C_Minggu Biasa ke 22 - 2010 Kerendahan hati

Ada sebuah kisah tentang Albert Einstein: Sebagai orang pintar dia seringkali diundang ke mana-mana untuk memberikan ceramah tentang teori baru yang ditemukannya, yaitu teori relativitas. Ke mana-mana dia selalu membawa seorang sopir. Setelah mendengar ceramah yang tentang pokok yang sama terus menerus, pada suatu hari sopirnya berkata: “saya yakin, saya sudah tau apa yang akan tuan jelaskan. Apa bisa kita menukar posisi. Saya jadi penceramah dan tuan menjadi sopir. Tuan bertindak seolah-olah sebagai sopir sedangkan saya sendiri akan bertidak sebagai seorang ahli”

Einstein ternyata tidak keberatan. Mereka ganti posisi. Ketika sang sopir berlagak ahli memasuki ruangan, semua orang berdiri untuk memberikan hormat. Selama ceramah berlangsung, dengan gampang ia menjelaskan teori relativitas Albert Einstein. Namun, ketika seorang pendengar menyampaikan sebuah pertanyaan, dia kewalahan. Untungnya, dia tidak kehilangan akal. Dengan dengan ia menjawab:, “Wah… pertanyaan anda itu terlalu sederhana bahkan sopir saja pun bisa menjawab pertanyaan itu”. Lalu ia mempersilakan Albert Einstein yang telah berlaku sebagai sopir menjawab pertanyaan itu.

Saudara dan saudariku
Bacaan-bacaan hari ini berbicara tentang kerendahan hati. Dalam bacaan pertama tadi dikatakan: “anakku, lakukanlah tugasmu dengan lembah lembut, maka engkau akan lebih disayangi daripada orang yang ramah-tamah.” Tertanya lemah lembut itu jauh lebih dihargai Tuhan daripada keramahan, karena orang bisa saja berpura-pura ramah. Lebih lanjut, dalam bacaan I tadi dikatakan: “Makin besar engkau, makin patut kaurendahkan dirimu, supaya mendapat rahmat di hadapan Tuhan.”

Sedangkan dalam bacaan Injil hari ini, Yesus mengkritik orang-orang Farisi yang ingin mencari tempat terhormat di dalam masyarakat.

Apa itu rendah hati? Dari akar katanya kerendahan hati dalam bahasa Inggris adalah ‘humility‘ berasal dari kata ‘humus‘ (Latin), artinya tanah/ bumi. Jadi, kerendahan hati maksudnya adalah menempatkan diri ‘membumi’ ke tanah.

Kerendahan hati adalah kebajikan yang paling mendasar dari semua kebajikan kristiani. Santo Agustinus bahkan mengatakan ada tiga jalan yang pasti membawa orang kepada Allah. Pertama, kerendahan hati. Kedua, kerendahan hati. Ketiga, kerendahan hati. Dengan cara ini, St. Agustinus menekankan pentingnya kerendahan hati untuk mencapai kesempurnaan rohani.

Dalam spiritualitas, kesempurnaan berarti kekudusan, sehingga untuk menjadi kudus, kita harus pertama-tama menjadi orang yang rendah hati. Kerendahan hati adalah dasar dari semua kebajikan yang lain, sebab tanpa kerendahan hati, kita tidak dapat sungguh-sungguh memiliki kebajikan-kebajikan yang lain. Kerendahan hati juga disebut sebagai ‘ibu’ dari semua kebajikan, sebab ia melahirkan ketaatan, takut akan Tuhan, dan penghormatan kepada-Nya, kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan dan damai.

Saudara dan saudariku
Saya tertarik dengan defenisi kerendahan hati yang diberikan oleh St. Theresia Avila. Dia berkata, rendah hati berarti hidup sesuai dengan kebenaran.

Kita dianjurkan untuk hidup sesuai kebenaran, di dalam relasi dengan Allah, dengan diri kita sendiri dan dengan sesama.

Dalam relasi dengan Allah, hal yang mesti kita sadari adalah bahwa kita adalah makluk ciptaan. Karena itu, hidup sesuai dengan kebenaran dalam relasi dengan Allah atau kerendahan hati dalam relasi dengan Allah berarti bersikap taat karena cinta kepada Allah.

Dalam relasi dengan diri sendiri, hidup dalam kebenaran atau bersikap rendah hati berarti tidak sombong atau berpura-pura menjadi apa yang bukan diri kita. Dalam kisah di atas tadi, sang sopir tidak bersikap rendah hati karena dia berpura-pura menjadi seorang Albert Einstein. Dia berpura-pura untuk menjadi bukan dirinya.

Sedangkan dalam relasi dengan sesama, hidup dalam kebenaran atau bersikap rendah hati berarti bersikap saling menghargai, ramah dan saling menerima satu sama lain. Jadi agar dapat mengasihi, kita harus rendah hati di dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan.

