.
Malam itu menjadi malam ‘assemblly khas pastoran Odilia’. Saya jadi bahan guyonan (dikerjain) Rm Felix dan Rm Tony, katanya: “Mandi yang bersih dan siap dengan rapih agar mewartakan dan melayani dengan baik, hahaha….ha.ha….”. Sungguh perhatian dan dukungan yang luarbiasa saya terima dari kedua Bapa Romo yang sangat perhatian padaku. Selain itu sharing dan berbagi bahan untuk kotbah menjadi inspirasi bagiku untuk mempersiapkan diri dengan baik. Tuhan selalu menyapaku melalui orang-orang yang ku temui dan hidup bersama. Hidup komunitas yang menguatkanku.
Pukul 05.10 WIB saya di jemput oleh sopir Ibu Yully di Pastoran Paroki St Odilia Citra Raya Tangerang menuju ke Rumah Sakit Darmais untuk memimpin Ibadat pelepasan Jenasah dan sesudahnya di antar menuju ke Pemakaman San Diego Hills di Karawang. Ketika tiba di rumah duka, saya sungguh merasakan kesedihan mendalam yang di alami keluarga. Saya bertemu dengan Ayah Angkatnya Olivia dan bersalaman dengan keluarga yang rendah hati. Terlihat wajah-wajah yang letih penuh kesedihan.
Ibadat pelepasan jenasahpun berlangsung singkat dan sederhana di mana semua yang datang khusuk berdoa mengiringi kepergian Olivia yang sungguh di cintai tidak hanya keluarganya tetapi para sahabatnya, bangsa Indonesia dan juga manca negara. Dalam homili singkat Tuhan memakaiku untuk mengatakan: Lihatlah Yesus yang kita Imani. Yesus wafat dengan cara yang tragis pula dalam bahasa dan cara pandang manusia namun membawa harapan yakni keselamatan umat manusia. Olivia pergi menghadap Bapa di surga karna Ia sungguh di kasihi Tuhan. Harapan akan iman orang beriman yang selalu setia pada Tuhan yang punya kuasa atas hidup kita. Banyak sekali karangan bunga yang di letakan sebagai bentuk ungkapan berbelasungkawa atas kepergian Olivia.
Saat yang mengharukan yakni ketika keluarga hendak berpamitan. Oma-nya Olivia sungguh merasakan kesedihan yang luar biasa. Ia menangis histeris ketika jenasah mau di bawa keluar dari rumah duka. Ia mengatakan: ”saya belum ikhlas atas kepergian Olivia” sambil mendekapp erat foto cantik Olivia. Sungguh di saat itu ku rasakan kuasa Tuhan bekerja. Saya perlahan mendekati dan bertanya pada Oma dan jawabnya saya belum ikhlas. Di saat itu kata-kata ini keluar begitu saja dari mulutku: “Keikhlasan Oma memuluskan perjalanan Olivia. Olivia bahagia kalau Oma ikhlas”. Kami berdoa sejenak (mendoakan oma) dan oma akhirnya perlahan ikhlas dengan menyerahkan foto dan mengizikan jenasah di antar menuju ke Pemakaman San Diego Hills di Karawang. Sungguh Luarbisa karya Tuhan. Kata-kata yang membawa harapan membuat orang bertahan dalam iman dan teguh dalam pengharapan.
Perjalanan menuju Karawang menjadi pengalaman pertama dalam hidupku. Pengalaman yang menggoda sekaligus menantang, Namun kuasa Tuhan selalu membuatku kagum. Hal yang tak terpikirkan selalu terjadi. Saya terus membatin bahwa Tuhan bila ini kehendak-Mu buatlah aku menjadi alat-Mu yang dapat membagikan harapan dan berkat-Mu. Syukur kepada Tuhan, Selama pemakaman berlangsung semua berjalan lancar dan hikmat. Sesudah pemakaman kami santap siang bersama dan saya diantar pulang Sopir Ibu Yully. Dalam perjalanan pulang aku bermenung dan semakin di teguhkan akan kuasa Tuhan yang Luarbiasa.
Banyak hal yang tak kupikirkan terjadi dan menguatkan imanku. Kata-kata St. Paulus yang selalu menjadi peneguhanku. ”Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1). Sungguh DIA Yang Memakaiku Menjadi perpanjangan tangan-Nya, berbagi harapan, berbagi berkat dan berbagi sukacita.
“Hendaklah kamu berakar di dalam DIA dan di bangun di atas DIA, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan Sukur” (Kol 2:27).
Satu kalimat yang dapat menggambarkan kekagumanku pada Tuhan yang ku dengungkan: WAOH….TUHANKU….SUNGGUH LUARBIASA…!!!
Kisah Ibadat Pelepasan Jenasah dan Pemakaman Olivia Dewi Soerijo
(senin 12 Maret 2012)
Hari minggu pagi saya membaca di Koran Kompas halaman 2 di tuliskan, Olivia Dewi Soerijo (17) – runnur up 1 gadis sampul 2010, tewas dalam kondisi hangus dalam kecelakaan tunggal di depan mid-plasa Jakarta Pusat, sabtu 10 Maret 2012 pkl 02.50.WIB. Mobil Nissan Juke dengan nomor polisi B 60 GOH yang di kemudikannya menabrak tiang reklame dan terbakar, sedangkan temannya Joy Sebastian (17) selamat. Ketika membaca berita itu, saya termenung; anak yang masih mudah, cantik dan baik mengalami kecelakaan seperti itu. Bagaimana dan mengapa itu terjadi? Hari itu menjadi permenungan dan doaku. Aku semakin semangat melayani dengan mengajar Anak-anak pukul 08.00 WIB, (menggantikan guru BIA yang tidak datang). Sungguh luarbiasa semangat, bertemu dengan keceriaan anak-anak yang antusias belajar. Dalam pelayanan itu saya membatin dengan doa-doa sambil mengikuti pertemuan PA/PS dan mengikuti gladi bersih untuk minggu Palma. Sungguh kegiatan yang membentukku untuk selalu belajar dan terus belajar.
Malam harinya saya di hubungi Ibu Deasy (Istri Pa Paul) untuk memimpin ibadat penguburan Olivia Dewi Soerijo (17). Reaksi awalku yakni kalaw ada Romo yang bersedia memimpin penguburan akan lebih baik. Namun setelah beberapa lama, ternyata tidak ada yang bersedia karena sudah ada kesibukan. Saya akhirnya mengatakan siap walau dalam hati kecilku saya merasakan ketak-mampuanku (ketakpantasanku). Pikirku Lebih lagi jangan sampai menjadi batu sandungan dalam pelayananku. Saya semakin kuat ketika di teguhkan Rm Felix bahwa selalu siap sedia menjadi seperti Matias - melayani yang tak terlayani. Dalam hati saya berdoa dan mengatakan: TUHAN BILA INI KEHENDAK DAN CARAMU, SAYA SIAP. Saya memantapkan hatiku dan siap untuk melayani. Saya di telpon Ibu Yully untuk memastikan jam berangkatnya.
Malam itu menjadi malam ‘assemblly khas pastoran Odilia’. Saya jadi bahan guyonan (dikerjain) Rm Felix dan Rm Tony, katanya: “Mandi yang bersih dan siap dengan rapih agar mewartakan dan melayani dengan baik, hahaha….ha.ha….”. Sungguh perhatian dan dukungan yang luarbiasa saya terima dari kedua Bapa Romo yang sangat perhatian padaku. Selain itu sharing dan berbagi bahan untuk kotbah menjadi inspirasi bagiku untuk mempersiapkan diri dengan baik. Tuhan selalu menyapaku melalui orang-orang yang ku temui dan hidup bersama. Hidup komunitas yang menguatkanku.
Pukul 05.10 WIB saya di jemput oleh sopir Ibu Yully di Pastoran Paroki St Odilia Citra Raya Tangerang menuju ke Rumah Sakit Darmais untuk memimpin Ibadat pelepasan Jenasah dan sesudahnya di antar menuju ke Pemakaman San Diego Hills di Karawang. Ketika tiba di rumah duka, saya sungguh merasakan kesedihan mendalam yang di alami keluarga. Saya bertemu dengan Ayah Angkatnya Olivia dan bersalaman dengan keluarga yang rendah hati. Terlihat wajah-wajah yang letih penuh kesedihan.
Ibadat pelepasan jenasahpun berlangsung singkat dan sederhana di mana semua yang datang khusuk berdoa mengiringi kepergian Olivia yang sungguh di cintai tidak hanya keluarganya tetapi para sahabatnya, bangsa Indonesia dan juga manca negara. Dalam homili singkat Tuhan memakaiku untuk mengatakan: Lihatlah Yesus yang kita Imani. Yesus wafat dengan cara yang tragis pula dalam bahasa dan cara pandang manusia namun membawa harapan yakni keselamatan umat manusia. Olivia pergi menghadap Bapa di surga karna Ia sungguh di kasihi Tuhan. Harapan akan iman orang beriman yang selalu setia pada Tuhan yang punya kuasa atas hidup kita. Banyak sekali karangan bunga yang di letakan sebagai bentuk ungkapan berbelasungkawa atas kepergian Olivia.
Saat yang mengharukan yakni ketika keluarga hendak berpamitan. Oma-nya Olivia sungguh merasakan kesedihan yang luar biasa. Ia menangis histeris ketika jenasah mau di bawa keluar dari rumah duka. Ia mengatakan: ”saya belum ikhlas atas kepergian Olivia” sambil mendekapp erat foto cantik Olivia. Sungguh di saat itu ku rasakan kuasa Tuhan bekerja. Saya perlahan mendekati dan bertanya pada Oma dan jawabnya saya belum ikhlas. Di saat itu kata-kata ini keluar begitu saja dari mulutku: “Keikhlasan Oma memuluskan perjalanan Olivia. Olivia bahagia kalau Oma ikhlas”. Kami berdoa sejenak (mendoakan oma) dan oma akhirnya perlahan ikhlas dengan menyerahkan foto dan mengizikan jenasah di antar menuju ke Pemakaman San Diego Hills di Karawang. Sungguh Luarbisa karya Tuhan. Kata-kata yang membawa harapan membuat orang bertahan dalam iman dan teguh dalam pengharapan.
Perjalanan menuju Karawang menjadi pengalaman pertama dalam hidupku. Pengalaman yang menggoda sekaligus menantang, Namun kuasa Tuhan selalu membuatku kagum. Hal yang tak terpikirkan selalu terjadi. Saya terus membatin bahwa Tuhan bila ini kehendak-Mu buatlah aku menjadi alat-Mu yang dapat membagikan harapan dan berkat-Mu. Syukur kepada Tuhan, Selama pemakaman berlangsung semua berjalan lancar dan hikmat. Sesudah pemakaman kami santap siang bersama dan saya diantar pulang Sopir Ibu Yully. Dalam perjalanan pulang aku bermenung dan semakin di teguhkan akan kuasa Tuhan yang Luarbiasa.
Banyak hal yang tak kupikirkan terjadi dan menguatkan imanku. Kata-kata St. Paulus yang selalu menjadi peneguhanku. ”Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1). Sungguh DIA Yang Memakaiku Menjadi perpanjangan tangan-Nya, berbagi harapan, berbagi berkat dan berbagi sukacita.
“Hendaklah kamu berakar di dalam DIA dan di bangun di atas DIA, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan Sukur” (Kol 2:27).
Satu kalimat yang dapat menggambarkan kekagumanku pada Tuhan yang ku dengungkan: WAOH….TUHANKU….SUNGGUH LUARBIASA…!!!
Membuka Kado Natal
Renungan
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Malam Natal yang berbeda. Aku bersama dengan Frater Rafael, Frater Rusdy, dan empat kawanku dengan antusias melangkah menuju sebuah tempat yang sederhana. Perjalanan dua jam tidak terasa melelahkan karena sejarah iman akan terukir di sana. Malam Natal pertama kalinya dirayakan di sana. Perayaan Natal dilaksanakan di bawah tenda yang di pasang di sebuah jalan yang tak rata. Kelahiran Yesus di kandang bukan sekedar kenangan, tetapi sungguh terwujud dalam kesederhanaan. Kesederhaan membuat pembaharuan kaulku dan Frater Rusdy, yaitu kaul kemurnian, ketaatan, dan kemiskinan di malam natal menjadi lebih bermakna.
Ketiga kaul itu ternyata terwujud dalam kehidupan seorang ibu yang membawa anaknya yang menderita down syndrome (Kekurangan mental) ikut Misa malam. Ibu itu hidup dalam kemurnian hati, kemiskinan, dan ketaatan kepada Tuhan sehingga mengandalkan Dia dalam segala hal. Ibu itu memeluk anaknya yang berumur dua puluh tujuh tahun, tanpa malu sedikitpun. Anaknya itu merupakan hasil permohonannya kepada Tuhan selama lima tahun. Ia sempat tersentak dengan kelahiran anak satu-satunya yang menderita kekurangan mental. Anaknya yang kekurangan mental itu tentu memerlukan banyak biaya dibandingkan dengan anak-anak yang normal. Suaminya hanyalah seorang buruh pabrik dan ia sendiri bekerja sebagai tukang cuci pakaian para pekerja yang kost di sekitar rumahnya. Menurut ukuran manusia, ia tidak mungkin menghidupi anaknya itu. Ia tiba-tiba merasakan ada sebuah tangan yang membimbingnya untuk berdoa : “Tuhan, Engkau menitipkan anak-Mu ini kepadaku. Engkau pasti memenuhi kebutuhannya dengan cara-Mu sendiri. Aku taat kepada perintah-Mu”. Sejak kelahiran anaknya yang cacat itu, gaji suaminya naik seratus persen dan hasil dari cucian mencapai tiga kali lipat. Ia pun memasukkan anaknya ke asrama di sekolah luar biasa agar ia mampu mandiri dalam mengurus dirinya sendiri. Satu bulan sebelum natal, ia mengambil anaknya itu dari asrama karena ia akan mengurusnya sendiri. Setelah satu minggu anaknya hadir di dalam keluarganya, suaminya mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena perusahaan tempatnya bekerja baru saja bangkrut. Ia tidak menganggapnya sebagai sebuah kutukan, tetapi Tuhan menghendaki suaminya saat ini mempunyai waktu untuk anaknya yang memerlukan perhatian khusus. Tak terduga anaknya yang cacat itu memberikan kejutan yang tak pernah akan terlupakan pada pagi hari menjelang malam natal. Ia memberikan kepadanya sebuah tas kecil yang dibuatnya sendiri dari kardus bekas tempat nasi bungkus sebagai hadiah natal dengan tulisan cakar ayam : “Bu, aku cinta padamu”. Hatinya begitu trenyuh sehingga ia tak mampu membendung deraian air matanya : “Tuhan, terimakasih karena Engkau telah memberikan kepadaku seorang anak yang sangat mencintai aku. Engkau lahir sebagai bayi yang diletakkan dalam sebuah palungan yang merupakan lambang dari kekurangan. Engkaupun datang ke dunia dan tinggal dalam diri anakku yang cacat ini. Di dalam kekurangannya, anakku mampu menjadi terang dengan mengasihi secara sempurna”.
Ibu tersebut telah menemukan Tuhan Yesus dalam diri anaknya yang kekurangan dalam mental dan menyembah-Nya dengan mengasihinya sebagai persembahan bagi-Nya seperti tiga orang majus yang membawa emas, dupa, dan mur. Emas melambangkan Yesus sebagai Raja, dupa menunjuk pada matabat ilahi-Nya, dan mur menghubungkan pada wafat-Nya nanti. Tuhan Yesus senantisasa menampakkan diri, tetapi banyak anak Tuhan tidak mampu melihat bintang/bimbingan Tuhan karena disilaukan dengan berbagai kesenangan daging sehingga tidak ada ruangan bagi Mesias. Pembenaran diri bisa menjadi balok yang menutup hati terhadap kehadiran Sang Ilahi. Karena alasan Ekonomi, maka kerja tanpa mengenal waktu sehingga lupa anak dan istri. Katanya lelah melayani sana-sini sehingga memancing berhari-hari sebagai sarana untuk mengurangi beban hati, padahal banyak orang mati tanpa minyak suci. Lapangkan hati sehingga bimbingan Tuhan untuk menemukan Sang Mesias semakin terang. Ketika tanda kehadiran Tuhan mulai tampak, jangan banyak berdiskusi atau mengkritik, tetapi bergegaslah berlari menuju Gua yang sunyi sebagai lambang orang yang membutuhkan kasih. Mari, membuka kado natal, yaitu Yesus sendiri yang hadir dalam orang-orang yang memerlukan kasih. Yesus datang tidak untuk dikasihani, tetapi ingin memberkati. “Engkau memahkotai tahun dengan kebaikan-Mu. Jejakmu mengeluarkan lemak” (Mazmur 65:12). Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Malam Natal yang berbeda. Aku bersama dengan Frater Rafael, Frater Rusdy, dan empat kawanku dengan antusias melangkah menuju sebuah tempat yang sederhana. Perjalanan dua jam tidak terasa melelahkan karena sejarah iman akan terukir di sana. Malam Natal pertama kalinya dirayakan di sana. Perayaan Natal dilaksanakan di bawah tenda yang di pasang di sebuah jalan yang tak rata. Kelahiran Yesus di kandang bukan sekedar kenangan, tetapi sungguh terwujud dalam kesederhanaan. Kesederhaan membuat pembaharuan kaulku dan Frater Rusdy, yaitu kaul kemurnian, ketaatan, dan kemiskinan di malam natal menjadi lebih bermakna.
Ketiga kaul itu ternyata terwujud dalam kehidupan seorang ibu yang membawa anaknya yang menderita down syndrome (Kekurangan mental) ikut Misa malam. Ibu itu hidup dalam kemurnian hati, kemiskinan, dan ketaatan kepada Tuhan sehingga mengandalkan Dia dalam segala hal. Ibu itu memeluk anaknya yang berumur dua puluh tujuh tahun, tanpa malu sedikitpun. Anaknya itu merupakan hasil permohonannya kepada Tuhan selama lima tahun. Ia sempat tersentak dengan kelahiran anak satu-satunya yang menderita kekurangan mental. Anaknya yang kekurangan mental itu tentu memerlukan banyak biaya dibandingkan dengan anak-anak yang normal. Suaminya hanyalah seorang buruh pabrik dan ia sendiri bekerja sebagai tukang cuci pakaian para pekerja yang kost di sekitar rumahnya. Menurut ukuran manusia, ia tidak mungkin menghidupi anaknya itu. Ia tiba-tiba merasakan ada sebuah tangan yang membimbingnya untuk berdoa : “Tuhan, Engkau menitipkan anak-Mu ini kepadaku. Engkau pasti memenuhi kebutuhannya dengan cara-Mu sendiri. Aku taat kepada perintah-Mu”. Sejak kelahiran anaknya yang cacat itu, gaji suaminya naik seratus persen dan hasil dari cucian mencapai tiga kali lipat. Ia pun memasukkan anaknya ke asrama di sekolah luar biasa agar ia mampu mandiri dalam mengurus dirinya sendiri. Satu bulan sebelum natal, ia mengambil anaknya itu dari asrama karena ia akan mengurusnya sendiri. Setelah satu minggu anaknya hadir di dalam keluarganya, suaminya mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena perusahaan tempatnya bekerja baru saja bangkrut. Ia tidak menganggapnya sebagai sebuah kutukan, tetapi Tuhan menghendaki suaminya saat ini mempunyai waktu untuk anaknya yang memerlukan perhatian khusus. Tak terduga anaknya yang cacat itu memberikan kejutan yang tak pernah akan terlupakan pada pagi hari menjelang malam natal. Ia memberikan kepadanya sebuah tas kecil yang dibuatnya sendiri dari kardus bekas tempat nasi bungkus sebagai hadiah natal dengan tulisan cakar ayam : “Bu, aku cinta padamu”. Hatinya begitu trenyuh sehingga ia tak mampu membendung deraian air matanya : “Tuhan, terimakasih karena Engkau telah memberikan kepadaku seorang anak yang sangat mencintai aku. Engkau lahir sebagai bayi yang diletakkan dalam sebuah palungan yang merupakan lambang dari kekurangan. Engkaupun datang ke dunia dan tinggal dalam diri anakku yang cacat ini. Di dalam kekurangannya, anakku mampu menjadi terang dengan mengasihi secara sempurna”.
Ibu tersebut telah menemukan Tuhan Yesus dalam diri anaknya yang kekurangan dalam mental dan menyembah-Nya dengan mengasihinya sebagai persembahan bagi-Nya seperti tiga orang majus yang membawa emas, dupa, dan mur. Emas melambangkan Yesus sebagai Raja, dupa menunjuk pada matabat ilahi-Nya, dan mur menghubungkan pada wafat-Nya nanti. Tuhan Yesus senantisasa menampakkan diri, tetapi banyak anak Tuhan tidak mampu melihat bintang/bimbingan Tuhan karena disilaukan dengan berbagai kesenangan daging sehingga tidak ada ruangan bagi Mesias. Pembenaran diri bisa menjadi balok yang menutup hati terhadap kehadiran Sang Ilahi. Karena alasan Ekonomi, maka kerja tanpa mengenal waktu sehingga lupa anak dan istri. Katanya lelah melayani sana-sini sehingga memancing berhari-hari sebagai sarana untuk mengurangi beban hati, padahal banyak orang mati tanpa minyak suci. Lapangkan hati sehingga bimbingan Tuhan untuk menemukan Sang Mesias semakin terang. Ketika tanda kehadiran Tuhan mulai tampak, jangan banyak berdiskusi atau mengkritik, tetapi bergegaslah berlari menuju Gua yang sunyi sebagai lambang orang yang membutuhkan kasih. Mari, membuka kado natal, yaitu Yesus sendiri yang hadir dalam orang-orang yang memerlukan kasih. Yesus datang tidak untuk dikasihani, tetapi ingin memberkati. “Engkau memahkotai tahun dengan kebaikan-Mu. Jejakmu mengeluarkan lemak” (Mazmur 65:12). Tuhan memberkati.
Kesulitan, 'teman' Perjalananku
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Cahaya mentari minggu pagi itu sangat cerah. Cerahnya cahaya pagi itu memulihkan kembali tenagaku setelah melakukan banyak pelayanan sehari sebelumnya, seperti memberkati pernikahan seorang satpam gereja, memberkati sebuah warung makan, merayakan Misa di Gereja, dan dilanjutkan Misa Requem untuk umat paroki yang meninggal dunia dan sekaligus mendoakan tiga jenasah lain yang disemayamkan di Rumah Duka Oasis Lestari. Tiba-tiba terasa ada kekuatan baru yang membuatku bersemangat untuk memberikan rekoleksi bagi delapan puluh suami dan istri dari Lingkungan Santa Angela IV, Paroki St. Agustinus – Karawaci di Rumah Retret Cannosian. Rekoleksi bertemakan “Keluarga, Pekerjaan, dan Pelayanan” menambah sukacita sehingga senyuman bahagia terlukis di bibir mereka. Senyuman yang terlontar karena adanya semangat baru untuk berhasil dalam keluarga, pekerjaan, dan pelayanan. Keberhasilan sebagai hasil dari kasih yang memberi dan berkorban. Segala sesuatu pun disyukurinya sebagai anugerah Tuhan.
Sebelum makan siang, aku duduk di luar di samping meja makan sambil meminum secangkir kopi. Tiba-tiba seorang bapak dengan air mata berderai berkata : “Romo, aku akan mensharingkan pengalaman imanku”. Setelah menikah, bapak itu memohon kepada Tuhan agar menganugerahi anak. Tuhan menggembirakan keluarganya dengan kehadiran seorang bayi laki-laki yang sehat dan tampan. Setelah dua bulan kelahirannya, ia terkejut dengan datangnya kabar buruk yang menimpa bayinya. Jantung bayinya itu bocor sejak lahir. Ia mengusahakan kesembuhan bayinya walaupun belum bisa dilaksanakan tindakan operasi jantungnya. Ia sampai sempat mengalami trauma. Ia takut bertemu dengan dokter. Ia takut mendengar bahwa jantung bayinya lebih parah atau ada penyakit-penyakit lain mungkin akan ditemukan. Mujikzat Tuhan diimaninya. Anaknya itu kini berusia lima tahun. Ia bertumbuh sangat sehat dan tidak menampakkan ada kebocoran di jantungnya. Doanya kini : “Tuhan berikanlah kekuatan kepadaku untuk mengalahkan kekuatiran”. Kekuatirannya mulai lenyap dan imannya semakin berkualitas : “Tuhan, Engkau adalah Pemilik kehidupan atas anak tunggalku. Hidup anakku dalam pemeliharan-Mu”. Sekarang ia siap membawa anaknya ke dokter untuk mendapatkan tindakan operasi jantungnya. Hidupnya sekarang bahagia dalam iman karena ia yakin bahwa mujikzat Tuhan pasti terjadi bagi anaknya dan nama-Nya akan semakin dimuliakan melalui anaknya, dirinya, dan istrinya. Yang jelas ia semakin menghargai kehidupan.