St. Ignatius mengajarkan sesuatu tentang kerendahan yang merupakan perjuangan bagi kita semua: Pertama, kerendahan hati di dalam pikiran adalah kita tidak boleh cemburu atau iri, jika orang lain dipuji, kita harus melihat kebaikan dalam diri orang lain, dan kita harus bergembira atas kebaikan dan kesuksesan orang lain.

Ada komentar orang seperti ini: “kenapa sih, Cor Unum kok exist banget?” Ya…mereka exist karena mereka mau terlibat dalam pelayanan, terutama membantu kami dalam seminar-seminar, rekoleksi atau retret. Anda tidak tahu bagaimana mereka sendiri jatuh bangun dalam mengikuti jadwal pelayanan dan tuntutan dari kami sendiri. “Kenapa sih, Cor Unum kok exist banget?” Bagi saya komentar semacam itu adalah muncul dari kesombongan diri yang tidak disadari. Kita harus selalu menyadari bahwa kita hanya semata-mata alat di tangan Tuhan, untuk memuji dan memuliakan Allah.

Kedua, kita tidak boleh bicara yang buruk tentang siapapun dan bicara yang baik-baik tentang diri sendiri, atau lebih tepatnya, sebaiknya kita membatasi pembicaraan tentang diri kita sendiri supaya kita tidak jatuh dalam perangkap kesombongan.

Ketiga, di dalam perbuatan kita harus mau mengambil tempat yang rendah/ tidak utama, dan tidak menginginkan untuk diperlakukan istimewa. Dalam segala sesuatu kita tidak mencari pujian, tetapi mencari bagaimana agar dapat melakukan sesuatu yang berguna, untuk kebaikan. Kita juga harus siap meminta maaf, untuk segala kesalahan yang kita lakukan, baik terhadap Tuhan dan orang lain, dan rajin untuk mengucap syukur untuk segala karunia yang Tuhan berikan kepada kita. Sikap seperti ini adalah sikap seorang pelayan, oleh karena itu, kerendahan hati menjadi dasar dari pelayanan Kristiani.

Saudara dan saudariku
Kerendahan hati adalah sebuah rahmat. Karena itu hendaknya kita memohon kepada Allah untuk itu. Selain itu di dalam kehidupan kita sehari-hari hendaknya kita juga belajar untuk bersikap rendah hati. Semakin banyak kita berlatih untuk bersikap rendah hati maka kita pun akan menjadi orang yang rendah hati.

Menurut mother Teresa, ada 14 cara yang bisa kita lakukan untuk memperoleh kerendahan hati:
1. Berbicara sedikit mungkin tentang diri sendiri.
2. Uruslah sendiri persoalan-persoalan pribadi, tidak perlu menceritakan ke orang lain untuk menunjukkan betapa beratnya persoalan pribadi kita.
3. Hindari rasa ingin tahu. Lebih baik menahan diri untuk bertanya dan memberikan pendapat kalau tidak ditanya.
4. Janganlah mencampuri urusan orang lain.
5. Terimalah pertentangan dengan gembira.
6. Jangan memusatkan perhatian kepada kesalahan orang lain.
7. Terimalah hinaan dan caci maki.
8. Terimalah perasaan tak diperhatikan, dilupakan dan dipandang rendah.
9. Mengalah terhadap kehendak orang lain.
10. Terimalah celaan walaupun anda tidak layak menerimanya
11. Bersikap sopan dan peka, sekalipun seseorang memancing amarah anda
12. Janganlah mencoba agar dikagumi dan dicintai. Termasuk kalau nama kita tidak disebutkan/ditulis dalam kepanityaan, padahal kerjanya paling sibuk.
13. Bersikap mengalah dalam perbedaan pendapat, walaupun anda yg benar.
14. Pilihlah selalu yang tersulit. Saat tidak ada orang yang bersedia mengerjakan sesuatu ,ambilah tanggung jawab tersebut.

Ke-14 cara yang dianjurkan ini, bukanlah cara yang mudah tetapi sangat sulit. Dengan itu kita sadar bahwa ternyata kerendahan hati adalah suatu kebajikan yang sulit untuk didapatkan. Benyamin Franklin, pernah menulis: “Salah satu keinginan terdalam manusia yang sulit di atasi adalah kesombongan diri. Walaupun saya berusaha untuk mengatasinya atau bahkan mematikannya, kesombongan diri itu tetap ada. Bahkan ketika saya yakin bahwa saya telah mengatasinya, tetapi bisa saja muncul dalam sikap kebanggaan atas sikap kerendahan hati yang saya miliki.”

Beberapa kutipan ayat kitab suci yang dapat membantu kita untuk merenungkan tentang pentingnya sikap rendah hati.

Maz 149: 4 "Sebab TUHAN berkenan kepada umat-Nya, Ia memahkotai orang-orang yang rendah hati dengan keselamatan."

1 Pet 5:5: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihi orang yang rendah hati”.

Fil 2:3 “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;
Kerendahan hati ini begitu penting bagi Allah, sehingga menempati urutan pertama dari Delapan Sabda Bahagia: "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga “ (Mat 5:3).

Saudara dan saudariku
Apa yang dapat kita buat untuk mencapai kerendahan hati? Paling tidak langkah awal untuk mencapai kerendahan hati itu.