Hidup merupakan anugerah Tuhan yang terindah, lebih indah daripada permata. Jalan kehidupan harus dihargai. Penghargaan terhadap hidup mendatangkan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak berarti terbebaskan dari kesulitan seperti penyakit, tetapi menghayatinya sebagai jalan meningkatkan mutu imannya. .Kebahagiaan didapatkan dengan menyandarkan diri kepada Tuhan. Menyandarkan diri kepada Tuhan memerlukan hati yang sederhana. Hati yang sederhana adalah hati yang tetap percaya kepada Tuhan di tengah kesulitan. Tidak ada berkat tanpa kesulitan, tidak ada kesembuhan tanpa penyakit, tak ada mukjizat tanpa musibah. Karena itu, jangan pandang kesulitan sebagai kesulitan, tetapi pandanglah kesulitan sebagai karunia yang akan mengubah kehidupan menjadi lebih mulia dan lebih sempurna! Keramik baru menjadi keramik setelah melewati proses pembakaran. Kabahagiaan hidup baru menjadi kebahagiaan setelah mengalami cambukan-cambukan. Jangan jadikan kesulitan sebagai pengganggu kehidupan, tetapi sebagai teman perjalanan sehingga hidup kita senantiasa bahagia! Ingatlah disetiap kesulitan ada rencana Tuhan yang menanti. Tetap setia kepada Tuhan akan memberikan mahkota kehidupan : “Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita ! Sesungguhnya iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari. Hendaklah engkau setia sampai mati dan aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan” (Wahyu 2:10). Tuhan memberkati.
Pengetahuan Dasar Iman Katolik
Mengapa Bayi Dibaptis ?
Praktek pembaptisan bayi dalam Gereja Katolik dilakukan sejak abad kedua Masehi. Pada abad kedua itu pasti masih banyak saksi-saksi hidup yang melihat pembaptisan seluruh keluarga yang dilakukan oleh para rasul sebagai sebuah kebiasaan. Contoh: Lidia dibaptis bersama seluruh keluarganya oleh Paulus (Kis 16:15) dan kepala penjara bersama keluarganya memberi diri dibaptis (Kisah Para Rasul 16:33). Ketika ada bayi dalam keluarga, bayi itu tentu dibaptis bersama orangtuanya.
Para orang tua kini berkewajiban agar mengusahakan bayi-bayi mereka dipermandikan sesegera mungkin setelah kelahirannya. Orang tua selalu ingin memberikan yang terbaik dalam segala hal, termasuk iman, kepada anak-anaknya. Orang tua harus mewariskan imannya yang dipercayai sebagai yang paling benar dan sebagai jalan keselamatan kepada mereka. Tugas orang tua dan dibantu oleh wali permandian adalah terus menerus mengajar iman kepada anak-anak mereka, baik dengan perkataan dan teladan, sehingga iman warisan orangtua itu pada akhirnya menjadi milik mereka sendiri. Bayi pun bisa menerima rahmat keselamatan tanpa harus melakukan apapun sebagai sebuah syarat. Tuhan memberkati. (Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC).
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Cahaya mentari minggu pagi itu sangat cerah. Cerahnya cahaya pagi itu memulihkan kembali tenagaku setelah melakukan banyak pelayanan sehari sebelumnya, seperti memberkati pernikahan seorang satpam gereja, memberkati sebuah warung makan, merayakan Misa di Gereja, dan dilanjutkan Misa Requem untuk umat paroki yang meninggal dunia dan sekaligus mendoakan tiga jenasah lain yang disemayamkan di Rumah Duka Oasis Lestari. Tiba-tiba terasa ada kekuatan baru yang membuatku bersemangat untuk memberikan rekoleksi bagi delapan puluh suami dan istri dari Lingkungan Santa Angela IV, Paroki St. Agustinus – Karawaci di Rumah Retret Cannosian. Rekoleksi bertemakan “Keluarga, Pekerjaan, dan Pelayanan” menambah sukacita sehingga senyuman bahagia terlukis di bibir mereka. Senyuman yang terlontar karena adanya semangat baru untuk berhasil dalam keluarga, pekerjaan, dan pelayanan. Keberhasilan sebagai hasil dari kasih yang memberi dan berkorban. Segala sesuatu pun disyukurinya sebagai anugerah Tuhan.
Sebelum makan siang, aku duduk di luar di samping meja makan sambil meminum secangkir kopi. Tiba-tiba seorang bapak dengan air mata berderai berkata : “Romo, aku akan mensharingkan pengalaman imanku”. Setelah menikah, bapak itu memohon kepada Tuhan agar menganugerahi anak. Tuhan menggembirakan keluarganya dengan kehadiran seorang bayi laki-laki yang sehat dan tampan. Setelah dua bulan kelahirannya, ia terkejut dengan datangnya kabar buruk yang menimpa bayinya. Jantung bayinya itu bocor sejak lahir. Ia mengusahakan kesembuhan bayinya walaupun belum bisa dilaksanakan tindakan operasi jantungnya. Ia sampai sempat mengalami trauma. Ia takut bertemu dengan dokter. Ia takut mendengar bahwa jantung bayinya lebih parah atau ada penyakit-penyakit lain mungkin akan ditemukan. Mujikzat Tuhan diimaninya. Anaknya itu kini berusia lima tahun. Ia bertumbuh sangat sehat dan tidak menampakkan ada kebocoran di jantungnya. Doanya kini : “Tuhan berikanlah kekuatan kepadaku untuk mengalahkan kekuatiran”. Kekuatirannya mulai lenyap dan imannya semakin berkualitas : “Tuhan, Engkau adalah Pemilik kehidupan atas anak tunggalku. Hidup anakku dalam pemeliharan-Mu”. Sekarang ia siap membawa anaknya ke dokter untuk mendapatkan tindakan operasi jantungnya. Hidupnya sekarang bahagia dalam iman karena ia yakin bahwa mujikzat Tuhan pasti terjadi bagi anaknya dan nama-Nya akan semakin dimuliakan melalui anaknya, dirinya, dan istrinya. Yang jelas ia semakin menghargai kehidupan.
Hidup merupakan anugerah Tuhan yang terindah, lebih indah daripada permata. Jalan kehidupan harus dihargai. Penghargaan terhadap hidup mendatangkan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak berarti terbebaskan dari kesulitan seperti penyakit, tetapi menghayatinya sebagai jalan meningkatkan mutu imannya. .Kebahagiaan didapatkan dengan menyandarkan diri kepada Tuhan. Menyandarkan diri kepada Tuhan memerlukan hati yang sederhana. Hati yang sederhana adalah hati yang tetap percaya kepada Tuhan di tengah kesulitan. Tidak ada berkat tanpa kesulitan, tidak ada kesembuhan tanpa penyakit, tak ada mukjizat tanpa musibah. Karena itu, jangan pandang kesulitan sebagai kesulitan, tetapi pandanglah kesulitan sebagai karunia yang akan mengubah kehidupan menjadi lebih mulia dan lebih sempurna! Keramik baru menjadi keramik setelah melewati proses pembakaran. Kabahagiaan hidup baru menjadi kebahagiaan setelah mengalami cambukan-cambukan. Jangan jadikan kesulitan sebagai pengganggu kehidupan, tetapi sebagai teman perjalanan sehingga hidup kita senantiasa bahagia! Ingatlah disetiap kesulitan ada rencana Tuhan yang menanti. Tetap setia kepada Tuhan akan memberikan mahkota kehidupan : “Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita ! Sesungguhnya iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari. Hendaklah engkau setia sampai mati dan aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan” (Wahyu 2:10). Tuhan memberkati.
Pengetahuan Dasar Iman Katolik
Mengapa Bayi Dibaptis ?
Praktek pembaptisan bayi dalam Gereja Katolik dilakukan sejak abad kedua Masehi. Pada abad kedua itu pasti masih banyak saksi-saksi hidup yang melihat pembaptisan seluruh keluarga yang dilakukan oleh para rasul sebagai sebuah kebiasaan. Contoh: Lidia dibaptis bersama seluruh keluarganya oleh Paulus (Kis 16:15) dan kepala penjara bersama keluarganya memberi diri dibaptis (Kisah Para Rasul 16:33). Ketika ada bayi dalam keluarga, bayi itu tentu dibaptis bersama orangtuanya.
Para orang tua kini berkewajiban agar mengusahakan bayi-bayi mereka dipermandikan sesegera mungkin setelah kelahirannya. Orang tua selalu ingin memberikan yang terbaik dalam segala hal, termasuk iman, kepada anak-anaknya. Orang tua harus mewariskan imannya yang dipercayai sebagai yang paling benar dan sebagai jalan keselamatan kepada mereka. Tugas orang tua dan dibantu oleh wali permandian adalah terus menerus mengajar iman kepada anak-anak mereka, baik dengan perkataan dan teladan, sehingga iman warisan orangtua itu pada akhirnya menjadi milik mereka sendiri. Bayi pun bisa menerima rahmat keselamatan tanpa harus melakukan apapun sebagai sebuah syarat. Tuhan memberkati. (Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC).
Tugu Iman
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Ruangan duka Oasis Lestari dipenuhi dengan umat siang itu, tetapi suasananya begitu hening, tanpa satu katapun terdengar. Hampir semua wajah tertunduk dengan mata memerah karena dilanda kesedihan dan sekaligus keharuan. Seorang bapak yang tidur didalam peti jenasah berbicara banyak tentang ‘kasih dan pengabdian’ ketika ia sudah menghadap Bapa daripada pada waktu ia masih berjiarah di dunia fana. Peti jenasahnya menarik banyak orang untuk tenggelam dalam kenangan yang indah akan kebaikan hidupnya seperti pesannya selagi ia masih hidup agar abunya nanti harap disimpan supaya menjadi tugu iman bagi yang mengenalnya. Tugu iman yang didirikan dengan kedermawanannya terhadap anak-anak terlantar. Ia menghadap Bapa setelah melakukan penggalangan dana untuk pembangunan Gereja Santa Maria Imakulata, Paroki Trinitas, Cengkareng di Gereja Hati Maria Tak Bernoda Tangerang. Ia meninggal dunia dengan masih memakai baju seragam PPG (Panitia Pembangunan Gereja Tuhan) kebanggaannya.
Surga merupakan kerinduan jiwanya. Kerinduan jiwanya itu terungkap dengan kelopak matanya terbuka setelah dua bulan tertutup ketika mendengarkan lagu ‘Jiwaku Terbuka untukMu Tuhan’ dan ketika aku memberikan sebuah rosario kepadanya. Aku yakin jiwanya layak menikmati Gereja Abadi, yaitu surga yang telah dirintisnya di dunia dengan iringan Bunda Maria tercinta. Kebahagiaan surga dilambangkan dengan kegembiraan pesta pengantin. Untuk memasuki perjamuan perkawinan, orang harus mengenakan pakaian pesta. Jenasahnya dikremasi pada tanggal 26 Oktober 2011. Kremasi melambangkan penyucian jiwanya dengan api Roh Kudus. Aku kaget ternyata tanggal 27 Oktober (satu hari setelah kremasi) merupakan ulang tahun (anniversary) perkawinannya yang ke 22 tahun. Setelah disucikan oleh Roh Kudus dengan api cinta Tuhan, ia kini berpesta di surga. Karena itu, amanatnya terhadap istrinya agar tidak menghantarkan jenasahnya ke krematorium supaya ia tidak larut dalam kesedihan. Ia tidak mati, tetapi hidup. Ia hidup secara baru. Kejadian-kejadian rohani yang mengiringi kepergiannya ke surga bukanlah sebuah kebetulan, tetapi karena selama hidupnya dibimbing oleh Roh : “Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah kita juga dipimpin oleh Roh (Galatia 5:25). Abunya tidak bisu, tetapi menjadi pewartaan iman bagi semua yang masih berjuang untuk mendapatkan mahkota kemenangan surga. Aku dan anak-anaknya menyanyikan lagu-lagu sambil memegang peti jenasahnya sebagai ungkapan terimakasih dan kebanggaan akan dia karena telah meninggalkan warisan teladan hidup di jalan Tuhan.
Kepergiannya ke Tahta Allah membuat hidup ini menarik karena ada tujuannya. Surga merupakan tujuan hidup : “…. Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia” ( 2Kor 5:1). Semua umat yang setia kepada Tuhan ingin memilikinya. Surga merupakan kata yang indah dan menyejukkan, bukan hanya sekedar di angan-angan, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan dengan seluruh keberadaannya. Surga menjadi sumber penghiburan dan pengharapan sehingga kesulitan yang ada tidak sebanding dengan mahkota kemuliaan yang dianugerahkan bagi yang mampu melewatinya.
Jangan sia-siakan kesempatan hidup ini dengan melakukan sesuatu yang tidak berarti, tetapi kumpulkan sebanyak mungkin harta surgawi : “Buatlah pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dn yang tidak dirusakkan ngengat. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Lukas 12:33-34). Kehidupan surgawi dapat dicapai dengan kesediaan dipimpin oleh Roh. Hidup dalam Roh adalah mengijinkan Sabda Tuhan dan segala kekayaannya diam di dalam kehidupan (Kolose 3:16). Hati dan jiwa perlahan-lahan, tetapi pasti akan sejalan dengan hati dan jiwa Kristus. Hidup di dunia pun telah memancarkan percikan kehidupan surgawi, yaitu penuh dengan ucapan syukur, puji-pujian, dan sukacita (Efesus 5:18-20). Karena itu, arahkanlah senantiasa segala segi kehidupan kepada keindahan surga sehingga hidup ini terasa bermakna dan jangan arahkan hidup ini pada kenikmatan dunia yang hanya membuatnya berantakan dan mendatangkan malapetaka baik sekarang maupun pada akhir jaman. Godaan terbesar bagi orang yang ingin menyucikan diri adalah memanipulasi pelayanan dan kegiatan rohani demi kesenangan diri seperti membangun persahabatan yang tidak asli karena bisa menyiksa dan menghancurkan diri. Maka dari itu hati-hati ! Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Ruangan duka Oasis Lestari dipenuhi dengan umat siang itu, tetapi suasananya begitu hening, tanpa satu katapun terdengar. Hampir semua wajah tertunduk dengan mata memerah karena dilanda kesedihan dan sekaligus keharuan. Seorang bapak yang tidur didalam peti jenasah berbicara banyak tentang ‘kasih dan pengabdian’ ketika ia sudah menghadap Bapa daripada pada waktu ia masih berjiarah di dunia fana. Peti jenasahnya menarik banyak orang untuk tenggelam dalam kenangan yang indah akan kebaikan hidupnya seperti pesannya selagi ia masih hidup agar abunya nanti harap disimpan supaya menjadi tugu iman bagi yang mengenalnya. Tugu iman yang didirikan dengan kedermawanannya terhadap anak-anak terlantar. Ia menghadap Bapa setelah melakukan penggalangan dana untuk pembangunan Gereja Santa Maria Imakulata, Paroki Trinitas, Cengkareng di Gereja Hati Maria Tak Bernoda Tangerang. Ia meninggal dunia dengan masih memakai baju seragam PPG (Panitia Pembangunan Gereja Tuhan) kebanggaannya.
Surga merupakan kerinduan jiwanya. Kerinduan jiwanya itu terungkap dengan kelopak matanya terbuka setelah dua bulan tertutup ketika mendengarkan lagu ‘Jiwaku Terbuka untukMu Tuhan’ dan ketika aku memberikan sebuah rosario kepadanya. Aku yakin jiwanya layak menikmati Gereja Abadi, yaitu surga yang telah dirintisnya di dunia dengan iringan Bunda Maria tercinta. Kebahagiaan surga dilambangkan dengan kegembiraan pesta pengantin. Untuk memasuki perjamuan perkawinan, orang harus mengenakan pakaian pesta. Jenasahnya dikremasi pada tanggal 26 Oktober 2011. Kremasi melambangkan penyucian jiwanya dengan api Roh Kudus. Aku kaget ternyata tanggal 27 Oktober (satu hari setelah kremasi) merupakan ulang tahun (anniversary) perkawinannya yang ke 22 tahun. Setelah disucikan oleh Roh Kudus dengan api cinta Tuhan, ia kini berpesta di surga. Karena itu, amanatnya terhadap istrinya agar tidak menghantarkan jenasahnya ke krematorium supaya ia tidak larut dalam kesedihan. Ia tidak mati, tetapi hidup. Ia hidup secara baru. Kejadian-kejadian rohani yang mengiringi kepergiannya ke surga bukanlah sebuah kebetulan, tetapi karena selama hidupnya dibimbing oleh Roh : “Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah kita juga dipimpin oleh Roh (Galatia 5:25). Abunya tidak bisu, tetapi menjadi pewartaan iman bagi semua yang masih berjuang untuk mendapatkan mahkota kemenangan surga. Aku dan anak-anaknya menyanyikan lagu-lagu sambil memegang peti jenasahnya sebagai ungkapan terimakasih dan kebanggaan akan dia karena telah meninggalkan warisan teladan hidup di jalan Tuhan.
Kepergiannya ke Tahta Allah membuat hidup ini menarik karena ada tujuannya. Surga merupakan tujuan hidup : “…. Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia” ( 2Kor 5:1). Semua umat yang setia kepada Tuhan ingin memilikinya. Surga merupakan kata yang indah dan menyejukkan, bukan hanya sekedar di angan-angan, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan dengan seluruh keberadaannya. Surga menjadi sumber penghiburan dan pengharapan sehingga kesulitan yang ada tidak sebanding dengan mahkota kemuliaan yang dianugerahkan bagi yang mampu melewatinya.
Jangan sia-siakan kesempatan hidup ini dengan melakukan sesuatu yang tidak berarti, tetapi kumpulkan sebanyak mungkin harta surgawi : “Buatlah pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dn yang tidak dirusakkan ngengat. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Lukas 12:33-34). Kehidupan surgawi dapat dicapai dengan kesediaan dipimpin oleh Roh. Hidup dalam Roh adalah mengijinkan Sabda Tuhan dan segala kekayaannya diam di dalam kehidupan (Kolose 3:16). Hati dan jiwa perlahan-lahan, tetapi pasti akan sejalan dengan hati dan jiwa Kristus. Hidup di dunia pun telah memancarkan percikan kehidupan surgawi, yaitu penuh dengan ucapan syukur, puji-pujian, dan sukacita (Efesus 5:18-20). Karena itu, arahkanlah senantiasa segala segi kehidupan kepada keindahan surga sehingga hidup ini terasa bermakna dan jangan arahkan hidup ini pada kenikmatan dunia yang hanya membuatnya berantakan dan mendatangkan malapetaka baik sekarang maupun pada akhir jaman. Godaan terbesar bagi orang yang ingin menyucikan diri adalah memanipulasi pelayanan dan kegiatan rohani demi kesenangan diri seperti membangun persahabatan yang tidak asli karena bisa menyiksa dan menghancurkan diri. Maka dari itu hati-hati ! Tuhan memberkati.
Rahasia Kegembiraan Jiwa
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.
Aku menerima sebuah pesan melalui blackberry yang bernuansa kasih dan perhatian terhadap sesamanya tertanggal 22 Oktober 2011 pukul 11.33 : “Selamat siang Romo. Ada umat lingkungan saya yang berumur tujuh puluh empat tahun terbaring di rumah sakit hampir satu minggu. Ia sudah menderita penyakit levernya selama tiga tahun. Saat ini kondisinya sangat kritis. Apakah Romo bisa mendampingi ibu ini dan memberi kekuatan baginya ?” Pemohonan yang membuat aku malu untuk tidak berangkat melayaninya. Kondisinya sangat lemah dan hampir tidak sadarkan diri. Saudara-saudari kandung dan anak-anaknya mengilinginya dengan wajah-wajah ceria. Ini menandakan bahwa ia sangat dikasihi mereka. Kasih itu pasti membuatnya tidak dikalahkan dengan penyakit yang menggerogotinya. Semua yang hadir malam itu terkejut karena ia tiba-tiba membuka mata dan menangis sesenggukan seperti anak kecil ketika mendengar sebuah lagu pujian yang dilantunkan. Pertama kali aku kira tangisannya itu merupakan ungkapan kesedihannya atas penyakit yang dideritanya. Ternyata tangisan tersebut adalah tangisan kebahagiaan. Kebahagiaannya terungkap dalam perkataannya yang tersendat-sendat, tetapi jelas maksudnya : “Aku dengar semua ….. aku gem…. bi…. ra” . Kata-kata ‘aku gembira’ membuat suasana kamar perawatannya dipenuhi dengan sukacita. Aku takjub bahwa ia mengungkapkan kegembiraan di tengah pergulatan terhadap penyakit yang pelan-pelan menghabiskan tubuhnya. Kasih Tuhan dalam Hosti yang ia terima menjadikan dia tetap gembira di tengah kerapuhan fisiknya. “Terimakasih ibu, engkau telah memberi pencerahan iman secara nyata. Tubuh ini boleh hancur lebur, tetapi kegembiraan jiwa tidak akan pernah lenyap di telan usia ataupun penyakit-penyakit yang menghancurkan keindahan fisik ini karena iman akan Tuhan”, kataku pada diriku sendiri.
Kegembiraan jiwa perlu dipelihara dan dihidupi dengan pelayanan kasih. Pelayanan kasih adalah pelayanan yang dilakukan dengan sukacita karena mendapatkan kesempatan untuk memuliakan Tuhan : “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu (dari roh) seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23). Pelayanan kasih akan mengalirkan pemenuhan kegembiraan dalam jiwa. Pelayanan kasih bukan hanya kata-kata yang menunjukkan kepandaian dan luasnya pengetahuan iman dalam diskusi di group-group blackberry. Kata-kata memang bisa mendatangkan decak kekaguman, tetapi pelayanan kasih tidak berhenti di arena keindahan diskusi. Singsingkanlah lengan baju dan lakukanlah perbuatan kasih, maka jiwa ini akan selalu diberi makanan nutrisi ilahi. Lakukanlan hal-hal kecil dengan cinta yang besar, maka jiwa akan terus memancarkan kegembiraan rohani, baik bagi diri sendiri atau sesama yang dilayani karena selalu dilingkupi dengan kasih : “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya” (Yohanes 14:21).
Dengan melakukan perbuatan kasih, jiwa selalu dibebaskan dari keeegoisan, kekerasan, dan kebengkokan, tetapi selalu diisi dengan ketaatan kepada Tuhan : “Kamu akan Kuberikan hati yang baru , dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat” (bdk. Yeh 36:26). Melatih jiwa dengan perbuatan kasih menghindarkan diri dari lubang kebinasaaan yang digali iblis. Lubang kebinasaan itu namanya ‘penipuan diri’ : “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (Yakobus 1:22). Penipuan diri membawa jiwa masuk ke dalam kesengsaraan karena berhadapan dengan teguran suara hati.
Menyambut kesempatan melalukan perbuatan kasih sebagai berkat merupakan sebuah cara untuk terus menyalakan kegembiraan di ruang jiwa. Ada suatu kerinduan untuk semakin memenuhi jiwa dengan kasih. Kegembiran sempurna adalah kebersatuan dengan Tuhan Allah yang adalah Kasih. Kasih merupakan atribut Tuhan Allah : “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4;8). Tuhan memberkati
Pengetahuan Dasar Iman Katolik
Sakramen
Arti sakramen : Tanda dan Sarana Keselamatan Allah melalui Kristus yang sekarang dipercayakan kepada Gereja. Unsur-Unsur Sakramen : a) Keselamatan, yaitu hidup bersama Allah; b) Yesus Kristus yang memulihkan kebersamaan manusia dengan Allah yang telah dirusak oleh dosa : “…. Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyai dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10) c) Gereja yang menghadirkan kebersamaan dengan Yesus dalam pengalaman sehari-hari. Ada tujuh sakramen. Dasar dari ketujuh sakramen itu : apa yang dibuat oleh Yesus dalam hidup dan karya-Nya. Ketujuh sakramen itu dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu A. Sakraman inisiasi : 1. Sakramen Baptis, 2. Sakramen Krisma, 3. Sakramen Ekaristi, B. Sakramen Penyembuhan : 4. Sakramen Tobat, 5. Sakramen Pengurapan Orang Sakit, C. Sakramen Penopang Kebersamaan : 6. Sakramen Perkawinan, 7. Sakramen Imamat. Tuhan memberkati (Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC).
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.
Aku menerima sebuah pesan melalui blackberry yang bernuansa kasih dan perhatian terhadap sesamanya tertanggal 22 Oktober 2011 pukul 11.33 : “Selamat siang Romo. Ada umat lingkungan saya yang berumur tujuh puluh empat tahun terbaring di rumah sakit hampir satu minggu. Ia sudah menderita penyakit levernya selama tiga tahun. Saat ini kondisinya sangat kritis. Apakah Romo bisa mendampingi ibu ini dan memberi kekuatan baginya ?” Pemohonan yang membuat aku malu untuk tidak berangkat melayaninya. Kondisinya sangat lemah dan hampir tidak sadarkan diri. Saudara-saudari kandung dan anak-anaknya mengilinginya dengan wajah-wajah ceria. Ini menandakan bahwa ia sangat dikasihi mereka. Kasih itu pasti membuatnya tidak dikalahkan dengan penyakit yang menggerogotinya. Semua yang hadir malam itu terkejut karena ia tiba-tiba membuka mata dan menangis sesenggukan seperti anak kecil ketika mendengar sebuah lagu pujian yang dilantunkan. Pertama kali aku kira tangisannya itu merupakan ungkapan kesedihannya atas penyakit yang dideritanya. Ternyata tangisan tersebut adalah tangisan kebahagiaan. Kebahagiaannya terungkap dalam perkataannya yang tersendat-sendat, tetapi jelas maksudnya : “Aku dengar semua ….. aku gem…. bi…. ra” . Kata-kata ‘aku gembira’ membuat suasana kamar perawatannya dipenuhi dengan sukacita. Aku takjub bahwa ia mengungkapkan kegembiraan di tengah pergulatan terhadap penyakit yang pelan-pelan menghabiskan tubuhnya. Kasih Tuhan dalam Hosti yang ia terima menjadikan dia tetap gembira di tengah kerapuhan fisiknya. “Terimakasih ibu, engkau telah memberi pencerahan iman secara nyata. Tubuh ini boleh hancur lebur, tetapi kegembiraan jiwa tidak akan pernah lenyap di telan usia ataupun penyakit-penyakit yang menghancurkan keindahan fisik ini karena iman akan Tuhan”, kataku pada diriku sendiri.
Kegembiraan jiwa perlu dipelihara dan dihidupi dengan pelayanan kasih. Pelayanan kasih adalah pelayanan yang dilakukan dengan sukacita karena mendapatkan kesempatan untuk memuliakan Tuhan : “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu (dari roh) seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23). Pelayanan kasih akan mengalirkan pemenuhan kegembiraan dalam jiwa. Pelayanan kasih bukan hanya kata-kata yang menunjukkan kepandaian dan luasnya pengetahuan iman dalam diskusi di group-group blackberry. Kata-kata memang bisa mendatangkan decak kekaguman, tetapi pelayanan kasih tidak berhenti di arena keindahan diskusi. Singsingkanlah lengan baju dan lakukanlah perbuatan kasih, maka jiwa ini akan selalu diberi makanan nutrisi ilahi. Lakukanlan hal-hal kecil dengan cinta yang besar, maka jiwa akan terus memancarkan kegembiraan rohani, baik bagi diri sendiri atau sesama yang dilayani karena selalu dilingkupi dengan kasih : “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya” (Yohanes 14:21).
Dengan melakukan perbuatan kasih, jiwa selalu dibebaskan dari keeegoisan, kekerasan, dan kebengkokan, tetapi selalu diisi dengan ketaatan kepada Tuhan : “Kamu akan Kuberikan hati yang baru , dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat” (bdk. Yeh 36:26). Melatih jiwa dengan perbuatan kasih menghindarkan diri dari lubang kebinasaaan yang digali iblis. Lubang kebinasaan itu namanya ‘penipuan diri’ : “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (Yakobus 1:22). Penipuan diri membawa jiwa masuk ke dalam kesengsaraan karena berhadapan dengan teguran suara hati.
Menyambut kesempatan melalukan perbuatan kasih sebagai berkat merupakan sebuah cara untuk terus menyalakan kegembiraan di ruang jiwa. Ada suatu kerinduan untuk semakin memenuhi jiwa dengan kasih. Kegembiran sempurna adalah kebersatuan dengan Tuhan Allah yang adalah Kasih. Kasih merupakan atribut Tuhan Allah : “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4;8). Tuhan memberkati
Pengetahuan Dasar Iman Katolik
Sakramen
Arti sakramen : Tanda dan Sarana Keselamatan Allah melalui Kristus yang sekarang dipercayakan kepada Gereja. Unsur-Unsur Sakramen : a) Keselamatan, yaitu hidup bersama Allah; b) Yesus Kristus yang memulihkan kebersamaan manusia dengan Allah yang telah dirusak oleh dosa : “…. Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyai dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10) c) Gereja yang menghadirkan kebersamaan dengan Yesus dalam pengalaman sehari-hari. Ada tujuh sakramen. Dasar dari ketujuh sakramen itu : apa yang dibuat oleh Yesus dalam hidup dan karya-Nya. Ketujuh sakramen itu dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu A. Sakraman inisiasi : 1. Sakramen Baptis, 2. Sakramen Krisma, 3. Sakramen Ekaristi, B. Sakramen Penyembuhan : 4. Sakramen Tobat, 5. Sakramen Pengurapan Orang Sakit, C. Sakramen Penopang Kebersamaan : 6. Sakramen Perkawinan, 7. Sakramen Imamat. Tuhan memberkati (Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC).
Curhat kepada Tuhan
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
“Jumat kelabu”, kataku. Sore itu batinku sudah siap untuk merayakan Misa di salah satu lingkungan di Balaraja. Konsentrasiku menjadi berantakan karena menerima telefon dari seorang ibu : “Romo, tolong datang segera ke lingkungan kami karena seorang anak muda meninggal dunia. Ia meninggal dunia karena kecelakaan dan akan dimakamkan malam ini juga”. Setelah mendapatkan pengganti misa lingkungan, aku meluncur ke rumah duka (rumahnya sendiri). Perjalanan satu setengah jam lamanya sungguh melelahkan. Karena paniknya, aku menerabas lubang-lubang jalanan, sedalam kubangan kerbau. Mobilku pun tergoncang-goncang seperti kapal dihempas ombak di tengah lautan.
Aku terpana melihat air mata kesedihan orang tuanya atas kepergian anaknya yang berusia tiga belas tahun. Anaknya meninggal dunia karena kecelakaan tragis yang berakar dari kemiskinan. Sang ayah bekerja sebagai cleaning service. Gajinya pasti tidak cukup untuk menghidupi ketiga anaknya. Ia sering masih sulit memenuhi kebutuhan pokok, seperti makanan, bagi keluarganya. Anaknya itu harus menempuh jarak berkilo-kilo meter jauhnya untuk pergi ke sekolah. Untuk mengirit biaya transportasi, anak itu mencoba menumpang truk bak terbuka ketika pulang sekolah. Ketika mencoba naik ke bak truk itu, ia terpeleset dan jatuh sehingga tubuhnya terlindas ban kendaraan tersebut. Ia meninggal saat itu juga. Perasaan bersalah dan kehilangan menghantam orangtuanya. Mereka berkali-kali menangis sambil memegangi jenasah anaknya di peti jenasah yang diletakkan di lantai di rumahnya yang kecil dan sederhana. Mereka tidak mempunyai bangku untuk meletakkan jenasah anaknya. Tenggorokanku seakan-akan tersumbat mendengarkan isak tangis mereka sehingga aku tidak mampu mengeluarkan kata dalam homili. Setelah Misa berakhir, aku duduk bersama orang tuanya dan saudara-saudarinya di depan jenasahnya. Aku memegang kedua bahu kedua orangtuanya dan bersama-sama memasangkan sebuah rosario di tangan anaknya itu. Tangisan mereka reda karena merasa ada penghiburan rohani bahwa anaknya pasti masuk surga. Sebelum jenasahnya diberangkatkan ke tempat peristirahatannya, ibunya mengatakan : “Aku tidak tahu apa yang Tuhan mau dengan kejadian ini. Akan tetapi, aku yakin pada saatnya akan dibukakan Tuhan bagiku”.
Kehidupan semakin hari semakin sulit dan menegangkan. “Masihkan kasih Tuhan dapat dikatakan di tengah kejadian-kejadian tragis manusia”, tanyaku. Jawabannya : aku harus berani menghidupkan imanku di tengah kesesakan hidup. Aku tidak akan membatasi kuasa Tuhan. Kesesakan merupakan jalan untuk mengerti kuasa-Nya. Kuasa Tuhan jauh lebih besar daripada kuasa lainnya. Tuhan dapat meredakan kesesakan hidup dalam sekejap, tetapi ia mengijinkannya terjadi agar aku belajar bersikap tenang ditengah ombak penderitaan. Tuhan memberikan kesempatan kepadaku untuk berjalan bersama Yesus di atas ombak-ombak kesesakan agar mencapai kemenangan atasnya. Di dalam penderitaan ada kekuatan yang tersembunyi yang mulai bergejolak. Kekuatan itu adalah kekuatan iman yang tertuju kepada Tuhan Yesus. Tanpa penderitaan, pengalaman akan kemenangan tidak akan pernah terjadi. Justru dalam penderitaan itulah iman akan Tuhan terbentuk. Penderitaan merupakan sebuah pengajaran untuk berdoa secara serius kepada Tuhan. Penderitaan membuat berani curhat kepada Tuhan. Penderitaan menjadi dorongan untuk mencurahkan isi hati kepada Tuhan. Focus kepada Tuhan memberikan kemenangan atas masalah.
Orang yang telah mencapai kemenangan akan berbagi kehidupan. Membagikan beras ataupun memasak makanan bagi orang-orang yang berkekurangan merupakan jalan yang aku tempuh untuk membagikan kehidupan itu. Berkat yang diterima akan membuat banyak orang akan bersorak “Halleluya” karena merasakan kebaikan Tuhan. Pengalaman akan kebaikan Tuhan akan membuat orang tidak menyerah terhadap persoalan yang menelikungnya. “Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemulian-Nya” (1 Petrus 4:13). Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
“Jumat kelabu”, kataku. Sore itu batinku sudah siap untuk merayakan Misa di salah satu lingkungan di Balaraja. Konsentrasiku menjadi berantakan karena menerima telefon dari seorang ibu : “Romo, tolong datang segera ke lingkungan kami karena seorang anak muda meninggal dunia. Ia meninggal dunia karena kecelakaan dan akan dimakamkan malam ini juga”. Setelah mendapatkan pengganti misa lingkungan, aku meluncur ke rumah duka (rumahnya sendiri). Perjalanan satu setengah jam lamanya sungguh melelahkan. Karena paniknya, aku menerabas lubang-lubang jalanan, sedalam kubangan kerbau. Mobilku pun tergoncang-goncang seperti kapal dihempas ombak di tengah lautan.
Aku terpana melihat air mata kesedihan orang tuanya atas kepergian anaknya yang berusia tiga belas tahun. Anaknya meninggal dunia karena kecelakaan tragis yang berakar dari kemiskinan. Sang ayah bekerja sebagai cleaning service. Gajinya pasti tidak cukup untuk menghidupi ketiga anaknya. Ia sering masih sulit memenuhi kebutuhan pokok, seperti makanan, bagi keluarganya. Anaknya itu harus menempuh jarak berkilo-kilo meter jauhnya untuk pergi ke sekolah. Untuk mengirit biaya transportasi, anak itu mencoba menumpang truk bak terbuka ketika pulang sekolah. Ketika mencoba naik ke bak truk itu, ia terpeleset dan jatuh sehingga tubuhnya terlindas ban kendaraan tersebut. Ia meninggal saat itu juga. Perasaan bersalah dan kehilangan menghantam orangtuanya. Mereka berkali-kali menangis sambil memegangi jenasah anaknya di peti jenasah yang diletakkan di lantai di rumahnya yang kecil dan sederhana. Mereka tidak mempunyai bangku untuk meletakkan jenasah anaknya. Tenggorokanku seakan-akan tersumbat mendengarkan isak tangis mereka sehingga aku tidak mampu mengeluarkan kata dalam homili. Setelah Misa berakhir, aku duduk bersama orang tuanya dan saudara-saudarinya di depan jenasahnya. Aku memegang kedua bahu kedua orangtuanya dan bersama-sama memasangkan sebuah rosario di tangan anaknya itu. Tangisan mereka reda karena merasa ada penghiburan rohani bahwa anaknya pasti masuk surga. Sebelum jenasahnya diberangkatkan ke tempat peristirahatannya, ibunya mengatakan : “Aku tidak tahu apa yang Tuhan mau dengan kejadian ini. Akan tetapi, aku yakin pada saatnya akan dibukakan Tuhan bagiku”.
Kehidupan semakin hari semakin sulit dan menegangkan. “Masihkan kasih Tuhan dapat dikatakan di tengah kejadian-kejadian tragis manusia”, tanyaku. Jawabannya : aku harus berani menghidupkan imanku di tengah kesesakan hidup. Aku tidak akan membatasi kuasa Tuhan. Kesesakan merupakan jalan untuk mengerti kuasa-Nya. Kuasa Tuhan jauh lebih besar daripada kuasa lainnya. Tuhan dapat meredakan kesesakan hidup dalam sekejap, tetapi ia mengijinkannya terjadi agar aku belajar bersikap tenang ditengah ombak penderitaan. Tuhan memberikan kesempatan kepadaku untuk berjalan bersama Yesus di atas ombak-ombak kesesakan agar mencapai kemenangan atasnya. Di dalam penderitaan ada kekuatan yang tersembunyi yang mulai bergejolak. Kekuatan itu adalah kekuatan iman yang tertuju kepada Tuhan Yesus. Tanpa penderitaan, pengalaman akan kemenangan tidak akan pernah terjadi. Justru dalam penderitaan itulah iman akan Tuhan terbentuk. Penderitaan merupakan sebuah pengajaran untuk berdoa secara serius kepada Tuhan. Penderitaan membuat berani curhat kepada Tuhan. Penderitaan menjadi dorongan untuk mencurahkan isi hati kepada Tuhan. Focus kepada Tuhan memberikan kemenangan atas masalah.
Orang yang telah mencapai kemenangan akan berbagi kehidupan. Membagikan beras ataupun memasak makanan bagi orang-orang yang berkekurangan merupakan jalan yang aku tempuh untuk membagikan kehidupan itu. Berkat yang diterima akan membuat banyak orang akan bersorak “Halleluya” karena merasakan kebaikan Tuhan. Pengalaman akan kebaikan Tuhan akan membuat orang tidak menyerah terhadap persoalan yang menelikungnya. “Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemulian-Nya” (1 Petrus 4:13). Tuhan memberkati.
Kesempatan Emas
Sharing Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
“Di hatiku ada gambar Allah”. Sebuah kalimat pendek yang penuh dengan kuasa spiritual. Allah menciptakan hatiku sesuai dengan hati-Nya. Hati-Nya dipenuhi dengan kasih. Hatiku pun harus dijiwai dengan kasih. Aku harus memberikan hatiku kepada Allah karena persembahan hati merupakan hak-Nya. Persembahan hati adalah persembahan kasih.
Ketika aku sedang menikmati permenunganku itu, sesesorang menelefonku untuk mendoakan temannya yang sudah tak sadarkan diri di rumah sakit. Aku mencoba menawar kepada Tuhan : “Tuhan, bolehkah aku melaksanakan pelayanan ini dua hari kemudian. Hari ini kan hari Sabtu malam. Aku harus mepersiapkan homili untuk Misa besok pagi di Gerejaku”. Aku memejamkan mataku lebih dalam lagi. Tampaklah Yesus di antara bintang-bintang kecil yang bertebaran. Ia menatapku dengan mata penuh permohonan : “Felix, Gerejamu yang sesungguhnya bukan gedung yang megah di mana setiap hari Minggu dibanjiri dengan ribuan umat. Gerejamu adalah kamar-kamar rumah sakit. Mimbarmu adalah ranjang-ranjang yang ditiduri dengan manusia yang tak berdaya. Teriakan dan tangisan mereka karena sakit, kegelisahan, dan ketakutan merupakan nyanyian pujian bagiKu. Kotbahmu adalah sentuhan tanganmu kepada mereka. Pesan dari renunganmu akan meresap dalam hati mereka karena mereka haus akan kekuatan-Ku lebih daripada banyak umat yang mungkin sekedar kewajiban datang ke Gereja”.
Hari telah larut malam aku menuju ke rumah sakit. Seorang ibu telah menungguku di di depan bangsal kamar-kamar perawatan. Wajahnya tampak lelah. Kelopak matanya membiru karena kurang tidur. Matanya memerah tak bercahaya karena terlalu banyak menumpahkan air mata. Ia telah mencurahkan seluruh tenaganya untuk menjaga suaminya yang sudah koma selama dua setengah bulan. Ia mengalami koma akibat pendarahan otak. Ibu itu merelakan apa yang ada untuk membiayai perawatan suaminya di ICU selama satu bulan. Kini suaminya dirawat di ruang biasa. Ia mengalami kelelahan, fisik, jiwa, dan pikiran. Selain merawat suaminya yang tak berdaya, ia harus juga memperhatikan ketiga anaknya. Pasti batinnya mengalami pertentangan : “Apakah ia harus menghabiskan semua kepunyaannya untuk pengobatannya suaminya, yang penyakitnya hampir tidak dapat disembuhkan, sedangkan ketiga anaknya masih membutuhkan banyak biaya ?” Aku terdiam sejenak setelah menyelami apa yang dipikirkan ibu itu. Aku bertanya kepada Tuhan : “Tuhan, apakah Engkau peduli kepada ibu ini, yang sedang berbeban berat dan jalannya sukar ? Ingatlah Tuhan, ketika suaminya sehat, ia adalah salah satu panitia pembangunan gereja-Mu”. Ternyata perhatian Tuhan kepadanya dapat dirasakannya. Apa yang tak pernah diperhitungkannya, itulah yang disediakan Tuhan baginya. Banyak umat Tuhan membantu menyelesaikan persoalannya. Ia tidak merasa menjadi miskin karena kemiskinan yang sejati bukan karena kehilangan harta benda, tetapi kehilangan kehangatan dan cinta. Ibu itu bahagia sekali ketika suaminya membuka matanya sebentar setelah dua bulan setengah terpejam ketika usai didoakan : “Romo, suamiku membuka matanya. Ia berterimakasih atas doa kita”. Kehangatan dan kasihnya kepada suaminya terasa sekali pada SMSnya tertanggal 19 Oktober 2011 pukul 07.49 : “Selamat pagi Romo. Aku dan anak-anak baik-baik saja. Terimakasih ya mo, beberapa hari yang lalu telah mendoakan suamiku. Aku mau mengabarkan bahwa hari ini suamiku pulang ke rumah. Mudah-mudahan ia merasa lebih hangat, tenang, dan nyaman di tengah keluarga. Mohon dukung doa terus ya mo, agar aku tetap kuat dan tegar. Aku memasrahkan semua ini kepada Tuhan, biarlah semua akan terjadi menurut kehendak-Nya. Aku akan menerima apa yang Tuhan berikan dengan hati yang tabah dan sukacita karena percaya akan penggenapan janji-Nya. Semoga Tuhan memberkati karya dan pelayanan Romo. Amin”. Ternyata kedatanganku di rumah sakit malam itu tercium oleh beberapa orang. Akhirnya, ada lima pasien yang mohon didoakan, yang herannya dua pasien itu belum katolik.
Pelayanan malam itu memberi pesan yang indah. Aku harus berbahagia ketika Tuhan Yesus menggunakan kehadiranku sebagai tanda kepedulian-Nya terhadap isak tangis anak-anak-Nya. Ia bukan Tuhan yang hanya menonton kesusahan umat-Nya, tetapi mengangkat kemuraman dan beban berat mereka melalui seluruh keberadaanku. Permasalahan dan penderitaan sesamaku merupakan kesempatan emas untuk membagikan jamahan kasih-Nya kepada mereka. Aku harus membuang sikap sok sibuk dan tidak peduli sehingga tidak kehilangan banyak kesempatan emas untuk melayani mereka yang membutuhkan kekuatan dari Tuhan : “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Galatia 6:10). Aku yakin bahwa Tuhan akan mendatangkan kelimpahan, yaitu damai sejahtera, bagi yang mau menjadi saluran sentuhan kasih-Nya: : ”Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum” (Amzal 11:25). Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
“Di hatiku ada gambar Allah”. Sebuah kalimat pendek yang penuh dengan kuasa spiritual. Allah menciptakan hatiku sesuai dengan hati-Nya. Hati-Nya dipenuhi dengan kasih. Hatiku pun harus dijiwai dengan kasih. Aku harus memberikan hatiku kepada Allah karena persembahan hati merupakan hak-Nya. Persembahan hati adalah persembahan kasih.
Ketika aku sedang menikmati permenunganku itu, sesesorang menelefonku untuk mendoakan temannya yang sudah tak sadarkan diri di rumah sakit. Aku mencoba menawar kepada Tuhan : “Tuhan, bolehkah aku melaksanakan pelayanan ini dua hari kemudian. Hari ini kan hari Sabtu malam. Aku harus mepersiapkan homili untuk Misa besok pagi di Gerejaku”. Aku memejamkan mataku lebih dalam lagi. Tampaklah Yesus di antara bintang-bintang kecil yang bertebaran. Ia menatapku dengan mata penuh permohonan : “Felix, Gerejamu yang sesungguhnya bukan gedung yang megah di mana setiap hari Minggu dibanjiri dengan ribuan umat. Gerejamu adalah kamar-kamar rumah sakit. Mimbarmu adalah ranjang-ranjang yang ditiduri dengan manusia yang tak berdaya. Teriakan dan tangisan mereka karena sakit, kegelisahan, dan ketakutan merupakan nyanyian pujian bagiKu. Kotbahmu adalah sentuhan tanganmu kepada mereka. Pesan dari renunganmu akan meresap dalam hati mereka karena mereka haus akan kekuatan-Ku lebih daripada banyak umat yang mungkin sekedar kewajiban datang ke Gereja”.
Hari telah larut malam aku menuju ke rumah sakit. Seorang ibu telah menungguku di di depan bangsal kamar-kamar perawatan. Wajahnya tampak lelah. Kelopak matanya membiru karena kurang tidur. Matanya memerah tak bercahaya karena terlalu banyak menumpahkan air mata. Ia telah mencurahkan seluruh tenaganya untuk menjaga suaminya yang sudah koma selama dua setengah bulan. Ia mengalami koma akibat pendarahan otak. Ibu itu merelakan apa yang ada untuk membiayai perawatan suaminya di ICU selama satu bulan. Kini suaminya dirawat di ruang biasa. Ia mengalami kelelahan, fisik, jiwa, dan pikiran. Selain merawat suaminya yang tak berdaya, ia harus juga memperhatikan ketiga anaknya. Pasti batinnya mengalami pertentangan : “Apakah ia harus menghabiskan semua kepunyaannya untuk pengobatannya suaminya, yang penyakitnya hampir tidak dapat disembuhkan, sedangkan ketiga anaknya masih membutuhkan banyak biaya ?” Aku terdiam sejenak setelah menyelami apa yang dipikirkan ibu itu. Aku bertanya kepada Tuhan : “Tuhan, apakah Engkau peduli kepada ibu ini, yang sedang berbeban berat dan jalannya sukar ? Ingatlah Tuhan, ketika suaminya sehat, ia adalah salah satu panitia pembangunan gereja-Mu”. Ternyata perhatian Tuhan kepadanya dapat dirasakannya. Apa yang tak pernah diperhitungkannya, itulah yang disediakan Tuhan baginya. Banyak umat Tuhan membantu menyelesaikan persoalannya. Ia tidak merasa menjadi miskin karena kemiskinan yang sejati bukan karena kehilangan harta benda, tetapi kehilangan kehangatan dan cinta. Ibu itu bahagia sekali ketika suaminya membuka matanya sebentar setelah dua bulan setengah terpejam ketika usai didoakan : “Romo, suamiku membuka matanya. Ia berterimakasih atas doa kita”. Kehangatan dan kasihnya kepada suaminya terasa sekali pada SMSnya tertanggal 19 Oktober 2011 pukul 07.49 : “Selamat pagi Romo. Aku dan anak-anak baik-baik saja. Terimakasih ya mo, beberapa hari yang lalu telah mendoakan suamiku. Aku mau mengabarkan bahwa hari ini suamiku pulang ke rumah. Mudah-mudahan ia merasa lebih hangat, tenang, dan nyaman di tengah keluarga. Mohon dukung doa terus ya mo, agar aku tetap kuat dan tegar. Aku memasrahkan semua ini kepada Tuhan, biarlah semua akan terjadi menurut kehendak-Nya. Aku akan menerima apa yang Tuhan berikan dengan hati yang tabah dan sukacita karena percaya akan penggenapan janji-Nya. Semoga Tuhan memberkati karya dan pelayanan Romo. Amin”. Ternyata kedatanganku di rumah sakit malam itu tercium oleh beberapa orang. Akhirnya, ada lima pasien yang mohon didoakan, yang herannya dua pasien itu belum katolik.
Pelayanan malam itu memberi pesan yang indah. Aku harus berbahagia ketika Tuhan Yesus menggunakan kehadiranku sebagai tanda kepedulian-Nya terhadap isak tangis anak-anak-Nya. Ia bukan Tuhan yang hanya menonton kesusahan umat-Nya, tetapi mengangkat kemuraman dan beban berat mereka melalui seluruh keberadaanku. Permasalahan dan penderitaan sesamaku merupakan kesempatan emas untuk membagikan jamahan kasih-Nya kepada mereka. Aku harus membuang sikap sok sibuk dan tidak peduli sehingga tidak kehilangan banyak kesempatan emas untuk melayani mereka yang membutuhkan kekuatan dari Tuhan : “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Galatia 6:10). Aku yakin bahwa Tuhan akan mendatangkan kelimpahan, yaitu damai sejahtera, bagi yang mau menjadi saluran sentuhan kasih-Nya: : ”Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum” (Amzal 11:25). Tuhan memberkati.
Tangga ke Surga
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.
Pada suatu malam, aku memimpin pendalaman Kitab Suci di sebuah lingkungan. Aku bertemu dengan seorang ibu, yang adalah ketua lingkungannya. Wajahnya tetap memantulkan kegembiraan dari sanubarinya walaupun ia baru saja berdukacita karena anaknya tercinta telah dipanggil Tuhan. Aku memimpin Misa pelepasan jenasahnya di Rumah Duka Oasis Lestari. Ungkapan kata-kata yang indah tentang puteranya itu sungguh menyentuh hatiku : “Puteraku yang baru saja dipanggil Tuhan sudah membentuk kehidupan rohaniku dan suamiku. Dia adalah malaikat yang dikirimkan oleh Tuhan Yesus kepada kami. Karena kami sangat mencintainya, kami tidak terus menerus dirundung kesedihan, tetapi semakin tekun dalam pelayanan Tuhan seperti yang ia cita-citakan selama ia masih hidup di dunia ini”
Ia menikah pada tahun 1988 dan dikarunia seorang anak-anak laki pada tahun 1990. Dua tahun kemudian, ia sangat sedih dan sempat marah kepada Tuhan karena ia mengalami keguguran anak kedua yang diimpikannya. Keguguran janinnya disebabkan penyakit ‘Toksoplasma”. Toksoplasma : penyakit yang diakibatkan oleh sebuah parasit yang dapat menyebabkan keguguran dan kecacatan pada janin. Tiga Tahun kemudian, tepatnya tanggal 23 Desember 1993, ia diliputi kegembiraan karena dianugerahi lagi seorang anak laki-laki. Kegembiraan itu hanya dapat dialami selama dua minggu karena dokter memvonis bahwa puteranya itu mengidap kelainan jantung bawaan. Dinding serambi jantungnya tidak ada sehingga jantung sebelah kirinya lebih kecil. Ada penyumbatan saluran peredaran darah dari jantung ke paru-paru. Jantung puteranya itu harus segera dioperasi kalau tidak dioperasi ia hanya bisa bertahan hidup selama dua bulan saja. Ia bertanya kepada Tuhan : “Kenapa hal ini terjadi pada kami ? Salah kami apa ? Kami tidak berbuat jahat terhadap orang lain !”
Lima tahun berlalu, Tuhan masih memberikan kehidupan pada puteranya itu secara ajaib tanpa menjalani operasi. Lagi-lagi terjadi kejadian yang tak dimengertinya. Puteranya itu tiba-tiba jatuh di sekolah. Dokter mengatakan bahwa ia menderita ‘absesrable’ (penimbunan nanah) di otak, bisa tumor, bisa ‘hydrocepallus’ (akumulasi cairan yang berlebihan di otak), bisa cairan biasa yang membesar yang menekan syarafnya sehingga ia menjadi seperti seorang yang menderita ‘stroke’. Ia harus segera menjalani operasi. Kalau ia terlambat menjalani operasi, nyawanya mungkin tidak akan tertolong. “Aduuuuuuuuh…. Tuhan Yesus. Betapa beratnya beban hidup anakku ini ? Aku tak sanggup menanggungnya”, keluhnya. Namun, anaknya itu tidak mengeluh atas setiap penyakit yang ditanggungnya. Ketabahan anaknya itu menguatkannya. Akan tetapi, keinginan anaknya untuk bisa menjadi seperti anak lainnya membuatnya mengelus dada : “Mama aku juga mau main bola basket dan sepak bola seperti koko (kakak) dan teman-temanku”. Ia hanya mengatakan : “Tuhan, sungguh aku tidak sanggup. Biarlah aku yang menderita, tetapi jangan anakku”. Puji Tuhan operasi anaknya berhasil. Ia harus dirawat di rumah sakit selama tiga puluh hari. Selama anaknya dirawat di rumah sakit, ia dan suaminya terus menerus mendoakan doa ‘Bapa Kami’, ‘Salam Maria’, dan Rosario serta tak henti-hentinya menyanyikan lagu-lagu rohani.
Beban berat kehidupan itu membuatnya, suaminya, dan puteranya itu semakin mengandalkan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus menunjukkan mukjijat-Nya. Setelah tiga puluh hari di rumah sakit, ia diperbolehkan pulang. Dalam perjalanan pulang, puteranya itu tiba-tiba berkata kepada papanya : “Papa cepetan donk dibaptis, masa mau begini terus, setiap kali ke gereja kami menerima komuni, sedangkan papa cuma duduk di kursi. Kapan kita sama-sama menerima Komuni”. Pertanyaan puteranya itu membuatnya rela belajar agama dan dibaptis. Sejak saat itu, ia dan suaminya aktif melayani di lingkungan. Ia akhirya menjadi pengurus lingkungan dan gereja.
Karena sering mengalami sesak nafas, puteranya itu pada tanggal 10 April 2011 dibawa ke rumah sakit. Dokter menyarankan agar ia dibawa ke Malaysia untuk mendapatkan operasi jantung. Puteranya menolaknya : “Aduuuuh…. mama kan sudah berkali-kali aku bilang, mama dan papa tak usah repot-repot mencari penyembuhan. Karena Tuhan Yesus mengijinkan aku sakit, biarlah Dia yang menyembuhkan dan mengurus aku. Mama ..... Mama.... setiap orang itu pasti meninggal dunia, tinggal menunggu waktu saja, tidak ada orang yang akan hidup selamanya, kita tidak tahu kapan kita meninggal dunia, dan tidak usah takut deh….. kalau Yesus bilang kita harus meninggalkan dunia ini, yaaa kita terima saja”. Sejenak ia terdiam karena terkesima dengan kata-katanya yang begitu dalam. Tanggal 29 April 2011 puteranya menghembuskan nafas terakhir pada usia tujuh belas tahun dalam iringan doa ‘Aku Percaya’, ‘Bapa Kami’, dan ‘Salam Maria’.
“Adakah nilai dibalik dukacita ?”, tanyaku. Dibalik duka selalu menanti harta yang tak ternilai dan abadi. Penghiburan Tuhan menjadi nyata justru dalam dukacita. Dukacita merupakan kesempatan berdiam diri dihadapan Tuhan. Berdiam diri membuatku mengenal Tuhan lebih baik melalui pergumulan denganNya dalam doa. Sabda-Nya menjadi penghiburan abadi karena Ia telah berjanji untuk mengakhiri air mata : “Dan Ia akan menghapus segala air mata mereka, dan maut tak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21:4). Surga merupakan suatu tempat sukacita selama-lamanya : “Dan orang yang dibebaskan Tuhan akan pulang dan masuk ke Sion dengan bersorak-sorai, sedang sukacita abadi meliputi mereka; kegirangan dan sukacita akan memenuhi mereka, kedukaan dan keluh kesah akan menjauh” (Yesaya 35:10). Karena itu, jangan sia-siakan air mata anda tertumpah di kedalaman makam, tetapi jadikan air mata anda sebuah tangga menuju surga di mana Tuhan rindu untuk memberikan penghiburan sempurna. Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.
Pada suatu malam, aku memimpin pendalaman Kitab Suci di sebuah lingkungan. Aku bertemu dengan seorang ibu, yang adalah ketua lingkungannya. Wajahnya tetap memantulkan kegembiraan dari sanubarinya walaupun ia baru saja berdukacita karena anaknya tercinta telah dipanggil Tuhan. Aku memimpin Misa pelepasan jenasahnya di Rumah Duka Oasis Lestari. Ungkapan kata-kata yang indah tentang puteranya itu sungguh menyentuh hatiku : “Puteraku yang baru saja dipanggil Tuhan sudah membentuk kehidupan rohaniku dan suamiku. Dia adalah malaikat yang dikirimkan oleh Tuhan Yesus kepada kami. Karena kami sangat mencintainya, kami tidak terus menerus dirundung kesedihan, tetapi semakin tekun dalam pelayanan Tuhan seperti yang ia cita-citakan selama ia masih hidup di dunia ini”
Ia menikah pada tahun 1988 dan dikarunia seorang anak-anak laki pada tahun 1990. Dua tahun kemudian, ia sangat sedih dan sempat marah kepada Tuhan karena ia mengalami keguguran anak kedua yang diimpikannya. Keguguran janinnya disebabkan penyakit ‘Toksoplasma”. Toksoplasma : penyakit yang diakibatkan oleh sebuah parasit yang dapat menyebabkan keguguran dan kecacatan pada janin. Tiga Tahun kemudian, tepatnya tanggal 23 Desember 1993, ia diliputi kegembiraan karena dianugerahi lagi seorang anak laki-laki. Kegembiraan itu hanya dapat dialami selama dua minggu karena dokter memvonis bahwa puteranya itu mengidap kelainan jantung bawaan. Dinding serambi jantungnya tidak ada sehingga jantung sebelah kirinya lebih kecil. Ada penyumbatan saluran peredaran darah dari jantung ke paru-paru. Jantung puteranya itu harus segera dioperasi kalau tidak dioperasi ia hanya bisa bertahan hidup selama dua bulan saja. Ia bertanya kepada Tuhan : “Kenapa hal ini terjadi pada kami ? Salah kami apa ? Kami tidak berbuat jahat terhadap orang lain !”
Lima tahun berlalu, Tuhan masih memberikan kehidupan pada puteranya itu secara ajaib tanpa menjalani operasi. Lagi-lagi terjadi kejadian yang tak dimengertinya. Puteranya itu tiba-tiba jatuh di sekolah. Dokter mengatakan bahwa ia menderita ‘absesrable’ (penimbunan nanah) di otak, bisa tumor, bisa ‘hydrocepallus’ (akumulasi cairan yang berlebihan di otak), bisa cairan biasa yang membesar yang menekan syarafnya sehingga ia menjadi seperti seorang yang menderita ‘stroke’. Ia harus segera menjalani operasi. Kalau ia terlambat menjalani operasi, nyawanya mungkin tidak akan tertolong. “Aduuuuuuuuh…. Tuhan Yesus. Betapa beratnya beban hidup anakku ini ? Aku tak sanggup menanggungnya”, keluhnya. Namun, anaknya itu tidak mengeluh atas setiap penyakit yang ditanggungnya. Ketabahan anaknya itu menguatkannya. Akan tetapi, keinginan anaknya untuk bisa menjadi seperti anak lainnya membuatnya mengelus dada : “Mama aku juga mau main bola basket dan sepak bola seperti koko (kakak) dan teman-temanku”. Ia hanya mengatakan : “Tuhan, sungguh aku tidak sanggup. Biarlah aku yang menderita, tetapi jangan anakku”. Puji Tuhan operasi anaknya berhasil. Ia harus dirawat di rumah sakit selama tiga puluh hari. Selama anaknya dirawat di rumah sakit, ia dan suaminya terus menerus mendoakan doa ‘Bapa Kami’, ‘Salam Maria’, dan Rosario serta tak henti-hentinya menyanyikan lagu-lagu rohani.
Beban berat kehidupan itu membuatnya, suaminya, dan puteranya itu semakin mengandalkan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus menunjukkan mukjijat-Nya. Setelah tiga puluh hari di rumah sakit, ia diperbolehkan pulang. Dalam perjalanan pulang, puteranya itu tiba-tiba berkata kepada papanya : “Papa cepetan donk dibaptis, masa mau begini terus, setiap kali ke gereja kami menerima komuni, sedangkan papa cuma duduk di kursi. Kapan kita sama-sama menerima Komuni”. Pertanyaan puteranya itu membuatnya rela belajar agama dan dibaptis. Sejak saat itu, ia dan suaminya aktif melayani di lingkungan. Ia akhirya menjadi pengurus lingkungan dan gereja.
Karena sering mengalami sesak nafas, puteranya itu pada tanggal 10 April 2011 dibawa ke rumah sakit. Dokter menyarankan agar ia dibawa ke Malaysia untuk mendapatkan operasi jantung. Puteranya menolaknya : “Aduuuuh…. mama kan sudah berkali-kali aku bilang, mama dan papa tak usah repot-repot mencari penyembuhan. Karena Tuhan Yesus mengijinkan aku sakit, biarlah Dia yang menyembuhkan dan mengurus aku. Mama ..... Mama.... setiap orang itu pasti meninggal dunia, tinggal menunggu waktu saja, tidak ada orang yang akan hidup selamanya, kita tidak tahu kapan kita meninggal dunia, dan tidak usah takut deh….. kalau Yesus bilang kita harus meninggalkan dunia ini, yaaa kita terima saja”. Sejenak ia terdiam karena terkesima dengan kata-katanya yang begitu dalam. Tanggal 29 April 2011 puteranya menghembuskan nafas terakhir pada usia tujuh belas tahun dalam iringan doa ‘Aku Percaya’, ‘Bapa Kami’, dan ‘Salam Maria’.
“Adakah nilai dibalik dukacita ?”, tanyaku. Dibalik duka selalu menanti harta yang tak ternilai dan abadi. Penghiburan Tuhan menjadi nyata justru dalam dukacita. Dukacita merupakan kesempatan berdiam diri dihadapan Tuhan. Berdiam diri membuatku mengenal Tuhan lebih baik melalui pergumulan denganNya dalam doa. Sabda-Nya menjadi penghiburan abadi karena Ia telah berjanji untuk mengakhiri air mata : “Dan Ia akan menghapus segala air mata mereka, dan maut tak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21:4). Surga merupakan suatu tempat sukacita selama-lamanya : “Dan orang yang dibebaskan Tuhan akan pulang dan masuk ke Sion dengan bersorak-sorai, sedang sukacita abadi meliputi mereka; kegirangan dan sukacita akan memenuhi mereka, kedukaan dan keluh kesah akan menjauh” (Yesaya 35:10). Karena itu, jangan sia-siakan air mata anda tertumpah di kedalaman makam, tetapi jadikan air mata anda sebuah tangga menuju surga di mana Tuhan rindu untuk memberikan penghiburan sempurna. Tuhan memberkati.
Air mata Tuhan
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Berita kematiannya seratus hari yang lalu sungguh mengejutkanku. Ia menjadi sahabatku ketika aku memberikan Sakramen Perminyakan Suci kepadanya. Saat itu ia akan menjalani pengobatan di Singapore karena penyakit Leukimia yang dideritanya pada usia empat puluh satu tahun. Anak-anaknya masih kecil-kecil. Anak sulungnya berusia sepuluh tahun, anak kedua berusia sembilan tahun, dan yang terkecil empat tahun. Istrinya belum Katolik sehingga anak-anaknya belum dibaptis. Sejak menerima Sakramen Perminyakan Suci, semangat iman katoliknya semakin berkobar. Ia mengajak istri dan anak-anaknya mengikuti Ekaristi setiap hari Minggu. Ia pun yakin bahwa Tuhan akan menyembuhkannya. Istrinya mengusahakan pengobatan yang terbaik baginya agar ia sembuh. Ia rela menjual rumah barunya yang indah di Pantai Indah Kapuk dan menempati sebuah rumah kontrakkan. Baginya rumah dapat dibelinya lagi pada saatnya nanti, tetapi perhatian terhadap suaminya merupakan kesempatan emas yang tak dapat terulang kembali.
Aku pun mempunyai kenangan yang indah tentang dia. Kenangan yang tak akan pernah terlupakan dalam anganku. Ia menemuiku di Gereja Regina Caeli dengan tubuh yang lemah dan kepala sudah botak ketika aku akan pindah satu tahun yang lalu. Ia mengatakan : “Romo, warisanku kepada istri dan anakku adalah iman katolik. Semoga istri dan anak-anakku mau menerima dan meneruskan warisan imanku ini”. Kenangan akan warisan imannya membuat istri dan anak-anaknya menangis tersedu-sedu. Getaran keinginan untuk menerima iman katolik telah menusuk-nusuk jiwa mereka. Isak tangis haru dari sahabat-sahabatnya memenuhi ruang di mana misa berlangsung. Selain umat lingkungan Santo Matius Paroki Regina Caeli-Pantai Indah Kapuk – Jakarta Utara, banyak sahabat-sahabatnya di SMA Ricci dahulu mengikuti Misa untuk mengenang arwahnya. Ia dikenal oleh sahabat-sahabatnya sebagai penolong di dalam kesusahan. Istrinya berbisik kepadaku : “Perkataan terakhir suamiku dan semangatnya untuk hidup memampukan aku dalam membawa anak-anak berhasil dalam iman dan segalanya”.
Aku sempat kecewa dengan Tuhan. “Dia yang sanggup memelekkan mata orang buta, mentahirkan orang kusta dan membuat orang lumpuh berjalan tidak mau menyembuhkan orang yang baik ini, orang yang suka membantu dalam keuangan orang terbelit masalah finansial ? Mengapa Dia tega membiarkan seorang pendoa dan dekat dengan-Nya tinggal di rumah kontrakkan dan mengembuskan nafasnya terakhir di sana pada usia empat tiga tahun ?”, kataku kepada Tuhan. Kubur menutup pandanganku kepada kehadiran Tuhan. Syukurlah bahwa Roh Allah menyadarkan aku bahwa kematian menantang imanku. Kesembuhan bukan satu-satunya cara Allah menghadirkan diri-Nya. Di tengah kedukaan karena kematian, Tuhan Yesus menyatakan diri-Nya sebagai pemberi hidup : “Akulah kebangkitan dan hidup; berangsiapa percaya kepadaku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya” (Yohanes 11:25). Sang Pemberi hidup itu mempunyai perasaan empati yang mendalam sehingga ia menangis karena merasakan penderitaan orang-orang yang dikasihi-Nya. Tuhan Yesus menangis atas kematian Lazarus, sahabat-Nya, yang telah terbaring empat hari di makam. Tuhan yang dibutuhkan bukan hanya Tuhan yang penuh kuasa, tetapi Tuhan yang dapat merasakan setiap tetesan air mata dan penderitaan umat-Nya. Tuhan yang dapat mengalami seluruh kesedihan, kegelisahan, ketakutan, dan kedukaan anak-anak-Nya. Kehadiran Tuhan memberikan pengiburan dan sekaligus menumbuhkan pengharapan bagi orang-orang yang berada dalam detik-detik kematian. Orang-orang yang tak berpengharapan seperti tulang-tulang kering yang berserakan dalam penglihatan Nabi Yehezkiel (Yehezkiel 37). Tuhan Allah memintanya untuk menubuatkan bahwa tulang-tulang kering itu akan dihidupkan kembali. Allah memulihkan kehidupan dan membangkitkan harapan yang telah pudar.
Tulang-tulang kering itu berserakan lebih banyak di depan mata daripada di rumah-rumah kenangan. Banyak di antara anak-anak Tuhan telah kehilangan semangat dan gairah hidup sehingga berjalan tanpa makna dan pengharapan. Banyak di antara mereka meninggalkan Tuhan dan juga ada yang mengakhiri kehidupannya sebelum garisnya tiba. Hidupkanlah tulang-tulang kering itu melalui kehadiran di tengah-tengah mereka dengan membawa iman. Menangislah sebagai tanda empati untuk meneguhkan mereka sehingga mereka tidak mengasihani diri sendiri dan melihat diri sendiri sebagai yang paling malang di dunia ini. Mohonkanlah mulut ini dipenuhi dengan kata-kata yang bermakna. Perkataan yang bermakna mengandung kuasa untuk menyalakan api yang hampir pudar. Dengan demikian, kekuatiran tidak dibiarkan menang atas iman : “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan ketertiban” (2 Kor 1:7). Tuhan memberkati
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Berita kematiannya seratus hari yang lalu sungguh mengejutkanku. Ia menjadi sahabatku ketika aku memberikan Sakramen Perminyakan Suci kepadanya. Saat itu ia akan menjalani pengobatan di Singapore karena penyakit Leukimia yang dideritanya pada usia empat puluh satu tahun. Anak-anaknya masih kecil-kecil. Anak sulungnya berusia sepuluh tahun, anak kedua berusia sembilan tahun, dan yang terkecil empat tahun. Istrinya belum Katolik sehingga anak-anaknya belum dibaptis. Sejak menerima Sakramen Perminyakan Suci, semangat iman katoliknya semakin berkobar. Ia mengajak istri dan anak-anaknya mengikuti Ekaristi setiap hari Minggu. Ia pun yakin bahwa Tuhan akan menyembuhkannya. Istrinya mengusahakan pengobatan yang terbaik baginya agar ia sembuh. Ia rela menjual rumah barunya yang indah di Pantai Indah Kapuk dan menempati sebuah rumah kontrakkan. Baginya rumah dapat dibelinya lagi pada saatnya nanti, tetapi perhatian terhadap suaminya merupakan kesempatan emas yang tak dapat terulang kembali.
Aku pun mempunyai kenangan yang indah tentang dia. Kenangan yang tak akan pernah terlupakan dalam anganku. Ia menemuiku di Gereja Regina Caeli dengan tubuh yang lemah dan kepala sudah botak ketika aku akan pindah satu tahun yang lalu. Ia mengatakan : “Romo, warisanku kepada istri dan anakku adalah iman katolik. Semoga istri dan anak-anakku mau menerima dan meneruskan warisan imanku ini”. Kenangan akan warisan imannya membuat istri dan anak-anaknya menangis tersedu-sedu. Getaran keinginan untuk menerima iman katolik telah menusuk-nusuk jiwa mereka. Isak tangis haru dari sahabat-sahabatnya memenuhi ruang di mana misa berlangsung. Selain umat lingkungan Santo Matius Paroki Regina Caeli-Pantai Indah Kapuk – Jakarta Utara, banyak sahabat-sahabatnya di SMA Ricci dahulu mengikuti Misa untuk mengenang arwahnya. Ia dikenal oleh sahabat-sahabatnya sebagai penolong di dalam kesusahan. Istrinya berbisik kepadaku : “Perkataan terakhir suamiku dan semangatnya untuk hidup memampukan aku dalam membawa anak-anak berhasil dalam iman dan segalanya”.
Aku sempat kecewa dengan Tuhan. “Dia yang sanggup memelekkan mata orang buta, mentahirkan orang kusta dan membuat orang lumpuh berjalan tidak mau menyembuhkan orang yang baik ini, orang yang suka membantu dalam keuangan orang terbelit masalah finansial ? Mengapa Dia tega membiarkan seorang pendoa dan dekat dengan-Nya tinggal di rumah kontrakkan dan mengembuskan nafasnya terakhir di sana pada usia empat tiga tahun ?”, kataku kepada Tuhan. Kubur menutup pandanganku kepada kehadiran Tuhan. Syukurlah bahwa Roh Allah menyadarkan aku bahwa kematian menantang imanku. Kesembuhan bukan satu-satunya cara Allah menghadirkan diri-Nya. Di tengah kedukaan karena kematian, Tuhan Yesus menyatakan diri-Nya sebagai pemberi hidup : “Akulah kebangkitan dan hidup; berangsiapa percaya kepadaku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya” (Yohanes 11:25). Sang Pemberi hidup itu mempunyai perasaan empati yang mendalam sehingga ia menangis karena merasakan penderitaan orang-orang yang dikasihi-Nya. Tuhan Yesus menangis atas kematian Lazarus, sahabat-Nya, yang telah terbaring empat hari di makam. Tuhan yang dibutuhkan bukan hanya Tuhan yang penuh kuasa, tetapi Tuhan yang dapat merasakan setiap tetesan air mata dan penderitaan umat-Nya. Tuhan yang dapat mengalami seluruh kesedihan, kegelisahan, ketakutan, dan kedukaan anak-anak-Nya. Kehadiran Tuhan memberikan pengiburan dan sekaligus menumbuhkan pengharapan bagi orang-orang yang berada dalam detik-detik kematian. Orang-orang yang tak berpengharapan seperti tulang-tulang kering yang berserakan dalam penglihatan Nabi Yehezkiel (Yehezkiel 37). Tuhan Allah memintanya untuk menubuatkan bahwa tulang-tulang kering itu akan dihidupkan kembali. Allah memulihkan kehidupan dan membangkitkan harapan yang telah pudar.
Tulang-tulang kering itu berserakan lebih banyak di depan mata daripada di rumah-rumah kenangan. Banyak di antara anak-anak Tuhan telah kehilangan semangat dan gairah hidup sehingga berjalan tanpa makna dan pengharapan. Banyak di antara mereka meninggalkan Tuhan dan juga ada yang mengakhiri kehidupannya sebelum garisnya tiba. Hidupkanlah tulang-tulang kering itu melalui kehadiran di tengah-tengah mereka dengan membawa iman. Menangislah sebagai tanda empati untuk meneguhkan mereka sehingga mereka tidak mengasihani diri sendiri dan melihat diri sendiri sebagai yang paling malang di dunia ini. Mohonkanlah mulut ini dipenuhi dengan kata-kata yang bermakna. Perkataan yang bermakna mengandung kuasa untuk menyalakan api yang hampir pudar. Dengan demikian, kekuatiran tidak dibiarkan menang atas iman : “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan ketertiban” (2 Kor 1:7). Tuhan memberkati
Nuansa Cinta
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.
Perjalananku subuh itu dibalut dengan kesedihan. Aku akan menghantar seorang pemuda berusia tiga puluh lima tahun menuju tempat istirahatnya yang kekal dengan mempersembahkan Ekaristi baginya. Kenangan akan kebersamaan dengannya di kamarnya tiga hari sebelumnya telah menguatkan iman, tetapi sekaligus membuatku merasa kehilangan. Ia mengatakan kepadaku dengan mantapnya : “Satu-satunya kerinduanku adalah menghadap Bapa. Tuhan Yesus telah menyediakan tempat yang indah. Yang ada di sana hanyalah kebahagiaan. Rasa sakit akan hilang dengan sendirinya”. Aku dengan berat hati harus menyampaikan pesannya kepada kakak perempuan yang dicintainya dalam perjalanan mengambil mobilku di halaman katedral. Pesannya sangat sederhana bahwa ia jangan menumpahkan air mata kesedihan karena ia sudah bahagia. Ia mengucapkan rasa terimakasih atas kebaikan dan perhatiannya. Ia akan meminta Allah Bapa untuk melindunginya
Kisah kematiannya memang mengharukan. Nuansa cinta tidak hilang dengan adanya peti jenasah dan lagu-lagu duka. Sebelum meninggalkan dunia, ia bertunangan dengan seorang gadis yang baik sekali. Mereka telah berpacaran cukup lama. Segala persiapan pernikahan sudah dilakukannya. Tanggal pernikahan gereja telah ditentukan, tetapi terpaksa ditunda karena ia tiba-tiba tak berdaya dan hanya bisa berbaring di ranjangnya. Gadis pujaannya merawatnya dengan terus-menerus berpengharapan dan berdoa agar ia cepat pulih kembali seperti sediakala. Ia ingin menggandeng tangannya untuk menuju altar Tuhan tempat mereka akan mengikrarkan janji setia sampai akhir hayat. Bukannya kesembuhan yang didengarnya, tetapi kematiannya yang begitu cepat menghantam jiwanya. Keinginan untuk lebih lama merawatnya telah dihentikan oleh Sang Sumber Kehidupan. Deraian air matanya membasahi peti jenasahnya selama Misa untuk mengiringi jiwanya ke surga. Misa pun terasa menyedihkan. Aku menopangkan tanganku di atas kepalanya dan meletakkan tangannya di atas peti jenasah calon suaminya seperti memberkati pernikahan mereka. Hatinya terasa hampa, perih, dan pilu. Ia memandangku dengan air mata memenuhi pipinya : “Romo, pujaan hatiku telah pergi. Ia tak mungkin kembali. Mampukah aku melewati kepedihan dan kesunyian ini ?” Aku tak mampu mengatakan apa-apa selain menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti akan kehancuran hatinya. Ia kemudian menaburkan bunga sambil berkata : “Sayang, pergilah ke tempat kudus Tuhan dengan cintaku yang suci dan cintamu pun menemaniku sehingga aku tidak sepi menjalani kehidupanku ini”. Kemudian ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Pengalaman cintanya membuka mataku terhadap mutiara cinta yang memantulkan cahaya kemurnian di antara krisis kasih yang sejati di dalam panggung kehidupan. Kehidupan ini seperti berada di kolam Bethesda, tempat berkumpulnya banyak luka. Mereka berada di Bethesda untuk mendapatkan anugerah penyembuhan dari Tuhan sesuai dengan arti namanya. Kata ‘Betheda’ berasal dari bahasa Aram, yaitu ‘Beth’ yang berarti rumah dan ‘Hesda’ yang berarti anugerah. Bethesda berarti Rumah Anugerah. Kehilangan orang yang dicintai merupakan luka yang paling menyakitkan. Kehilangan bukan hanya karena kematian, tetapi karena diabaikan dan dilupakan. Luka-luka itu begitu parah sehingga yang menanggungnya tidak mampu berjalan menuju gelombang berkat Tuhan yang dikepakkan oleh malaikat-Nya. Berkat Tuhan itulah yang membuat hati masih memiliki sebutir sisa pengharapan. Kedatangan Tuhan Yesus di kolam Bethesda, di tengah-tengah luka, merupakan berkat yang paling istimewa. Luka itu mungkin sudah terlalu lama seperti seorang yang menderita sakit tiga puluh tahun dan terbaring di lantai. Tuhan Yesus datang dan menawarkan penyembuhan bagi hati yang terluka : “Maukah engkau sembuh ?” (Yohanes 5:6). Kedatangan Tuhan sering tertutup dengan luka-luka yang menganga. Kedatangan Tuhan hanya dapat dilihat dengan kekudusan : “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan” (Ibrani 12:14). Kekudusan berarti mau menyerahkan luka-luka kepada Tuhan. Menyerahkan luka-luka membuatnya bangkit dan berjalan kearah Sang Pencipta. Jadikanlah luka sebagai pendorong kehidupan. Anggaplah luka-luka sebagai tabungan rohani untuk mengalami lebih banyak kehadiran Tuhan. Semoga anda dan hamba mampu menghadirkan penyembuhan Tuhan di kolam Bethesda yang nyata dan penuh luka, yaitu pada wajah-wajah keriput di panti werda, hati yang haus akan kasih di panti asuhan atau penitipan anak, dan mata yang menahan sakit di rumah sakit. Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.
Perjalananku subuh itu dibalut dengan kesedihan. Aku akan menghantar seorang pemuda berusia tiga puluh lima tahun menuju tempat istirahatnya yang kekal dengan mempersembahkan Ekaristi baginya. Kenangan akan kebersamaan dengannya di kamarnya tiga hari sebelumnya telah menguatkan iman, tetapi sekaligus membuatku merasa kehilangan. Ia mengatakan kepadaku dengan mantapnya : “Satu-satunya kerinduanku adalah menghadap Bapa. Tuhan Yesus telah menyediakan tempat yang indah. Yang ada di sana hanyalah kebahagiaan. Rasa sakit akan hilang dengan sendirinya”. Aku dengan berat hati harus menyampaikan pesannya kepada kakak perempuan yang dicintainya dalam perjalanan mengambil mobilku di halaman katedral. Pesannya sangat sederhana bahwa ia jangan menumpahkan air mata kesedihan karena ia sudah bahagia. Ia mengucapkan rasa terimakasih atas kebaikan dan perhatiannya. Ia akan meminta Allah Bapa untuk melindunginya
Kisah kematiannya memang mengharukan. Nuansa cinta tidak hilang dengan adanya peti jenasah dan lagu-lagu duka. Sebelum meninggalkan dunia, ia bertunangan dengan seorang gadis yang baik sekali. Mereka telah berpacaran cukup lama. Segala persiapan pernikahan sudah dilakukannya. Tanggal pernikahan gereja telah ditentukan, tetapi terpaksa ditunda karena ia tiba-tiba tak berdaya dan hanya bisa berbaring di ranjangnya. Gadis pujaannya merawatnya dengan terus-menerus berpengharapan dan berdoa agar ia cepat pulih kembali seperti sediakala. Ia ingin menggandeng tangannya untuk menuju altar Tuhan tempat mereka akan mengikrarkan janji setia sampai akhir hayat. Bukannya kesembuhan yang didengarnya, tetapi kematiannya yang begitu cepat menghantam jiwanya. Keinginan untuk lebih lama merawatnya telah dihentikan oleh Sang Sumber Kehidupan. Deraian air matanya membasahi peti jenasahnya selama Misa untuk mengiringi jiwanya ke surga. Misa pun terasa menyedihkan. Aku menopangkan tanganku di atas kepalanya dan meletakkan tangannya di atas peti jenasah calon suaminya seperti memberkati pernikahan mereka. Hatinya terasa hampa, perih, dan pilu. Ia memandangku dengan air mata memenuhi pipinya : “Romo, pujaan hatiku telah pergi. Ia tak mungkin kembali. Mampukah aku melewati kepedihan dan kesunyian ini ?” Aku tak mampu mengatakan apa-apa selain menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti akan kehancuran hatinya. Ia kemudian menaburkan bunga sambil berkata : “Sayang, pergilah ke tempat kudus Tuhan dengan cintaku yang suci dan cintamu pun menemaniku sehingga aku tidak sepi menjalani kehidupanku ini”. Kemudian ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Pengalaman cintanya membuka mataku terhadap mutiara cinta yang memantulkan cahaya kemurnian di antara krisis kasih yang sejati di dalam panggung kehidupan. Kehidupan ini seperti berada di kolam Bethesda, tempat berkumpulnya banyak luka. Mereka berada di Bethesda untuk mendapatkan anugerah penyembuhan dari Tuhan sesuai dengan arti namanya. Kata ‘Betheda’ berasal dari bahasa Aram, yaitu ‘Beth’ yang berarti rumah dan ‘Hesda’ yang berarti anugerah. Bethesda berarti Rumah Anugerah. Kehilangan orang yang dicintai merupakan luka yang paling menyakitkan. Kehilangan bukan hanya karena kematian, tetapi karena diabaikan dan dilupakan. Luka-luka itu begitu parah sehingga yang menanggungnya tidak mampu berjalan menuju gelombang berkat Tuhan yang dikepakkan oleh malaikat-Nya. Berkat Tuhan itulah yang membuat hati masih memiliki sebutir sisa pengharapan. Kedatangan Tuhan Yesus di kolam Bethesda, di tengah-tengah luka, merupakan berkat yang paling istimewa. Luka itu mungkin sudah terlalu lama seperti seorang yang menderita sakit tiga puluh tahun dan terbaring di lantai. Tuhan Yesus datang dan menawarkan penyembuhan bagi hati yang terluka : “Maukah engkau sembuh ?” (Yohanes 5:6). Kedatangan Tuhan sering tertutup dengan luka-luka yang menganga. Kedatangan Tuhan hanya dapat dilihat dengan kekudusan : “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan” (Ibrani 12:14). Kekudusan berarti mau menyerahkan luka-luka kepada Tuhan. Menyerahkan luka-luka membuatnya bangkit dan berjalan kearah Sang Pencipta. Jadikanlah luka sebagai pendorong kehidupan. Anggaplah luka-luka sebagai tabungan rohani untuk mengalami lebih banyak kehadiran Tuhan. Semoga anda dan hamba mampu menghadirkan penyembuhan Tuhan di kolam Bethesda yang nyata dan penuh luka, yaitu pada wajah-wajah keriput di panti werda, hati yang haus akan kasih di panti asuhan atau penitipan anak, dan mata yang menahan sakit di rumah sakit. Tuhan memberkati.
Terpukau
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Cahaya matahari terbenam sore itu tampak sangat indah. Cahaya itu menghantarkan aku pada kekaguman akan kebesaran Sang Pencipta. Aku pandang cahaya itu : “Tuhan, apakah mukzijat-Mu masih terjadi di dunia ini ?” Banyak umat sudah menghabiskan segalanya untuk mendapatkan kesembuhan dan sekarang tak berdaya. Satu-satunya harapannya adalah mukjizat dari Tuhan. Sayang….. sungguh …… sayang harapan mereka akan mukjizat dari Tuhan sering ditertawakan dan bahkan dianggap takhayul oleh beberapa orang yang seharusnya menyampaikan Kabar Gembira.
Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa Ia masih melakukan mukjizat-Nya melalui sebuah sharing dalam pertemuan Kitab Suci di sebuah lingkungan yang aku ikuti. Semua mata tertuju pada sepasang suami-istri yang menyampaikan kesaksian akan pertolongan Tuhan. Pada tanggal 06 Juni 2007, perut sang suami membesar hampir menyerupai usia kandungan sembilan bulan karena ada masalah dengan pankreasnya. Pengobatan medis tidak mendatangkan kemajuan pada kesehatannya. Ia banyak berdiam diri karena menahan rasa sakitnya. Istrinya terus menangis melihat keadaan suaminya. Dalam kesedihannya, ia berdoa memohon kesembuhan dari Tuhan bagi suaminya melalui perantaraaan Santo Antonius Padua. Roh Kudus memberikan kekuatan baginya untuk bertanya kepada suaminya karena suaminya belum Katolik : “Apakah papa percaya bahwa Tuhan Yesus bisa menyembuhkan papa ?” Suaminya menjawabnya dengan satu kata : “Ya” dengan diikuti anggukan kepala yang lemah. Hari itu juga ia menerima permandian dengan nama Antonius. Keesokan harinya ia tiba-tiba koma selama dua setengah bulan di ruang ICU. Ia sering menyanyikan lagu-lagu rohani di telinganya. Walaupun dirinya sendiri dalam keadaan kesulitan karena membutuhkan banyak biaya bagi suaminya, ia rela membantu seorang ibu dari desa menebus obat bagi suaminya yang tak sadarkan diri akibat kecelakaan lalu lintas. Ketika ia menolong sesamanya walaupun di tengah kesulitannya, pertolongan Tuhan justru datang kepadanya. Seorang professor, specialist pankreas, dari Swiss, yang tak mungkin didatangkan walaupun dibayar dengan banyak uang, tiba-tiba datang untuk menangani penyakit suaminya. Profesor itu melakukan operasi untuk mengangkat nanah yang sudah mengeras dalam perutnya. Nanah yang mengeras itu telah menganggu kerja paru-paru dan organ perut lainnya. Keadaan suaminya pun berangsur-angsur membaik. Ketika keadaan suaminya itu mulai membaik, ia pada bulan Oktober 2007 dinyatakan terkena kanker rahim. Ia menjalani operasi pengangkatan kanker dan kemoterapi selama enam kali. Satu tahun kemudian, tepatnya bulan Desember 2008, kanker itu telah menyebar ke usus besar. Ia menjalani kembali operasi dan kemoterapi selama enam kali. Walaupun lelah menghadapi penyakitnya dan penyakit suaminya, ia menemukan pengalaman iman : “Penyakit yang ditanggungnya dan dialami oleh suaminya merupakan kesempatan untuk mempersembahkan kesetiaannya kepada Tuhan. Tuhan pasti akan menjawab doa orang yang percaya dan setia kepadaNya”. Sekarang mereka sudah sehat. Mereka mengungkapkan rasa syukurnya dengan rajin ke gereja, rajin mengikuti Persekutuan Doa Karismatik di Gereja St. Andreas Kim Tae Gon Kelapa Gading, rajin mendengarkan Oase Rohani Katolik di radio Cakrawala setiap pagi, dan juga mendoakan orang sakit ketika sedang berkunjung ke rumah sakit.
Aku mendapatkan teladan iman dari ibu itu. Tetap ingat Tuhan walaupun hidupku sudah hampir pada dasar jurang kematian. Ketika aku sudah tidak mempunyai apa-apa dan siapa-siapa untuk menolongku, aku harus bersyukur bahwa masih mempunyai iman. Yesus bisa dan mau menolongku. Semakin sulit kehidupan dan semakin banyak problema merupakan kesempatan untuk semakin mempersembahkan kesetiaan kepada Tuhan. Kesetiaan mendatangkan hadiah manis dari Tuhan, yaitu merasakan kebaikan-Nya : “Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu. Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat, Dia yang memuaskan hasratmu dengan kebaikan, sehingga masa mudamu menjadi baru seperti pada burung rajawali” (Mazmur 103:3-5). Jangan terpaku pada penderitaan atau persoalan pelik yang hanya akan menambah berat beban kehidupan, tetapi terpukaulah pada kebaikan Tuhan, maka pertolongan-Nya yang ajaib menjadi nyata : “Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau” (Mazmur 16:2).
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Cahaya matahari terbenam sore itu tampak sangat indah. Cahaya itu menghantarkan aku pada kekaguman akan kebesaran Sang Pencipta. Aku pandang cahaya itu : “Tuhan, apakah mukzijat-Mu masih terjadi di dunia ini ?” Banyak umat sudah menghabiskan segalanya untuk mendapatkan kesembuhan dan sekarang tak berdaya. Satu-satunya harapannya adalah mukjizat dari Tuhan. Sayang….. sungguh …… sayang harapan mereka akan mukjizat dari Tuhan sering ditertawakan dan bahkan dianggap takhayul oleh beberapa orang yang seharusnya menyampaikan Kabar Gembira.
Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa Ia masih melakukan mukjizat-Nya melalui sebuah sharing dalam pertemuan Kitab Suci di sebuah lingkungan yang aku ikuti. Semua mata tertuju pada sepasang suami-istri yang menyampaikan kesaksian akan pertolongan Tuhan. Pada tanggal 06 Juni 2007, perut sang suami membesar hampir menyerupai usia kandungan sembilan bulan karena ada masalah dengan pankreasnya. Pengobatan medis tidak mendatangkan kemajuan pada kesehatannya. Ia banyak berdiam diri karena menahan rasa sakitnya. Istrinya terus menangis melihat keadaan suaminya. Dalam kesedihannya, ia berdoa memohon kesembuhan dari Tuhan bagi suaminya melalui perantaraaan Santo Antonius Padua. Roh Kudus memberikan kekuatan baginya untuk bertanya kepada suaminya karena suaminya belum Katolik : “Apakah papa percaya bahwa Tuhan Yesus bisa menyembuhkan papa ?” Suaminya menjawabnya dengan satu kata : “Ya” dengan diikuti anggukan kepala yang lemah. Hari itu juga ia menerima permandian dengan nama Antonius. Keesokan harinya ia tiba-tiba koma selama dua setengah bulan di ruang ICU. Ia sering menyanyikan lagu-lagu rohani di telinganya. Walaupun dirinya sendiri dalam keadaan kesulitan karena membutuhkan banyak biaya bagi suaminya, ia rela membantu seorang ibu dari desa menebus obat bagi suaminya yang tak sadarkan diri akibat kecelakaan lalu lintas. Ketika ia menolong sesamanya walaupun di tengah kesulitannya, pertolongan Tuhan justru datang kepadanya. Seorang professor, specialist pankreas, dari Swiss, yang tak mungkin didatangkan walaupun dibayar dengan banyak uang, tiba-tiba datang untuk menangani penyakit suaminya. Profesor itu melakukan operasi untuk mengangkat nanah yang sudah mengeras dalam perutnya. Nanah yang mengeras itu telah menganggu kerja paru-paru dan organ perut lainnya. Keadaan suaminya pun berangsur-angsur membaik. Ketika keadaan suaminya itu mulai membaik, ia pada bulan Oktober 2007 dinyatakan terkena kanker rahim. Ia menjalani operasi pengangkatan kanker dan kemoterapi selama enam kali. Satu tahun kemudian, tepatnya bulan Desember 2008, kanker itu telah menyebar ke usus besar. Ia menjalani kembali operasi dan kemoterapi selama enam kali. Walaupun lelah menghadapi penyakitnya dan penyakit suaminya, ia menemukan pengalaman iman : “Penyakit yang ditanggungnya dan dialami oleh suaminya merupakan kesempatan untuk mempersembahkan kesetiaannya kepada Tuhan. Tuhan pasti akan menjawab doa orang yang percaya dan setia kepadaNya”. Sekarang mereka sudah sehat. Mereka mengungkapkan rasa syukurnya dengan rajin ke gereja, rajin mengikuti Persekutuan Doa Karismatik di Gereja St. Andreas Kim Tae Gon Kelapa Gading, rajin mendengarkan Oase Rohani Katolik di radio Cakrawala setiap pagi, dan juga mendoakan orang sakit ketika sedang berkunjung ke rumah sakit.
Aku mendapatkan teladan iman dari ibu itu. Tetap ingat Tuhan walaupun hidupku sudah hampir pada dasar jurang kematian. Ketika aku sudah tidak mempunyai apa-apa dan siapa-siapa untuk menolongku, aku harus bersyukur bahwa masih mempunyai iman. Yesus bisa dan mau menolongku. Semakin sulit kehidupan dan semakin banyak problema merupakan kesempatan untuk semakin mempersembahkan kesetiaan kepada Tuhan. Kesetiaan mendatangkan hadiah manis dari Tuhan, yaitu merasakan kebaikan-Nya : “Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu. Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat, Dia yang memuaskan hasratmu dengan kebaikan, sehingga masa mudamu menjadi baru seperti pada burung rajawali” (Mazmur 103:3-5). Jangan terpaku pada penderitaan atau persoalan pelik yang hanya akan menambah berat beban kehidupan, tetapi terpukaulah pada kebaikan Tuhan, maka pertolongan-Nya yang ajaib menjadi nyata : “Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau” (Mazmur 16:2).
Berburu Senyuman
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
“Betapa indahnya sebuah senyuman di dunia ini ?”, kataku pada diriku sendiri. Senyuman sudah menjadi barang langka di dunia yang banyak beban. Banyak orang pelit tersenyum, padahal tersenyum itu tidak mengeluarkan biaya. Sudah gratis, senyuman menyehatkan jiwa. Senyuman membuat wajah enak dipandang dan yang memandangnya pun ringan bebannya.
Di malam yang sunyi aku berburu senyuman. Pada malam itu, aku tidak mempunyai kesempatan untuk memejamkan mataku walaupun hanya sekejap. Ketika kebanyakan orang sedang menikmati mimpi malam, aku harus menyusuri Jakarta Pusat untuk memberikan Sakramen Perminyakan Suci kepada seorang pemuda lajang yang sakit keras. Dalam perjalanan pulang, seorang anggota Persekutuan Doa Karismatik menghubungi aku lewat handphoneku agar aku mengurapi dengan minyak suci kepada seorang bapak yang sedang menghadapi akhir hayatnya di sebuah rumah sakit di Serpong. Prinsipku adalah handphoneku ada agar umat bisa menghubungi aku kapan saja, khususnya untuk pelayanan orang-orang sakit. Kebahagiaan spiritual memenuhi diriku karena bisa melaksanakan tugas imamatku untuk menghadirkan Kristus kepada orang-orang sakit di tengah malam. Tidak lama kemudian kebahagiaan itu berubah menjadi kesedihan. Aku mendapatkan kabar duka cita bahwa kedua orang yang baru saja aku urapi dengan minyak suci sudah menghadap Tuhan. Senyumku tiba-tiba hilang ditelan duka. Perasaanku tenggelam dalam duka orang-orang yang baru saja ditinggalkan oleh anggota keluarganya. Aku juga mulai takut disebut “imam pencabut nyawa”.
Esok harinya seseorang menginformasikan kepadaku bahwa seorang nenek memintaku untuk mendoakannya karena keadaannya sudah gawat. Iblis ‘keraguan’ mulai menggodaku : “Jangan-jangan, nenek itu akan meninggal dunia seperti dua orang sebelumnya ketika aku mengunjunginya”. Ketika masuk ke kamarnya, aku kaget ternyata nenek itu tidak terbaring lemah dengan nafas satu dua yang keluar dari hidungnya. Nenek itu duduk di tempat tidurnya sedang mendaraskan doa rosario. Nenek itu enam bulan sebelumnya menjalani operasi jantung. Biasanya orang yang mengalami sakit seperti ini sering gelisah dan banyak keluh kesah. Nenek ini tampil beda. Ia tidak menampilkan rasa sakitnya. Ia selalu menebarkan senyuman manisnya. Setelah menerima komuni suci, senyumannya semakin menawan : “Romo, aku hari ini bahagia sekali. Tuhan datang kepadaku. Kebahagiaanku akan menambah umurku walaupun sakit jantung mengiringi hidupku”. Nenek ini sudah lama tidak mendapatkan kunjungan imam. Kunjungan imam dengan Hosti merupakan kerinduannya sebagai seorang aktivis gerejani di masanya yang sehat. Sejak itu ia selalu mengucapkan “selamat malam’ kepadaku melalui sms. Itulah yang mengharukan dan meneguhkan pelayananku. Yang teringat selalu dibenakku adalah wajahnya yang memancarkan sinar sukacita.
Aku harus tersenyum setiap saat. Tersenyum merupakan ungkapan pengharapan. Orang berpengharapan senantiasa tersenyum untuk melupakan masalahnya. Masalahnya telah dilupakannya karena yakin bahwa Tuhan akan mengangkatnya. Orang yang pessimist lupa tersenyum karena mengikatkan diri pada masalahnya. Mukanya menjadi jutek dan bibirnya manyun yang bisa membuat orang muak melihatnya. Wajah tersenyum menarik hati banyak orang seperti gula mengundang datangnya semut-semut. Senyuman akan mengubah dunia. Kebahagiaan dunia tergantung pada senyuman. Dunia bagaikan sebuah cermin dihadapan anda. Tersenyumlah dihadapannya, dan ia akan membalas senyuman anda. Tersenyum mengubah kekurangan menjadi keindahan. Senyuman membuat nasi bungkus terasa lezat. Senyuman akan melenyapkan penyakit yang menggerogoti raga : “Hati yang bergembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang” (Amsal 17:22). Tersenyumlah senantiasa, maka Tuhan Yesus yang diwartakan akan didatangi banyak orang. Tanpa senyuman, pewartaan akan sia-sia karena akan diabaikan oleh mereka. Ingatlah, tersenyum tidak merugikan, tetapi mendatangkan berkat ! Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
“Betapa indahnya sebuah senyuman di dunia ini ?”, kataku pada diriku sendiri. Senyuman sudah menjadi barang langka di dunia yang banyak beban. Banyak orang pelit tersenyum, padahal tersenyum itu tidak mengeluarkan biaya. Sudah gratis, senyuman menyehatkan jiwa. Senyuman membuat wajah enak dipandang dan yang memandangnya pun ringan bebannya.
Di malam yang sunyi aku berburu senyuman. Pada malam itu, aku tidak mempunyai kesempatan untuk memejamkan mataku walaupun hanya sekejap. Ketika kebanyakan orang sedang menikmati mimpi malam, aku harus menyusuri Jakarta Pusat untuk memberikan Sakramen Perminyakan Suci kepada seorang pemuda lajang yang sakit keras. Dalam perjalanan pulang, seorang anggota Persekutuan Doa Karismatik menghubungi aku lewat handphoneku agar aku mengurapi dengan minyak suci kepada seorang bapak yang sedang menghadapi akhir hayatnya di sebuah rumah sakit di Serpong. Prinsipku adalah handphoneku ada agar umat bisa menghubungi aku kapan saja, khususnya untuk pelayanan orang-orang sakit. Kebahagiaan spiritual memenuhi diriku karena bisa melaksanakan tugas imamatku untuk menghadirkan Kristus kepada orang-orang sakit di tengah malam. Tidak lama kemudian kebahagiaan itu berubah menjadi kesedihan. Aku mendapatkan kabar duka cita bahwa kedua orang yang baru saja aku urapi dengan minyak suci sudah menghadap Tuhan. Senyumku tiba-tiba hilang ditelan duka. Perasaanku tenggelam dalam duka orang-orang yang baru saja ditinggalkan oleh anggota keluarganya. Aku juga mulai takut disebut “imam pencabut nyawa”.
Esok harinya seseorang menginformasikan kepadaku bahwa seorang nenek memintaku untuk mendoakannya karena keadaannya sudah gawat. Iblis ‘keraguan’ mulai menggodaku : “Jangan-jangan, nenek itu akan meninggal dunia seperti dua orang sebelumnya ketika aku mengunjunginya”. Ketika masuk ke kamarnya, aku kaget ternyata nenek itu tidak terbaring lemah dengan nafas satu dua yang keluar dari hidungnya. Nenek itu duduk di tempat tidurnya sedang mendaraskan doa rosario. Nenek itu enam bulan sebelumnya menjalani operasi jantung. Biasanya orang yang mengalami sakit seperti ini sering gelisah dan banyak keluh kesah. Nenek ini tampil beda. Ia tidak menampilkan rasa sakitnya. Ia selalu menebarkan senyuman manisnya. Setelah menerima komuni suci, senyumannya semakin menawan : “Romo, aku hari ini bahagia sekali. Tuhan datang kepadaku. Kebahagiaanku akan menambah umurku walaupun sakit jantung mengiringi hidupku”. Nenek ini sudah lama tidak mendapatkan kunjungan imam. Kunjungan imam dengan Hosti merupakan kerinduannya sebagai seorang aktivis gerejani di masanya yang sehat. Sejak itu ia selalu mengucapkan “selamat malam’ kepadaku melalui sms. Itulah yang mengharukan dan meneguhkan pelayananku. Yang teringat selalu dibenakku adalah wajahnya yang memancarkan sinar sukacita.
Aku harus tersenyum setiap saat. Tersenyum merupakan ungkapan pengharapan. Orang berpengharapan senantiasa tersenyum untuk melupakan masalahnya. Masalahnya telah dilupakannya karena yakin bahwa Tuhan akan mengangkatnya. Orang yang pessimist lupa tersenyum karena mengikatkan diri pada masalahnya. Mukanya menjadi jutek dan bibirnya manyun yang bisa membuat orang muak melihatnya. Wajah tersenyum menarik hati banyak orang seperti gula mengundang datangnya semut-semut. Senyuman akan mengubah dunia. Kebahagiaan dunia tergantung pada senyuman. Dunia bagaikan sebuah cermin dihadapan anda. Tersenyumlah dihadapannya, dan ia akan membalas senyuman anda. Tersenyum mengubah kekurangan menjadi keindahan. Senyuman membuat nasi bungkus terasa lezat. Senyuman akan melenyapkan penyakit yang menggerogoti raga : “Hati yang bergembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang” (Amsal 17:22). Tersenyumlah senantiasa, maka Tuhan Yesus yang diwartakan akan didatangi banyak orang. Tanpa senyuman, pewartaan akan sia-sia karena akan diabaikan oleh mereka. Ingatlah, tersenyum tidak merugikan, tetapi mendatangkan berkat ! Tuhan memberkati.
Tertawalah
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Penyesalan bukan sekedar sebuah kata. Penyesalan merupakan kekuatan yang dapat merongrong semangat kehidupan. Pada suatu hari aku terlambat mengucapkan selamat “ulang tahun pernikahan” kepada sepasang suami istri yang sudah seperti keluargaku sendiri. Kekecewaan tampak dari raut muka mereka. Segala dalih yang aku lontarkan kepada mereka tidak memperbaiki situasi batin mereka. Bagi mereka hal itu tidak seharusnya terjadi bagi orang yang dekat. Penyesalan itu telah menguras energi. Apapun yang aku lakukan kandas pada kegagalan. Satu kalimat yang menghabiskan tenagaku : “Moment itu tak terulang kembali”.
Penyesalan terus menerus membuat hidup lari di tempat, seperti lari di atas mesin treadmill. Hidup berjalan tanpa tujuan. Prinsip hidup ini aku dapatkan pada saat memberikan pengajaran kepada komunitas PERDUKI (Persekutuan Doa Usahawan Katolik Indonesia) Chapter Pusat di Pacenongan-Jakarta Pusat. “Ilalang di antara Gandum” merupakan temanya. Wajah-wajah yang ramah menyambut umat yang datang dengan berbagai macam sisa-sisa kepahitan dan tentu juga kelimpahan berkat Tuhan.
Sepasang suami istri memintaku mengolah sharing mereka dan membagikannya kepada sebanyak mungkin umat. Sharing ini tentang bagaimana mereka melompat keluar dari kegelapan sumur penyesalan. Tuhan Allah tidak menghabisi orang jahat (ilalang), tetapi membiarkannya hidup bersama dengan orang baik (gandum) untuk memberikan kesempatan baginya agar berubah sampai pada hari penghakiman (masa penuaian). Mereka sangat bahagia pada dua tahun pertama pernikahan mereka walaupun mereka harus hidup sederhana. Perkawinan mereka disegarkan dengan lagu “Tulang Rusuk” yang mereka nyanyikan pada saat santai. Lagu “Tulang Rusuk” itu sangat mengesankan karena dinyanyikan sebelum mereka mengikrarkan janji perkawinan di depan altar. Lagu itu membuat mereka selalu merasa menjadi pengantin baru. Kebahagiaan mereka kemudian ditelan oleh setan kesombongan. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bintang istri jauh lebih bersinar daripada suaminya. Sang istri tanpa sadar, baik dengan kata-kata maupun dengan sekedar sikap, telah meremehkan suaminya. Suaminya pun merasa minder dihadapan istrinya yang mandiri. Rumah pun menjadi tempat yang membosankan. Tidak ada lagi kata cinta dan cita-cita. Sang suami kadang-kadang bertanya pada dirinya sendiri : “Jangan-jangan ia bukan tulang rusukku. Aku telah mengambil tulang rusuk yang salah”. Ia jatuh dalam perselingkuhan. Perselingkuhannya begitu rapi sehingga tidak terdeteksi oleh istrinya. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Sepandai-pandainya ia menyembunyikan penyelewengannya akhirnya terungkap dengan sendirinya. Pada suatu sore, seorang ibu datang ke rumahnya menyerahkan bayi merah dengan deraian air mata kepada istrinya : “Bayi ini adalah bayi suami ibu. Aku serahkan bayi ini kepadamu”. Ia seakan-akan disambar petir di siang bolong”. Semua kekuatannya hilang sehingga ia terkapar tak berdaya di sofa. Suaminya mengakui perbuatannya. Suaminya itu akhirnya meninggalkan keluarganya. Ia menitipkan bayi itu di sebuah biara. Mereka saling menyesali pernikahan mereka. Mereka saling menyalahkan. Penyesalan itu telah menghancurkan segala segi kehidupan mereka. Tuhan tidak tega melihat kehancuran mereka. Ia memulihkan keluarga mereka secara ajaib. Tak terduga mereka pada malam itu datang pada acara PERDUKI ini dari tempatnya masing-masing. Mereka bertemu di lift. Tanpa kata, tetapi ada dorongan dari hati untuk saling meminta maaf dan memaafkan. Rekonsiliasi terjadi di sebuah ruangan tidak lama setelah acara pujian dan penyembahan berakhir. Sang istri dengan sesenggukan berkata : “Tuhan, mampukan aku untuk menghilangkan akar kepahitan atas perbuatan suamiku sehingga aku dapat memaafkannya dan terlebih-lebih bisa menerima bayinya”. Suaminya membelai rambut istrinya dengan membisikkan sebuah kata : “Aku minta maaf karena telah melukai hatimu. Aku tidak lagi mengikuti bujukan setan Lucifer”. Mereka akhirnya sepakat untuk mengambil bayi yang dititipkan di susteran dan menjadikannya bagian dalam keluarganya.
Penyesalan itu bagaikan air yang tertumpah dari ember di mana kita tidak mungkin mengambilnya kembali. Penyesalan boleh-boleh saja, tetapi jangan keterusan. Hidup bisa berantakan karena sibuk dengan mencari-cari alasan bahwa ini bukan salah saya. Lebih baik katakan “Ya, aku salah”, maka penyesalan akan bermakna karena menjadi pijakan perubahan. Bukalah jendela kamar anda dan nikmatilah secercah cahaya pagi yang cerah. Tertawalah sejenak menyambut cahaya ilahi itu, maka hidup anda seluruh hari dibawah kendali Tuhan. Hidup di dalam tangan Tuhan menjauhkan kita berkubang dengan penyesalan. Berkubang dengan penyesalan membuat mulut bersungut-sungut dan melontarkan kemarahan : “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda….” (Filipi 2:14-15). Berkubanglah dengan cahaya Tuhan, maka hidup anda senantiasa berada di jalan yang benar. Berjalan di jalan Tuhan memberikan rasa aman seperti seorang anak kecil di pangkuan ayahnya. “MakaYesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah-tengah mereka lalu berkata : Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mateus 18:2-3). Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Penyesalan bukan sekedar sebuah kata. Penyesalan merupakan kekuatan yang dapat merongrong semangat kehidupan. Pada suatu hari aku terlambat mengucapkan selamat “ulang tahun pernikahan” kepada sepasang suami istri yang sudah seperti keluargaku sendiri. Kekecewaan tampak dari raut muka mereka. Segala dalih yang aku lontarkan kepada mereka tidak memperbaiki situasi batin mereka. Bagi mereka hal itu tidak seharusnya terjadi bagi orang yang dekat. Penyesalan itu telah menguras energi. Apapun yang aku lakukan kandas pada kegagalan. Satu kalimat yang menghabiskan tenagaku : “Moment itu tak terulang kembali”.
Penyesalan terus menerus membuat hidup lari di tempat, seperti lari di atas mesin treadmill. Hidup berjalan tanpa tujuan. Prinsip hidup ini aku dapatkan pada saat memberikan pengajaran kepada komunitas PERDUKI (Persekutuan Doa Usahawan Katolik Indonesia) Chapter Pusat di Pacenongan-Jakarta Pusat. “Ilalang di antara Gandum” merupakan temanya. Wajah-wajah yang ramah menyambut umat yang datang dengan berbagai macam sisa-sisa kepahitan dan tentu juga kelimpahan berkat Tuhan.
Sepasang suami istri memintaku mengolah sharing mereka dan membagikannya kepada sebanyak mungkin umat. Sharing ini tentang bagaimana mereka melompat keluar dari kegelapan sumur penyesalan. Tuhan Allah tidak menghabisi orang jahat (ilalang), tetapi membiarkannya hidup bersama dengan orang baik (gandum) untuk memberikan kesempatan baginya agar berubah sampai pada hari penghakiman (masa penuaian). Mereka sangat bahagia pada dua tahun pertama pernikahan mereka walaupun mereka harus hidup sederhana. Perkawinan mereka disegarkan dengan lagu “Tulang Rusuk” yang mereka nyanyikan pada saat santai. Lagu “Tulang Rusuk” itu sangat mengesankan karena dinyanyikan sebelum mereka mengikrarkan janji perkawinan di depan altar. Lagu itu membuat mereka selalu merasa menjadi pengantin baru. Kebahagiaan mereka kemudian ditelan oleh setan kesombongan. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bintang istri jauh lebih bersinar daripada suaminya. Sang istri tanpa sadar, baik dengan kata-kata maupun dengan sekedar sikap, telah meremehkan suaminya. Suaminya pun merasa minder dihadapan istrinya yang mandiri. Rumah pun menjadi tempat yang membosankan. Tidak ada lagi kata cinta dan cita-cita. Sang suami kadang-kadang bertanya pada dirinya sendiri : “Jangan-jangan ia bukan tulang rusukku. Aku telah mengambil tulang rusuk yang salah”. Ia jatuh dalam perselingkuhan. Perselingkuhannya begitu rapi sehingga tidak terdeteksi oleh istrinya. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Sepandai-pandainya ia menyembunyikan penyelewengannya akhirnya terungkap dengan sendirinya. Pada suatu sore, seorang ibu datang ke rumahnya menyerahkan bayi merah dengan deraian air mata kepada istrinya : “Bayi ini adalah bayi suami ibu. Aku serahkan bayi ini kepadamu”. Ia seakan-akan disambar petir di siang bolong”. Semua kekuatannya hilang sehingga ia terkapar tak berdaya di sofa. Suaminya mengakui perbuatannya. Suaminya itu akhirnya meninggalkan keluarganya. Ia menitipkan bayi itu di sebuah biara. Mereka saling menyesali pernikahan mereka. Mereka saling menyalahkan. Penyesalan itu telah menghancurkan segala segi kehidupan mereka. Tuhan tidak tega melihat kehancuran mereka. Ia memulihkan keluarga mereka secara ajaib. Tak terduga mereka pada malam itu datang pada acara PERDUKI ini dari tempatnya masing-masing. Mereka bertemu di lift. Tanpa kata, tetapi ada dorongan dari hati untuk saling meminta maaf dan memaafkan. Rekonsiliasi terjadi di sebuah ruangan tidak lama setelah acara pujian dan penyembahan berakhir. Sang istri dengan sesenggukan berkata : “Tuhan, mampukan aku untuk menghilangkan akar kepahitan atas perbuatan suamiku sehingga aku dapat memaafkannya dan terlebih-lebih bisa menerima bayinya”. Suaminya membelai rambut istrinya dengan membisikkan sebuah kata : “Aku minta maaf karena telah melukai hatimu. Aku tidak lagi mengikuti bujukan setan Lucifer”. Mereka akhirnya sepakat untuk mengambil bayi yang dititipkan di susteran dan menjadikannya bagian dalam keluarganya.
Penyesalan itu bagaikan air yang tertumpah dari ember di mana kita tidak mungkin mengambilnya kembali. Penyesalan boleh-boleh saja, tetapi jangan keterusan. Hidup bisa berantakan karena sibuk dengan mencari-cari alasan bahwa ini bukan salah saya. Lebih baik katakan “Ya, aku salah”, maka penyesalan akan bermakna karena menjadi pijakan perubahan. Bukalah jendela kamar anda dan nikmatilah secercah cahaya pagi yang cerah. Tertawalah sejenak menyambut cahaya ilahi itu, maka hidup anda seluruh hari dibawah kendali Tuhan. Hidup di dalam tangan Tuhan menjauhkan kita berkubang dengan penyesalan. Berkubang dengan penyesalan membuat mulut bersungut-sungut dan melontarkan kemarahan : “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda….” (Filipi 2:14-15). Berkubanglah dengan cahaya Tuhan, maka hidup anda senantiasa berada di jalan yang benar. Berjalan di jalan Tuhan memberikan rasa aman seperti seorang anak kecil di pangkuan ayahnya. “MakaYesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah-tengah mereka lalu berkata : Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mateus 18:2-3). Tuhan memberkati.
Taburkan Kasih
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
“Camkan ini : Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Kor 9:6) sangat menyentuh permenunganku hari itu. Keinginan untuk menabur kasih tiba-tiba menggelora di dada. Aku meyakini pelayanan sebagai anugerah Tuhan yang menarik untuk dijalankan. Kemacetan jalan Serpong tidak membuatku stress. Suasana Misa untuk karyawan di sebuah kantor terasa nyaman. Doa disyukurinya sebagai sentuhan kasih Tuhan yang meringankan jiwa ditengah pejiarahan kehidupan yang berat. Aku memuji mereka : “Hari ini kalian memancarkan aura sukacita yang luar biasa sehingga Misa terasa indah”. Jawaban salah satu dari peserta: “Karena di mana kasihmu berada, di situ juga hatimu berada”.
Menaburkan kasih dari hati membangun kehidupan menjadi indah dalam segala hal. Dalam perjalanan pulang dari Katedral Jakarta, pukul 22.00 aku mendapatkan telefon untuk memberikan sakramen perminyakan suci kepada seorang bapak yang kondisinya sudah gawat di Rumah Sakit di Slipi. Ia menderita kanker hati. Aku memperkenalkan diri sebagai pastornya. “Pastor Katolik atau Pastor Protestan ?”, tanyanya. Tanpa segan-segan ia mengatakan sudah puluhan tahun tidak pergi ke gereja. “Walaupun tidak ke gereja, yang penting hatiku baik”, katanya. Aku memandang matanya, tanpa mengadilinya. Aku sentuh dahinya agar ia bisa mengalami kasih ilahi. Ia memejamkan matanya menikmati kelegaan.
Ia kemudian mensharingkan alasan mengapa ia sudah lama tidak beribadah di gereja. Semuanya bersumber pada kekecewaan. Seluruh perjalanan hidupnya dipenuhi dengan kekecewaan. Ia lahir dari keluarga katolik. Ia menerima pembaptisan sejak bayi. Ketika ia masih kanak-kanak, keluarganya sangat saleh. Mereka sangat aktif dalam kegiatan paroki. Kebahagiaan itu lenyap seketika seperti terbawa angin puting beliung ketika ia duduk di kelas enam Sekolah Dasar. Orangtuanya bercerai dan masing-masing telah menikah dengan pasangannya yang baru. Ia diasuh oleh kakek dan neneknya yang renta. Tidak mempunyai orangtua sungguh menyakitkan hatinya. Ia tidak tahu ke mana harus mengadu dan berlindung ketika persoalan datang. Sebutan “anak tukang kawin” sudah dimateraikan kepada dirinya. Orangtuanya tidak pernah mengambilkan raport kenaikan kelas, tetapi diwakili oleh tetangganya. Gereja yang diharapkan melindunginya, dianggapnya telah menyingkirkannya juga. Ia menjadi anggota misdinar (Putera Altar), tetapi tidak pernah mendapatkan tugas. Ia malu untuk menanyakannya kepada pembimbingnya. Ia berkali-kali gagal berpacaran. Semua pacarnya meninggalkannya bukan karena kesalahan, tetapi mereka takut bahwa sifat orangtuanya akan menurun kepadanya. Ia akhirnya menikah dengan seorang wanita yang mau menerima dirinya apa adanya, tetapi Tuhan tidak mengaruniai mereka anak. Ia menjadi manusia yang sangat minder. Ia berusaha menghindari pertemuan dengan siapa saja karena takut diketahui latar belakang keberadaannya. Kekecewaan yang tersimpan lama mungkin telah menyebabkan kanker hati. Satu-satunya yang membuatnya berarti adalah panti asuhan di mana ia menjadi salah satu pengurusnya. Setiap Sabtu sore ia mengunjungi anak-anak tersebut. Kemanjaan anak-anak tanpa orangtuanya itu membuat ia merasa dibutuhkan. Kehausan anak-anak akan kasih membuatnya ingin hidup lama. Setelah terjadi keheningan sejenak, ia memegang tanganku : “Romo, aku akan menemui engkau ketika aku keluar dari Rumah Sakit ini. Aku telah kembali ke gereja”. Setitik kasih sangat berarti baginya yang sejak lama tidak mengalaminya.
Setitik kasih yang ditaburkan dengan iman akan mengubah segalanya. Setitik kasih yang ditaburkan akan tertanam di hati sesama dan pada waktunya akan menghasilkan sesuatu yang jauh lebih indah daripada yang ditaburkan. Tuhan akan terus menaburkan kasih-Nya kepada umat yang mau memberikan kasih yang ada padanya. Semakin banyak kasih ditaburkan, semakin kasih itu melimpah di dalam dirinya agar kasih-Nya semakin mengalir lagi ke banyak tangan-tangan manusia : “….Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2 Kor 9:8). Taburkan kasih pada setiap kesempatan, maka hidup anda akan bermakna karena membawa jiwa dapat merasakan Tuhan. Jadilah saksi akan ‘kasih’ dengan tetap sederhana di tengah kelimpahan dan tidak bermental meminta-minta ditengah kekurangan, maka hidup anda akan bahagia karena tidak diperbudak oleh iblis bloon ‘keserakahan’. Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
“Camkan ini : Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Kor 9:6) sangat menyentuh permenunganku hari itu. Keinginan untuk menabur kasih tiba-tiba menggelora di dada. Aku meyakini pelayanan sebagai anugerah Tuhan yang menarik untuk dijalankan. Kemacetan jalan Serpong tidak membuatku stress. Suasana Misa untuk karyawan di sebuah kantor terasa nyaman. Doa disyukurinya sebagai sentuhan kasih Tuhan yang meringankan jiwa ditengah pejiarahan kehidupan yang berat. Aku memuji mereka : “Hari ini kalian memancarkan aura sukacita yang luar biasa sehingga Misa terasa indah”. Jawaban salah satu dari peserta: “Karena di mana kasihmu berada, di situ juga hatimu berada”.
Menaburkan kasih dari hati membangun kehidupan menjadi indah dalam segala hal. Dalam perjalanan pulang dari Katedral Jakarta, pukul 22.00 aku mendapatkan telefon untuk memberikan sakramen perminyakan suci kepada seorang bapak yang kondisinya sudah gawat di Rumah Sakit di Slipi. Ia menderita kanker hati. Aku memperkenalkan diri sebagai pastornya. “Pastor Katolik atau Pastor Protestan ?”, tanyanya. Tanpa segan-segan ia mengatakan sudah puluhan tahun tidak pergi ke gereja. “Walaupun tidak ke gereja, yang penting hatiku baik”, katanya. Aku memandang matanya, tanpa mengadilinya. Aku sentuh dahinya agar ia bisa mengalami kasih ilahi. Ia memejamkan matanya menikmati kelegaan.
Ia kemudian mensharingkan alasan mengapa ia sudah lama tidak beribadah di gereja. Semuanya bersumber pada kekecewaan. Seluruh perjalanan hidupnya dipenuhi dengan kekecewaan. Ia lahir dari keluarga katolik. Ia menerima pembaptisan sejak bayi. Ketika ia masih kanak-kanak, keluarganya sangat saleh. Mereka sangat aktif dalam kegiatan paroki. Kebahagiaan itu lenyap seketika seperti terbawa angin puting beliung ketika ia duduk di kelas enam Sekolah Dasar. Orangtuanya bercerai dan masing-masing telah menikah dengan pasangannya yang baru. Ia diasuh oleh kakek dan neneknya yang renta. Tidak mempunyai orangtua sungguh menyakitkan hatinya. Ia tidak tahu ke mana harus mengadu dan berlindung ketika persoalan datang. Sebutan “anak tukang kawin” sudah dimateraikan kepada dirinya. Orangtuanya tidak pernah mengambilkan raport kenaikan kelas, tetapi diwakili oleh tetangganya. Gereja yang diharapkan melindunginya, dianggapnya telah menyingkirkannya juga. Ia menjadi anggota misdinar (Putera Altar), tetapi tidak pernah mendapatkan tugas. Ia malu untuk menanyakannya kepada pembimbingnya. Ia berkali-kali gagal berpacaran. Semua pacarnya meninggalkannya bukan karena kesalahan, tetapi mereka takut bahwa sifat orangtuanya akan menurun kepadanya. Ia akhirnya menikah dengan seorang wanita yang mau menerima dirinya apa adanya, tetapi Tuhan tidak mengaruniai mereka anak. Ia menjadi manusia yang sangat minder. Ia berusaha menghindari pertemuan dengan siapa saja karena takut diketahui latar belakang keberadaannya. Kekecewaan yang tersimpan lama mungkin telah menyebabkan kanker hati. Satu-satunya yang membuatnya berarti adalah panti asuhan di mana ia menjadi salah satu pengurusnya. Setiap Sabtu sore ia mengunjungi anak-anak tersebut. Kemanjaan anak-anak tanpa orangtuanya itu membuat ia merasa dibutuhkan. Kehausan anak-anak akan kasih membuatnya ingin hidup lama. Setelah terjadi keheningan sejenak, ia memegang tanganku : “Romo, aku akan menemui engkau ketika aku keluar dari Rumah Sakit ini. Aku telah kembali ke gereja”. Setitik kasih sangat berarti baginya yang sejak lama tidak mengalaminya.
Setitik kasih yang ditaburkan dengan iman akan mengubah segalanya. Setitik kasih yang ditaburkan akan tertanam di hati sesama dan pada waktunya akan menghasilkan sesuatu yang jauh lebih indah daripada yang ditaburkan. Tuhan akan terus menaburkan kasih-Nya kepada umat yang mau memberikan kasih yang ada padanya. Semakin banyak kasih ditaburkan, semakin kasih itu melimpah di dalam dirinya agar kasih-Nya semakin mengalir lagi ke banyak tangan-tangan manusia : “….Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2 Kor 9:8). Taburkan kasih pada setiap kesempatan, maka hidup anda akan bermakna karena membawa jiwa dapat merasakan Tuhan. Jadilah saksi akan ‘kasih’ dengan tetap sederhana di tengah kelimpahan dan tidak bermental meminta-minta ditengah kekurangan, maka hidup anda akan bahagia karena tidak diperbudak oleh iblis bloon ‘keserakahan’. Tuhan memberkati.
Api Cintaku
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Hari Rabu pagi aku bergegas menuju rumah duka untuk merayakan Misa pelepasan jenasah. Seorang ibu dengan tangan dan kakinya yang lumpuh sebelah akibat serangan “stroke” berjalan tertatih-tatih menyambut kedatanganku. Aku tidak mengenalnya sebelumnya. Ia mencium tanganku dengan deraian air mata : “Cintaku telah pergi ke surga”. Ternyata ia belum katolik. Kenangan atas cinta suaminya tertanam kuat dalam sanubarinya sehingga tak terlukiskan dalam rangkaian kata.
Cinta mereka mulai berpadu pada acara ospek di SMA dahulu. Hati suaminya itu tertambat padanya karena tertarik dengan matanya yang sendu. Matanya yang sendu memancarkan hatinya yang teduh. Ia sudah berkali-kali ingin mengungkapkan isi hatinya kepadanya, tetapi gagal karena takut ditolak. Pada suatu pagi, ia memberanikan diri memasukkan surat cintanya yang berwarna merah muda di tasnya ketika ia sedang asyik bermain bola voli dalam pelajaran olah raga. Hari-hari penantian terasa lama dan jantungnya berdebar dengan kerasnya. Tak terduga cintanya diterimanya ketika mereka berjumpa di kantin sekolah. Ia melontarkan cita-cita yang indah dalam keluarga yang bahagia yang dapat membuat jiwa melayang ketika mendengarnya.
Mereka menikah dan dikaruniai empat putera. Keluarga mereka merupakan keluarga yang bahagia. Sang istri selalu berada di rumah ketika sang suami pulang. Ia mengatakan bahwa ia ada untuk suaminya. Suaminya pun berusaha pulang tepat pada waktunya agar bersama-sama dengan istri dan anak-anaknya. Setiap saat mereka saling merindukan. Saling merindukan membuat cinta mereka selalu terasa segar.
Pada suatu siang, ia merasakan kepalanya pusing ketika sedang memasak “makanan spesial” untuk suaminya yang merayakan ulang tahun yang kelima puluh. Ia jatuh di lantai karena serangan tekanan darah tinggi. Separoh badannya lumpuh. Suaminya tetap setia kepadanya. Habis pulang kerja, ia selalu menyisir rambut istrinya. Istrinya suatu hari bertanya kepadanya : “Pa, mengapa engkau selalu menyisir rambutku ?” Suaminya menjawab : “Aku selalu menyisir rambut mama agar mama tetap merasa cantik sehingga tetap percaya diri”.
Pada suatu hari, tanpa tanda-tanda sebelumnya, sang suami itu meninggal dunia di kamarnya ketika baru pulang dari kantor sambil memegang martabak kesukaan istrinya yang baru saja dibelinya untuknya. Banyak orang tidak mengira bahwa sang suami yang sehat itu meninggal dunia lebih dahulu daripada istrinya yang sakit. Suaminya meninggal dunia sebagai seorang Katolik karena ia menerima pembaptisan pada Malam Paskah (lima bulan sebelumnya). Ketika upacara kremasi akan dimulai, ia mencium peti jenasah suaminya sambil berkata : “Api yang akan digunakan untuk mengkremasikan suamiku melambangkan api cintaku yang menjiwai hidup kekalnya. Selama jalan pa !”.
Tuhan menganugerahkan diri-Nya dalam wujud “cinta”. Kobaran api cinta sangat dahsyat sehingga jarang ada hati yang mampu mengelak darinya. Nyala api cinta bisa membuat manusia bertindak dengan penuh resiko di luar akal manusia. Seorang Samaria yang mau turun dari kudanya untuk menolong seorang manusia yang membutuhkan uluran tangannya walaupun kemungkinan bahaya ada di depan matanya merupakan contohnya. Nyala api cinta tidak akan padam asalkan senantiasa diminyaki dengan kerinduan akan pengabdian. Terimalah cinta sebagai anugerah Tuhan dan bagikan nyalanya sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pemberinya. Api cinta membuat hidup bahagia karena menghanguskan kecemburuan, kebencian, dan kemarahan. Tuhan pun menantikan hati yang penuh cinta untuk menikmati kehangatan kepak cinta-Nya : “Dengan kepak-Nya Ia akan menudungi engkau, di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung” (Mazmur 91:4).
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Hari Rabu pagi aku bergegas menuju rumah duka untuk merayakan Misa pelepasan jenasah. Seorang ibu dengan tangan dan kakinya yang lumpuh sebelah akibat serangan “stroke” berjalan tertatih-tatih menyambut kedatanganku. Aku tidak mengenalnya sebelumnya. Ia mencium tanganku dengan deraian air mata : “Cintaku telah pergi ke surga”. Ternyata ia belum katolik. Kenangan atas cinta suaminya tertanam kuat dalam sanubarinya sehingga tak terlukiskan dalam rangkaian kata.
Cinta mereka mulai berpadu pada acara ospek di SMA dahulu. Hati suaminya itu tertambat padanya karena tertarik dengan matanya yang sendu. Matanya yang sendu memancarkan hatinya yang teduh. Ia sudah berkali-kali ingin mengungkapkan isi hatinya kepadanya, tetapi gagal karena takut ditolak. Pada suatu pagi, ia memberanikan diri memasukkan surat cintanya yang berwarna merah muda di tasnya ketika ia sedang asyik bermain bola voli dalam pelajaran olah raga. Hari-hari penantian terasa lama dan jantungnya berdebar dengan kerasnya. Tak terduga cintanya diterimanya ketika mereka berjumpa di kantin sekolah. Ia melontarkan cita-cita yang indah dalam keluarga yang bahagia yang dapat membuat jiwa melayang ketika mendengarnya.
Mereka menikah dan dikaruniai empat putera. Keluarga mereka merupakan keluarga yang bahagia. Sang istri selalu berada di rumah ketika sang suami pulang. Ia mengatakan bahwa ia ada untuk suaminya. Suaminya pun berusaha pulang tepat pada waktunya agar bersama-sama dengan istri dan anak-anaknya. Setiap saat mereka saling merindukan. Saling merindukan membuat cinta mereka selalu terasa segar.
Pada suatu siang, ia merasakan kepalanya pusing ketika sedang memasak “makanan spesial” untuk suaminya yang merayakan ulang tahun yang kelima puluh. Ia jatuh di lantai karena serangan tekanan darah tinggi. Separoh badannya lumpuh. Suaminya tetap setia kepadanya. Habis pulang kerja, ia selalu menyisir rambut istrinya. Istrinya suatu hari bertanya kepadanya : “Pa, mengapa engkau selalu menyisir rambutku ?” Suaminya menjawab : “Aku selalu menyisir rambut mama agar mama tetap merasa cantik sehingga tetap percaya diri”.
Pada suatu hari, tanpa tanda-tanda sebelumnya, sang suami itu meninggal dunia di kamarnya ketika baru pulang dari kantor sambil memegang martabak kesukaan istrinya yang baru saja dibelinya untuknya. Banyak orang tidak mengira bahwa sang suami yang sehat itu meninggal dunia lebih dahulu daripada istrinya yang sakit. Suaminya meninggal dunia sebagai seorang Katolik karena ia menerima pembaptisan pada Malam Paskah (lima bulan sebelumnya). Ketika upacara kremasi akan dimulai, ia mencium peti jenasah suaminya sambil berkata : “Api yang akan digunakan untuk mengkremasikan suamiku melambangkan api cintaku yang menjiwai hidup kekalnya. Selama jalan pa !”.
Tuhan menganugerahkan diri-Nya dalam wujud “cinta”. Kobaran api cinta sangat dahsyat sehingga jarang ada hati yang mampu mengelak darinya. Nyala api cinta bisa membuat manusia bertindak dengan penuh resiko di luar akal manusia. Seorang Samaria yang mau turun dari kudanya untuk menolong seorang manusia yang membutuhkan uluran tangannya walaupun kemungkinan bahaya ada di depan matanya merupakan contohnya. Nyala api cinta tidak akan padam asalkan senantiasa diminyaki dengan kerinduan akan pengabdian. Terimalah cinta sebagai anugerah Tuhan dan bagikan nyalanya sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pemberinya. Api cinta membuat hidup bahagia karena menghanguskan kecemburuan, kebencian, dan kemarahan. Tuhan pun menantikan hati yang penuh cinta untuk menikmati kehangatan kepak cinta-Nya : “Dengan kepak-Nya Ia akan menudungi engkau, di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung” (Mazmur 91:4).
Kisah Cintaku
Sharing Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Pujian dan penyembahan malam itu mengalirkan romatika cinta Tuhan. Setelah acara pujian dan penyembahan, seorang bapak memintaku singgah ke rumahnya. Ia pulang lebih dahulu untuk mempersiapkan segalanya. Aku menikmati tingkah lakunya ketika aku sampai di rumahnya. Ia menyanyikan lagu “Kisah Cintaku” yang dinyanyikan oleh Chrisye dengan penuh penghayatan sambil memandang foto dirinya bersama istrinya. Ia mengenang masa lalunya yang indah bersama dengan istrinya. Istrinya merupakan anugerah Tuhan yang terindah dalam hidupnya. Mereka selalu bersama-sama sejak Sekolah Dasar karena orangtua mereka sangat akrab dan rumah mereka berdekatan. Kedekatan mereka menumbuhkan cinta di hati mereka ketika mereka duduk di bangku SMA. Mereka mengagungkan “kesetiaan dan pengorbanan. Mereka berikrar bahwa cinta mereka ini merupakan cinta yang pertama dan yang terakhir. Cinta mereka tidak akan pernah purna, bahkan oleh Alam baka. Cinta mereka diukirkan dalam sebuah pernikahan gereja yang sangat mengesankan. Mereka dikaruniai tiga putera sebagai hadiah dari Tuhan pada perkawinan mereka. Tanpa diduga sebelumnya, sang istri pada usia empat puluh tahun mengalami gagal ginjal. Ia sudah dibawa ke China berkali-kali selama dua tahun dalam usaha transplantasi ginjal. Namun, tidak ada satu ginjalpun yang cocok dengan dirinya. Sang suami tidak menyerah untuk mencarikan donor ginjal bagi istrinya karena ia yakin bahwa pada waktunya Tuhan akan menurunkan kemurahan-Nya asalkan ia tetap tekun berdoa. Doanya sangat sederhana, tetapi mendalam : “Tuhan, aku percaya kepadaMu”. Tuhan sungguh menepati janjinya. Pada suatu siang, staff rumah sakit di China mengabarkan bahwa ginjal telah tersedia bagi istrinya dan ia harus segera datang. Hatinya penuh dengan kegembiraan. Ia menyampaikan kabar sukacita ini kepada istrinya yang terbaring lemah di kamarnya. Istrinya menatapnya dengan sinar mata yang teduh. Pelan-pelan ia menutupkan kelopak matanya selama-lamanya. Istrinya itu ternyata menulis sebuah pesan dengan huruf-huruf yang indah di buku hariannya : “Hon, cinta dan pengorbananmu mengiringi langkahku pulang ke Rumah Bapa. Ketika donor ginjal telah tersedia, berikanlah kepada orang yang sangat membutuhkannya, khususnya yang anak-anaknya masih memerlukan pendampingannya. Aku tetap hidup di dalam dirinya”. Kisah cinta anak Tuhan yang mengharukan. Tanpa ada komando, kami menyanyikan syair-syair lagu “Kisah Cintaku” yang diiringin dengan deraian air mata sebagai penutup sharing makna cinta pada malam itu :
Di malam yang sesunyi ini
Aku sendiri tiada yang menemani
Akhirnya kini kusadari
Dia telah pergi tinggalkan diriku
Adakah semua 'kan terulang
kisah cintaku yang seperti dulu
Hanya dirimu yang kucinta dan kukenang di dalam hatiku
Takkan pernah hilang bayangan dirimu untuk selamanya
Mengapa terjadi kepada diriku
Aku tak percaya kau telah tiada
Haruskah kupergi tinggalkan dunia
Agar aku dapat berjumpa dengan mu
“Terimakasih Tuhan, Engkau telah menunjukkan kepadaku adanya cinta adikodrati dalam diri dua manusia”, doaku kepadaNya. Cinta adikodrati mampu menyegarkan cinta yang telah layu akibat pengkhianatan, penindasan, dan penganiayaan. Tuhan telah mematrikan nafas cinta-Nya ke dalam hati setiap insan. Cinta adalah perasaan yang bernyawa. Ia ingin dicari. Ia ingin dirindukan. Ia ingin dipertahankan. Ia ingin dihidupi. Ia tidak mau dipermainkan. Cinta akan memancarkan keindahan jika tidak diterlantarkan. Keindahan cinta tidak akan pernah sirna di tengah kehidupan fana di dunia yang sementara : “Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir, bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap” (1 Kor 13:8). Kekekalan cinta menggambarkan keabadian Tuhan, Sang Sumber Cinta. Jangan pernah bangga menjadi manusia seadanya, tetapi jadilah manusia yang mulia. Kucinya : jangan biarkan cinta merana, terbengkalai di tengah keegoisan. Keindahan cinta akan membuat kehidupan tak akan berakhir pada wadas kematian. Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Pujian dan penyembahan malam itu mengalirkan romatika cinta Tuhan. Setelah acara pujian dan penyembahan, seorang bapak memintaku singgah ke rumahnya. Ia pulang lebih dahulu untuk mempersiapkan segalanya. Aku menikmati tingkah lakunya ketika aku sampai di rumahnya. Ia menyanyikan lagu “Kisah Cintaku” yang dinyanyikan oleh Chrisye dengan penuh penghayatan sambil memandang foto dirinya bersama istrinya. Ia mengenang masa lalunya yang indah bersama dengan istrinya. Istrinya merupakan anugerah Tuhan yang terindah dalam hidupnya. Mereka selalu bersama-sama sejak Sekolah Dasar karena orangtua mereka sangat akrab dan rumah mereka berdekatan. Kedekatan mereka menumbuhkan cinta di hati mereka ketika mereka duduk di bangku SMA. Mereka mengagungkan “kesetiaan dan pengorbanan. Mereka berikrar bahwa cinta mereka ini merupakan cinta yang pertama dan yang terakhir. Cinta mereka tidak akan pernah purna, bahkan oleh Alam baka. Cinta mereka diukirkan dalam sebuah pernikahan gereja yang sangat mengesankan. Mereka dikaruniai tiga putera sebagai hadiah dari Tuhan pada perkawinan mereka. Tanpa diduga sebelumnya, sang istri pada usia empat puluh tahun mengalami gagal ginjal. Ia sudah dibawa ke China berkali-kali selama dua tahun dalam usaha transplantasi ginjal. Namun, tidak ada satu ginjalpun yang cocok dengan dirinya. Sang suami tidak menyerah untuk mencarikan donor ginjal bagi istrinya karena ia yakin bahwa pada waktunya Tuhan akan menurunkan kemurahan-Nya asalkan ia tetap tekun berdoa. Doanya sangat sederhana, tetapi mendalam : “Tuhan, aku percaya kepadaMu”. Tuhan sungguh menepati janjinya. Pada suatu siang, staff rumah sakit di China mengabarkan bahwa ginjal telah tersedia bagi istrinya dan ia harus segera datang. Hatinya penuh dengan kegembiraan. Ia menyampaikan kabar sukacita ini kepada istrinya yang terbaring lemah di kamarnya. Istrinya menatapnya dengan sinar mata yang teduh. Pelan-pelan ia menutupkan kelopak matanya selama-lamanya. Istrinya itu ternyata menulis sebuah pesan dengan huruf-huruf yang indah di buku hariannya : “Hon, cinta dan pengorbananmu mengiringi langkahku pulang ke Rumah Bapa. Ketika donor ginjal telah tersedia, berikanlah kepada orang yang sangat membutuhkannya, khususnya yang anak-anaknya masih memerlukan pendampingannya. Aku tetap hidup di dalam dirinya”. Kisah cinta anak Tuhan yang mengharukan. Tanpa ada komando, kami menyanyikan syair-syair lagu “Kisah Cintaku” yang diiringin dengan deraian air mata sebagai penutup sharing makna cinta pada malam itu :
Di malam yang sesunyi ini
Aku sendiri tiada yang menemani
Akhirnya kini kusadari
Dia telah pergi tinggalkan diriku
Adakah semua 'kan terulang
kisah cintaku yang seperti dulu
Hanya dirimu yang kucinta dan kukenang di dalam hatiku
Takkan pernah hilang bayangan dirimu untuk selamanya
Mengapa terjadi kepada diriku
Aku tak percaya kau telah tiada
Haruskah kupergi tinggalkan dunia
Agar aku dapat berjumpa dengan mu
“Terimakasih Tuhan, Engkau telah menunjukkan kepadaku adanya cinta adikodrati dalam diri dua manusia”, doaku kepadaNya. Cinta adikodrati mampu menyegarkan cinta yang telah layu akibat pengkhianatan, penindasan, dan penganiayaan. Tuhan telah mematrikan nafas cinta-Nya ke dalam hati setiap insan. Cinta adalah perasaan yang bernyawa. Ia ingin dicari. Ia ingin dirindukan. Ia ingin dipertahankan. Ia ingin dihidupi. Ia tidak mau dipermainkan. Cinta akan memancarkan keindahan jika tidak diterlantarkan. Keindahan cinta tidak akan pernah sirna di tengah kehidupan fana di dunia yang sementara : “Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir, bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap” (1 Kor 13:8). Kekekalan cinta menggambarkan keabadian Tuhan, Sang Sumber Cinta. Jangan pernah bangga menjadi manusia seadanya, tetapi jadilah manusia yang mulia. Kucinya : jangan biarkan cinta merana, terbengkalai di tengah keegoisan. Keindahan cinta akan membuat kehidupan tak akan berakhir pada wadas kematian. Tuhan memberkati.
Luar Biasa
Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.
Sore itu aku menyetir mobil sendirian menuju sebuah rumah panggung yang telah tua usianya. Rumah panggung ini merupakan rumah kas orang Chinese Benteng pada jaman dahulu. Di depan rumah itu terdapat beberapa pohon mangga yang tinggi dan besar, tetapi rimbun yang menandakannya sudah berumur ratusan tahun. Rumah itu terletak di tanah luas yang ditumbuhi banyak pohon-pohon liar. Ada suasana mistik yang membuat bulu kuduk berdiri bagi orang yang baru pertama kali mendatanginya.
Rumah itu sepi sekali. Aku ketok pintunya berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Aku kelilingi rumah itu sambil mengucapkan “Shalloom”. Hatiku riang sekali melihat sebuah jendela rumah itu terbuka. Aku melihat dari jendela itu seorang ibu yang kelihatan sudah tua walaupun baru berumur lima puluh lima tahun. Ia pernah bertemu denganku pada Misa pagi. Dengan kaca mata “plus” produksi lama, ia asyik sekali menjahit sebuah baju dengan mesin jahit yang sudah tua. Ia menjahit sambil menyanyikan lagu rohani “Ku Tak Dapat Jalan Sendiri” dan sekali-kali membuka Kitab Suci. Menyanyikan lagu-lagu rohani dan membaca Kitab Suci merupakan doanya untuk meminta berkat dari Tuhan. Berkat Tuhan mengalir baginya melalui mesin jahit tuanya. Mesin jahit itu menopang kehidupan keluarganya. Mesin jahit itu telah menghidupi dan menyekolahkan putera satu-satunya sampai lulus akademi pariwisata. Puteranya itu lahir ketika ia berusia tiga puluh tahun. Suaminya itu menderita sakit jiwa, tidak lama setelah kelahiran puteranya. Orangtuanya membawanya pulang ke rumahnya sampai sekarang agar mendapatkan ketenangan. Di dalam kesederhanaannya, ia pantang meminta-minta atau meminjam uang ke mana-mana untuk memenuhi kebutuhannya. “Romo, aku tidak akan pernah meminta-minta karena aku tidak pernah merasa kekurangan. Meminta-minta kepada manusia akan menghambat berkat Tuhan. Hanya kepada Tuhan aku memohon apa yang aku butuhkan karena Dialah gudang berkat bagi anak-anak-Nya”, katanya dengan hati yang mantap. Tuhan memang luar biasa. Walaupun sekarang ini tukang jahit kurang laku, banyak karyawan meminta tolong kepadanya untuk memperbaiki kancing baju atau kancing celana yang rusak.
Hatinya sekarang sedang galau karena puteranya itu akan menikah dengan seorang gadis dari keluarga yang sangat kaya. Ia akan tinggal bersama mertuanya di tempat yang berbeda. Perasaan minder, perasaan kehilangan, dan perasaan takut kesepian bercampur aduk menjadi satu. Satu-satunya yang dapat melegakan hatinya adalah mengiringi pernikahan anaknya dengan doa. Setelah ibadat singkat bagi anak dan calon menantunya, ia menyampaikan ungkapan hatinya : “Segala sesuatu di dunia ini akan sirna, hanya Tuhanlah yang kekal. Hidup di dunia ini hanya sementara. Aku yakin surga yang aku cita-citakan sudah di depan mata. Kunciku untuk masuk Rumah Bapa adalah mesin jahit tua. Melalui mesin jahit tua ini, aku telah memuji Tuhan dan mengabdi sesama. Tuhan telah mengubah mesin jahitku yang sederhana menjadi luar biasa”. Tuhan telah memulihkan kepercayaan dirinya.
Perjumpaanku dengan ibu yang luar biasa itu telah membawaku masuk ke wilayah iman. Tuhan telah melakukan banyak hal yang luar biasa. Yang biasa akan diubah menjadi luar biasa oleh Tuhan. Tuhan menciptakan aku bukan hanya untuk menjadi manusia tipe standard, biasa-biasa saja, tetapi menjadi manusia yang luar biasa. Luar biasa bukan untuk kemuliaan diri, tetapi untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Tuhan telah memperlengkapi aku dengan apa yang aku butuhkan untuk menjadi manusia yang luar biasa. Cinta akan Tuhan dan sesama merupakan kunci untuk membuka perlengkapan-pelengkapan yang ada. Karena itu, hinaan dan kegagalan tidak akan membuatku minder atau terkapar karena Tuhan menyertaiku untuk menjadi manusia yang luar biasa : “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu; janganlah kecut dan tawar hati, sebab Tuhan, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi” (Yosua 1:9). Pesan spiritual : Jangan puas menjadi istri biasa-biasa, menjadi suami biasa-biasa, orangtua biasa-biasa, anak biasa-biasa, umat katolik biasa-biasa, pastor biasa-biasa, tetapi jadilah istri yang luar biasa, suami yang luar biasa, anak yang luar biasa, umat katolik yang luar biasa, pastor yang luar biasa. Intinya : Jangan puas menjadi manusia biasa, tetapi jadilah manusia yang luar biasa untuk memancarkan Tuhan yang luar biasa. Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.
Sore itu aku menyetir mobil sendirian menuju sebuah rumah panggung yang telah tua usianya. Rumah panggung ini merupakan rumah kas orang Chinese Benteng pada jaman dahulu. Di depan rumah itu terdapat beberapa pohon mangga yang tinggi dan besar, tetapi rimbun yang menandakannya sudah berumur ratusan tahun. Rumah itu terletak di tanah luas yang ditumbuhi banyak pohon-pohon liar. Ada suasana mistik yang membuat bulu kuduk berdiri bagi orang yang baru pertama kali mendatanginya.
Rumah itu sepi sekali. Aku ketok pintunya berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Aku kelilingi rumah itu sambil mengucapkan “Shalloom”. Hatiku riang sekali melihat sebuah jendela rumah itu terbuka. Aku melihat dari jendela itu seorang ibu yang kelihatan sudah tua walaupun baru berumur lima puluh lima tahun. Ia pernah bertemu denganku pada Misa pagi. Dengan kaca mata “plus” produksi lama, ia asyik sekali menjahit sebuah baju dengan mesin jahit yang sudah tua. Ia menjahit sambil menyanyikan lagu rohani “Ku Tak Dapat Jalan Sendiri” dan sekali-kali membuka Kitab Suci. Menyanyikan lagu-lagu rohani dan membaca Kitab Suci merupakan doanya untuk meminta berkat dari Tuhan. Berkat Tuhan mengalir baginya melalui mesin jahit tuanya. Mesin jahit itu menopang kehidupan keluarganya. Mesin jahit itu telah menghidupi dan menyekolahkan putera satu-satunya sampai lulus akademi pariwisata. Puteranya itu lahir ketika ia berusia tiga puluh tahun. Suaminya itu menderita sakit jiwa, tidak lama setelah kelahiran puteranya. Orangtuanya membawanya pulang ke rumahnya sampai sekarang agar mendapatkan ketenangan. Di dalam kesederhanaannya, ia pantang meminta-minta atau meminjam uang ke mana-mana untuk memenuhi kebutuhannya. “Romo, aku tidak akan pernah meminta-minta karena aku tidak pernah merasa kekurangan. Meminta-minta kepada manusia akan menghambat berkat Tuhan. Hanya kepada Tuhan aku memohon apa yang aku butuhkan karena Dialah gudang berkat bagi anak-anak-Nya”, katanya dengan hati yang mantap. Tuhan memang luar biasa. Walaupun sekarang ini tukang jahit kurang laku, banyak karyawan meminta tolong kepadanya untuk memperbaiki kancing baju atau kancing celana yang rusak.
Hatinya sekarang sedang galau karena puteranya itu akan menikah dengan seorang gadis dari keluarga yang sangat kaya. Ia akan tinggal bersama mertuanya di tempat yang berbeda. Perasaan minder, perasaan kehilangan, dan perasaan takut kesepian bercampur aduk menjadi satu. Satu-satunya yang dapat melegakan hatinya adalah mengiringi pernikahan anaknya dengan doa. Setelah ibadat singkat bagi anak dan calon menantunya, ia menyampaikan ungkapan hatinya : “Segala sesuatu di dunia ini akan sirna, hanya Tuhanlah yang kekal. Hidup di dunia ini hanya sementara. Aku yakin surga yang aku cita-citakan sudah di depan mata. Kunciku untuk masuk Rumah Bapa adalah mesin jahit tua. Melalui mesin jahit tua ini, aku telah memuji Tuhan dan mengabdi sesama. Tuhan telah mengubah mesin jahitku yang sederhana menjadi luar biasa”. Tuhan telah memulihkan kepercayaan dirinya.
Perjumpaanku dengan ibu yang luar biasa itu telah membawaku masuk ke wilayah iman. Tuhan telah melakukan banyak hal yang luar biasa. Yang biasa akan diubah menjadi luar biasa oleh Tuhan. Tuhan menciptakan aku bukan hanya untuk menjadi manusia tipe standard, biasa-biasa saja, tetapi menjadi manusia yang luar biasa. Luar biasa bukan untuk kemuliaan diri, tetapi untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Tuhan telah memperlengkapi aku dengan apa yang aku butuhkan untuk menjadi manusia yang luar biasa. Cinta akan Tuhan dan sesama merupakan kunci untuk membuka perlengkapan-pelengkapan yang ada. Karena itu, hinaan dan kegagalan tidak akan membuatku minder atau terkapar karena Tuhan menyertaiku untuk menjadi manusia yang luar biasa : “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu; janganlah kecut dan tawar hati, sebab Tuhan, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi” (Yosua 1:9). Pesan spiritual : Jangan puas menjadi istri biasa-biasa, menjadi suami biasa-biasa, orangtua biasa-biasa, anak biasa-biasa, umat katolik biasa-biasa, pastor biasa-biasa, tetapi jadilah istri yang luar biasa, suami yang luar biasa, anak yang luar biasa, umat katolik yang luar biasa, pastor yang luar biasa. Intinya : Jangan puas menjadi manusia biasa, tetapi jadilah manusia yang luar biasa untuk memancarkan Tuhan yang luar biasa. Tuhan memberkati.
Tuhan Memegang Tanganku
Sharing Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Hari itu merupakan hari yang melelahkan sekali. Konseling memenuhi agendaku pagi itu. Tak lama kemudian seorang ketua lingkungan memintaku membawa seorang ibu yang sangat sederhana ke rumah sakit karena pendarahan hebat. Suaminya bekerja sebagai buruh pabrik di Cikarang dan seminggu sekali baru pulang ke rumah. Setelah menyelesaikan urusan dengan rumah sakit itu, aku harus mengirim sembako bagi umat yang membutuhkan. Pada siang harinya aku memimpin Misa pelepasan jenasah seorang bapak yang aku kenal di Bandung pada waktu aku masih frater. Dalam keadaan lelah, godaan manusiawi muncul dalam diriku : “Apakah orang-orang yang aku layani ini nanti masih mengingat aku ketika aku sudah rapuh karena penyakit menggerogotiku dan tidak mempunyai apa-apa lagi untuk ditawarkan kepada mereka ?” Aku pun tertidur di meja kerjaku. Tuhan muncul dalam mimpiku sore itu. Ia menepok bahuku : “Jangan pikirkan apakah orang mengingat apa yang engkau lakukan supaya semangat pelayananmu tidak goyah !”. Mimpi itu mengambil bebanku. Kejernihan pikiran spiritualku dipulihkan. Aku sadar bahwa iblis ingin membunuh antusiasme dalam pelayananku dengan menyodorkan perntanyaan apakah yang aku lakukan ini ada artinya. Aku kini hanya ingin melayani sesamaku sebaik-baiknya agar mereka mengalami diri berharga di mata Tuhan. Kalaupun ada yang mengingatku, itu adalah bonus dan bukan tujuan pelayananku.
Bonus dari Tuhan itu datang saat itu juga. Sepasang suami istri dari Paroki Santa Maria Tangerang ingin bertemu denganku. Mereka berjualan kain di pasar Cikupa. Aku menikahkan mereka lima tahun silam. Aku membantunya dalam persiapan upacara pernikahan mereka karena sang istri adalah satu-satunya yang beragama katolik sehingga tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Keterlibatanku dalam persiapan upacara pernikahan mereka rupanya mengesankan mereka sehingga mereka sudah bertahun-tahun mencoba dengan berbagai cara untuk menemukan keberadaanku. Mereka ingin menyampaikan kabar gembira kepadaku bahwa sang suami telah menjadi katolik seperti dijanjikannya sebelum pernikahan. Kami dipenuhi dengan kegembiraan sehingga tidak terasa kami ngobrol selama dua jam. Kesaksian tentang pergumulan iman sang istri menjadi fokus obrolan kami.
Ia lahir dan bertumbuh di dalam keluarga yang sangat sederhana, tanpa ayah. Ayahnya meninggal dunia ketika adiknya yang ketujuh lahir ke dunia karena penyakit komplikasi. Ia tidak mengalami indahnya masa remaja karena harus membantu ibunya membuat kue untuk dijajakan keliling. Dalam kesulitan hidup, ia bersyukur dianugerahi seorang ibu yang tulus dan tegar dalam berjuang untuk menghidupi dan menyekolahkan ketujuh anaknya. Krisis moneter pada tahun 1998 membuat ekonomi keluarganya semakin sulit. Pada waktu itu, ia duduk di kelas dua SMP. Jualan kuenya terus merugi. Ibunya terpaksa mengkontrakkan rumahnya untuk menopang kehidupan keluarganya. Hasil dari kontrakan rumahnya tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Tanpa sepengetahuan ibunya, ia bekerja setelah pulang sekolah, seperti tanpa malu-malu menawarkan diri untuk membersihkan rumah tetangganya. Tuhan memberkati hatinya yang tulus. Ia mendapatkan beasiswa, yaitu bebas biaya sekolah sejak SMP sampai lulus universitas. Refleksinya dari petualangan imannya sangat indah : “Tuhan selalu membantu umat-Nya yang berserah diri kepadaNya. Ketika badai menerjang kehidupan dan hidup sudah berada dalam jurang, Dia senantiasa memegang tangan kita. Ia menopang semua beban berat kita. Dia adalah Bapa yang peduli terhadap anak-Nya. Karena itu, jangan kuatir akan hari esok karena Dia mempunyai rencana yang indah dan terbaik bagi kita”.
Iman dan harapannya sedang dipertajam dengan kesabaran. Ia belum dikaruniai anak walaupun usia pernikahannya sudah menginjak lima tahun. Kista sepanjang 3,5 cm menjadi penghambat kehamilannya. Ia menjalani operasi laparascopy (operasi tanpa sayatan). Walaupun paska operasinya sudah berlangsung satu tahun, tanda-tanda kehamilan belum tampak padanya. Ia tetap percaya akan rencana terbaik Tuhan. Hadiah yang terindah adalah suaminya menjadi seorang katolik setelah mengikuti persiapan yang panjang. “Aku yakin bahwa Tuhan akan memberikan anak supaya dididik dalam jalan-Nya pada keluarga katolik. Harapanku akan terwujud ketika aku tetap beriman. Buah kesabaran adalah sukacita”, katanya penuh keyakinan.
Tuhan pada waktunya akan meratakan jalan kehidupan . Kehidupan yang sulit tiba-tiba terasa mudah. Kebuntuan tiba-tiba ada jalannya. Aku merasakan beban hidupku diangkat dan hidupku pun ringan. Aku adalah harta kesayangan Tuhan sehingga Ia mengurapiku dengan minyak : “Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak ; pialaku penuh melimpah” (Mazmur 23:5). MinyakTuhan adalah kasih-Nya yang membersihkan karat-karat kehidupan, seperti penderitaan dan kesulitan, sehingga jalan menuju kehidupan yang lebih baik semakin hari akan semakin lebih mudah atau lebih licin. Tetaplah berpegang pada iman, tidak menyerah dengan keadaan, maka cita-cita dan harapan akan menjadi kenyataan. Berkat Tuhan akan mengikuti sepanjang masa. Pelayanan kepada sesama merupakan ungkapan syukur atas apa yang diterima dari Tuhan, tanpa mengharapkan untuk diingat karena semuanya adalah milik-Nya. Itulah kunci kebahagiaan. Tuhan memberkati.
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Hari itu merupakan hari yang melelahkan sekali. Konseling memenuhi agendaku pagi itu. Tak lama kemudian seorang ketua lingkungan memintaku membawa seorang ibu yang sangat sederhana ke rumah sakit karena pendarahan hebat. Suaminya bekerja sebagai buruh pabrik di Cikarang dan seminggu sekali baru pulang ke rumah. Setelah menyelesaikan urusan dengan rumah sakit itu, aku harus mengirim sembako bagi umat yang membutuhkan. Pada siang harinya aku memimpin Misa pelepasan jenasah seorang bapak yang aku kenal di Bandung pada waktu aku masih frater. Dalam keadaan lelah, godaan manusiawi muncul dalam diriku : “Apakah orang-orang yang aku layani ini nanti masih mengingat aku ketika aku sudah rapuh karena penyakit menggerogotiku dan tidak mempunyai apa-apa lagi untuk ditawarkan kepada mereka ?” Aku pun tertidur di meja kerjaku. Tuhan muncul dalam mimpiku sore itu. Ia menepok bahuku : “Jangan pikirkan apakah orang mengingat apa yang engkau lakukan supaya semangat pelayananmu tidak goyah !”. Mimpi itu mengambil bebanku. Kejernihan pikiran spiritualku dipulihkan. Aku sadar bahwa iblis ingin membunuh antusiasme dalam pelayananku dengan menyodorkan perntanyaan apakah yang aku lakukan ini ada artinya. Aku kini hanya ingin melayani sesamaku sebaik-baiknya agar mereka mengalami diri berharga di mata Tuhan. Kalaupun ada yang mengingatku, itu adalah bonus dan bukan tujuan pelayananku.
Bonus dari Tuhan itu datang saat itu juga. Sepasang suami istri dari Paroki Santa Maria Tangerang ingin bertemu denganku. Mereka berjualan kain di pasar Cikupa. Aku menikahkan mereka lima tahun silam. Aku membantunya dalam persiapan upacara pernikahan mereka karena sang istri adalah satu-satunya yang beragama katolik sehingga tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Keterlibatanku dalam persiapan upacara pernikahan mereka rupanya mengesankan mereka sehingga mereka sudah bertahun-tahun mencoba dengan berbagai cara untuk menemukan keberadaanku. Mereka ingin menyampaikan kabar gembira kepadaku bahwa sang suami telah menjadi katolik seperti dijanjikannya sebelum pernikahan. Kami dipenuhi dengan kegembiraan sehingga tidak terasa kami ngobrol selama dua jam. Kesaksian tentang pergumulan iman sang istri menjadi fokus obrolan kami.
Ia lahir dan bertumbuh di dalam keluarga yang sangat sederhana, tanpa ayah. Ayahnya meninggal dunia ketika adiknya yang ketujuh lahir ke dunia karena penyakit komplikasi. Ia tidak mengalami indahnya masa remaja karena harus membantu ibunya membuat kue untuk dijajakan keliling. Dalam kesulitan hidup, ia bersyukur dianugerahi seorang ibu yang tulus dan tegar dalam berjuang untuk menghidupi dan menyekolahkan ketujuh anaknya. Krisis moneter pada tahun 1998 membuat ekonomi keluarganya semakin sulit. Pada waktu itu, ia duduk di kelas dua SMP. Jualan kuenya terus merugi. Ibunya terpaksa mengkontrakkan rumahnya untuk menopang kehidupan keluarganya. Hasil dari kontrakan rumahnya tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Tanpa sepengetahuan ibunya, ia bekerja setelah pulang sekolah, seperti tanpa malu-malu menawarkan diri untuk membersihkan rumah tetangganya. Tuhan memberkati hatinya yang tulus. Ia mendapatkan beasiswa, yaitu bebas biaya sekolah sejak SMP sampai lulus universitas. Refleksinya dari petualangan imannya sangat indah : “Tuhan selalu membantu umat-Nya yang berserah diri kepadaNya. Ketika badai menerjang kehidupan dan hidup sudah berada dalam jurang, Dia senantiasa memegang tangan kita. Ia menopang semua beban berat kita. Dia adalah Bapa yang peduli terhadap anak-Nya. Karena itu, jangan kuatir akan hari esok karena Dia mempunyai rencana yang indah dan terbaik bagi kita”.
Iman dan harapannya sedang dipertajam dengan kesabaran. Ia belum dikaruniai anak walaupun usia pernikahannya sudah menginjak lima tahun. Kista sepanjang 3,5 cm menjadi penghambat kehamilannya. Ia menjalani operasi laparascopy (operasi tanpa sayatan). Walaupun paska operasinya sudah berlangsung satu tahun, tanda-tanda kehamilan belum tampak padanya. Ia tetap percaya akan rencana terbaik Tuhan. Hadiah yang terindah adalah suaminya menjadi seorang katolik setelah mengikuti persiapan yang panjang. “Aku yakin bahwa Tuhan akan memberikan anak supaya dididik dalam jalan-Nya pada keluarga katolik. Harapanku akan terwujud ketika aku tetap beriman. Buah kesabaran adalah sukacita”, katanya penuh keyakinan.
Tuhan pada waktunya akan meratakan jalan kehidupan . Kehidupan yang sulit tiba-tiba terasa mudah. Kebuntuan tiba-tiba ada jalannya. Aku merasakan beban hidupku diangkat dan hidupku pun ringan. Aku adalah harta kesayangan Tuhan sehingga Ia mengurapiku dengan minyak : “Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak ; pialaku penuh melimpah” (Mazmur 23:5). MinyakTuhan adalah kasih-Nya yang membersihkan karat-karat kehidupan, seperti penderitaan dan kesulitan, sehingga jalan menuju kehidupan yang lebih baik semakin hari akan semakin lebih mudah atau lebih licin. Tetaplah berpegang pada iman, tidak menyerah dengan keadaan, maka cita-cita dan harapan akan menjadi kenyataan. Berkat Tuhan akan mengikuti sepanjang masa. Pelayanan kepada sesama merupakan ungkapan syukur atas apa yang diterima dari Tuhan, tanpa mengharapkan untuk diingat karena semuanya adalah milik-Nya. Itulah kunci kebahagiaan. Tuhan memberkati.
Tuhan mendengarkan
Sharing pastoral oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.
“Romo, doakan aku supaya aku tidak menjadi anak nakal”, pinta seorang anak kecil, berusia tiga tahun, dengan polosnya. Ketika aku mendoakannya, ia mengikutinya dengan khusyuknya. Ia memejamkan matanya dan melipatkan kedua telapak tangannya di dada seperti gambar seorang kudus yang dipajang di dinding rumah-rumah orang beriman. “Tanda Salib” yang diterima di dahinya membuatnya sangat bahagia. Ia kemudian berlari sambil menari-nari menuju ibunya. Kepolosan seorang anak sering mengundang kerinduan untuk hidup di dalam kesucian.
Ibunya mensharingkan pengalaman imannya tentang kelahiran anaknya. Anaknya ini merupakan anugerah dari doa novenanya yang sangat panjang, selama empat tahun lamanya. Kehamilannya membuatnya sangat bahagia. Impiannya menjadi kenyataan. Ia menjaga kandungannya dengan baik agar bayinya lahir dengan selamat. Ia sudah sering bermimpi menggendong bayinya dengan bangga. Panggilan kepadanya “mama” menjadi kerinduannya. Kerinduannya hampir sirna karena kecelakaan lalu lintas. Ia jatuh dari sepeda motor ketika akan menuju gereja untuk mengikuti Misa. Ia mengalami pendarahan yang hebat. Bayi dalam kendungannya dalam keadaan bahaya. Secara medis bayi itu akan meninggal dunia beberapa hari kemudian. Banyak orang menyarankannya agar membersihkan kandungannya demi keselamatan nyawanya. Ia menampung semua saran manusia, tetapi ia percaya bahwa Tuhan mampu melakukan sesuatu di luar logika manusia. “Bagi orang beriman tidak ada istilah menyerah dengan keadaaan walaupun solusi tampaknya tidak ada”, katanya penuh keyakinan. Ia yakin bahwa anaknya akan selamat ketika ibunya menyelimutinya dengan doa. Ia pun rela menjalani bed rest selama enam bulan demi bayinya. Ia rela melepaskan karir dalam pekerjaan yang telah dirintis dan dicita-citakannya sejak kuliah. Semuanya rela dikorbankannya, bahkan nyawanya demi keselamatan bayi yang berada dalam kandungannya. Ia menderita bukan karena tubuhnya yang kaku karena tidak bergerak sangat lama, tetapi karena kekuatiran yang dibisikkan oleh setan jahanam. Ia kadang-kadang kuatir bahwa anaknya belum tentu hidup dan mungkin lahir cacat. Kekuatiran itu menggodainya untuk mengambil keputusan menurut pertimbangan ekonomis, untung rugi, dalam kaca mata manusia. Semakin ia menggunakan pertimbangan manusia, ia semakin gelisah. Ia pun berputar arah. Ia tidak lagi memusatkan diri pada kekuatiran, tetapi kepada Tuhan, Sang Pencipta Kehidupan. Ketika kekuatiran datang, ia akan berdoa : “Tuhan, nyawaku dan nyawa bayi di dalam kandunganku adalah satu. Aku akan menjaganya. Aku serahkan diriku dan bayiku dalam kebijaksanaan-Mu. Terpujilah nama-Mu kini dan sepanjang masa”. Doa itu memberikan ketenangan yang mendalam kepadanya. Ia mengalami bahwa Tuhan semakin dekat dengannya. Ia berhasil menjadikan kekuatiran dan kecemasannya sebagai doanya kepada Tuhan. Tuhan memenuhi janjinya. Ia melahirkan dengan lancar dan normal. Ia tidak merasakan sakit sama sekali ketika melahirkan. Peristiwa ini diyakininya sebagai hadiah dari Tuhan atas kerelaannya menanggung penderitaan yang cukup lama dengan iman. Bayinya lahir dengan sempurna. Bayi ini sangat antusias dengan hal-hal spiritual. Tangan bayi ini akan melambai-lambai kegirangan pada waktu diperdengarkan musik-musik rohani. Sekarang ia tidak bisa tidur kalau belum berdoa bersama. Keluarganya pun semakin akrab satu sama lain. “Semoga anakku terus menjadi pujian bagi Tuhan”, harapnya dengan penuh kebanggaan.
Tuhan memintaku untuk menghadirkan kuasa-Nya dengan tak jemu-jemunya berdoa. Tuhan berjanji akan mendengarkan doa anaknya : “Ketika aku dalam kesesakan, aku berseru kepada Tuhan, kepada Allahku aku berteriak minta tolong. Ia mendengar suaraku dari bait-Nya, teriakku minta tolong kepada-Nya sampai ke telinga-Nya” (Mazmur 18:7). Tuhan memperhatikan doa yang dipanjatkan dengan tak henti-hentinya, dari hati yang jujur, dan dengan penuh iman : “Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin” (Yakobus 1:6). Pesannya : “Jangan puas hanya titip doa kepada orang yang dianggap luar biasa, tetapi yakinlah bahwa doa anda akan penuh kuasa yang membawa pembaharuan. Jangan banyak bicara kepada manusia karena hanya akan menambah masalah, tetapi banyak bicaralah kepada Tuhan karena akan memberikan banyak berkat”. Tuhan memberkati.
“Romo, doakan aku supaya aku tidak menjadi anak nakal”, pinta seorang anak kecil, berusia tiga tahun, dengan polosnya. Ketika aku mendoakannya, ia mengikutinya dengan khusyuknya. Ia memejamkan matanya dan melipatkan kedua telapak tangannya di dada seperti gambar seorang kudus yang dipajang di dinding rumah-rumah orang beriman. “Tanda Salib” yang diterima di dahinya membuatnya sangat bahagia. Ia kemudian berlari sambil menari-nari menuju ibunya. Kepolosan seorang anak sering mengundang kerinduan untuk hidup di dalam kesucian.
Ibunya mensharingkan pengalaman imannya tentang kelahiran anaknya. Anaknya ini merupakan anugerah dari doa novenanya yang sangat panjang, selama empat tahun lamanya. Kehamilannya membuatnya sangat bahagia. Impiannya menjadi kenyataan. Ia menjaga kandungannya dengan baik agar bayinya lahir dengan selamat. Ia sudah sering bermimpi menggendong bayinya dengan bangga. Panggilan kepadanya “mama” menjadi kerinduannya. Kerinduannya hampir sirna karena kecelakaan lalu lintas. Ia jatuh dari sepeda motor ketika akan menuju gereja untuk mengikuti Misa. Ia mengalami pendarahan yang hebat. Bayi dalam kendungannya dalam keadaan bahaya. Secara medis bayi itu akan meninggal dunia beberapa hari kemudian. Banyak orang menyarankannya agar membersihkan kandungannya demi keselamatan nyawanya. Ia menampung semua saran manusia, tetapi ia percaya bahwa Tuhan mampu melakukan sesuatu di luar logika manusia. “Bagi orang beriman tidak ada istilah menyerah dengan keadaaan walaupun solusi tampaknya tidak ada”, katanya penuh keyakinan. Ia yakin bahwa anaknya akan selamat ketika ibunya menyelimutinya dengan doa. Ia pun rela menjalani bed rest selama enam bulan demi bayinya. Ia rela melepaskan karir dalam pekerjaan yang telah dirintis dan dicita-citakannya sejak kuliah. Semuanya rela dikorbankannya, bahkan nyawanya demi keselamatan bayi yang berada dalam kandungannya. Ia menderita bukan karena tubuhnya yang kaku karena tidak bergerak sangat lama, tetapi karena kekuatiran yang dibisikkan oleh setan jahanam. Ia kadang-kadang kuatir bahwa anaknya belum tentu hidup dan mungkin lahir cacat. Kekuatiran itu menggodainya untuk mengambil keputusan menurut pertimbangan ekonomis, untung rugi, dalam kaca mata manusia. Semakin ia menggunakan pertimbangan manusia, ia semakin gelisah. Ia pun berputar arah. Ia tidak lagi memusatkan diri pada kekuatiran, tetapi kepada Tuhan, Sang Pencipta Kehidupan. Ketika kekuatiran datang, ia akan berdoa : “Tuhan, nyawaku dan nyawa bayi di dalam kandunganku adalah satu. Aku akan menjaganya. Aku serahkan diriku dan bayiku dalam kebijaksanaan-Mu. Terpujilah nama-Mu kini dan sepanjang masa”. Doa itu memberikan ketenangan yang mendalam kepadanya. Ia mengalami bahwa Tuhan semakin dekat dengannya. Ia berhasil menjadikan kekuatiran dan kecemasannya sebagai doanya kepada Tuhan. Tuhan memenuhi janjinya. Ia melahirkan dengan lancar dan normal. Ia tidak merasakan sakit sama sekali ketika melahirkan. Peristiwa ini diyakininya sebagai hadiah dari Tuhan atas kerelaannya menanggung penderitaan yang cukup lama dengan iman. Bayinya lahir dengan sempurna. Bayi ini sangat antusias dengan hal-hal spiritual. Tangan bayi ini akan melambai-lambai kegirangan pada waktu diperdengarkan musik-musik rohani. Sekarang ia tidak bisa tidur kalau belum berdoa bersama. Keluarganya pun semakin akrab satu sama lain. “Semoga anakku terus menjadi pujian bagi Tuhan”, harapnya dengan penuh kebanggaan.
Tuhan memintaku untuk menghadirkan kuasa-Nya dengan tak jemu-jemunya berdoa. Tuhan berjanji akan mendengarkan doa anaknya : “Ketika aku dalam kesesakan, aku berseru kepada Tuhan, kepada Allahku aku berteriak minta tolong. Ia mendengar suaraku dari bait-Nya, teriakku minta tolong kepada-Nya sampai ke telinga-Nya” (Mazmur 18:7). Tuhan memperhatikan doa yang dipanjatkan dengan tak henti-hentinya, dari hati yang jujur, dan dengan penuh iman : “Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin” (Yakobus 1:6). Pesannya : “Jangan puas hanya titip doa kepada orang yang dianggap luar biasa, tetapi yakinlah bahwa doa anda akan penuh kuasa yang membawa pembaharuan. Jangan banyak bicara kepada manusia karena hanya akan menambah masalah, tetapi banyak bicaralah kepada Tuhan karena akan memberikan banyak berkat”. Tuhan memberkati.
Langganan:
Postingan (Atom)