Menurut St. Franciskus de Sales, langkah pertama kerendahan hati adalah pemeriksaan batin yang baik. Jika kita rajin melakukannya setiap hari, latihan ini akan membimbing kita mencapai pengenalan diri sendiri, dan terutama, mengenal kesombongan diri kita.

Langkah kedua adalah meditasi. Meditasi merupakan sarana untuk mencapai pengenalan diri sendiri. Dengan merenungkan kematian kita, penghakiman terakhir, neraka, surga, dan kehidupan Yesus Penebus kita, kita akan sampai pada kesadaran akan siapa diri kita di hadapan Allah. Tips dari St. Franciskus: “Renungkanlah betapa besar kasih yang Tuhan sudah berikan kepadamu, dan berapa banyak dosa yang sudah engkau perbuat melawan Dia. Dan saat engkau menghitung dosamu, hitunglah juga belas kasihan-Nya!”

Langkah ketiga adalah melalui pertobatan. Melalui pertobatan yang terus menerus dan latihan-latihan rohani seperti ini, kita mengembangkan di dalam hati kita rasa benci akan kesombongan kita. Bersyukurlah, kita dapat selalu kembali kepada Tuhan melalui Sakramen Pengakuan Dosa.

Saudara dan saudariku
Inti dari kekristenan adalah berbuat baik kepada orang-orang lain dalam semangat kerendahan hati. Marilah kita sekali lagi mencamkan apa yang pernah Yesus katakan: ”Barang siapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barang siapa merendahkan diri akan ditinggikan (Luk 14:11). Amin.

Maria diangkat ke surga

Bacaan
Why 11:19a, 12:1.3-6a.10ab;
1Kor 15:20-26;
Luk 1:39-56

Homili
Allah kadang memberikan inspirasi kepada umat beriman untuk menerima suatu suatu pernyataan iman sebagai suatu kebenaran, sebelum gereja mengeluarkan suatu pernyataan resmi mengenai hal itu. Contohnya bisa kita lihat mengenai dogma tentang Maria yang diangkat ke surga.

Pada tanggal 1 November 1950, Paus Pius XII mengeluarkan suatu dogma – ajaran resmi gereja tentang Maria diangkat ke surga, dengan kata-kata berikut ini: “Bunda Allah yang tak bercela, perawan Maria, setelah mengakhiri hidup di dunia ini, diangkat dengan jiwa dan raganya ke dalam kemuliaan surgawi”

Pernyataan resmi gereja ini tentunya mengundang banyak pro dan kontra. Akan tetapi, pernyataan ini hanya merupakan suatu penegasan dari apa yang telah lama diyakini oleh umat beriman. Pada permulaan abad 7, Perayaan ini sudah dikenal di dalam gereja, baik gereja barat maupun gereja timur. Juga ada data yang membuktikan bahwa sejak awal abad 4 umat beriman sudah menerima keyakinan iman bahwa Maria diangkat ke ke surga. Jadi di sini kita bisa lihat bahwa ternyata dalam kehidupan sehari-hari, keyakinan umat beriman kadang-kadang mendahului suatu pernyataan resmi gereja.

Saya ambil contoh lain. Di dalam kongregasi kami ada tokoh yang dikenal sebagai pahlawan orang kusta yaitu Pater Damian. Oleh gereja dia masih diakui sebagai Beato, tetapi kalau di Flores orang sudah menyebutnya sebagai Santo. Rumah Sakit Kusta di Lembata, disebut sebagai Rumah Sakit Kusta Santo Damian. Santo Subito = Segera digelarkan Kudus.

Iman umat kadang mendahului apa yang ditetapkan oleh gereja secara resmi. Kalau kita renungan, dogma tentang pengkatan Maria ini memang tidak punya dasar dalam KS, tetapi mengapa Gereja bisa mengeluarkan pernyataan yang demikian?

Adalah pantas dan layak bahwa Maria yang dikandung tanpa noda dosa asal, diangkat ke surga dengan jiwa dan raganya. Juga sangat masuk akal kalau Allah memuliahkan Maria sedemikian besar karena Ia telah melahirkan Putera Allah. Perayaan hari ini juga merupakan suatu bukti bahwa kita juga menghormati Maria sebagai ibu kita dan sebagai Murid Kristus yang pertama.

Seorang anak yang menolak ibunya berarti menolak dirinya sendiri. Akibatnya, bukan kebahagiaan dan keyakinan diri yang ditemukannya, melainkan hanya penderitaan dan kesulitan yang susul menyusul. Kita tentu ingat kisah legenda tentang Malingkundang. Seorang anak yang menolak ibunya. Akibatnya dia mendapat musibah.

Dibawah kaki salib, Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada kita. Kita diberi Maria, seorang ibu yang melambangkan Gereja itu sendiri - maka Gereja juga sering disebut sebagai ‘Bunda Gereja’- seorang ibu yang selalu siap sedia mendengarkan keluh kesah dan kesulitan kita. Menolak ibu rohani ini akhirnya juga sama dengan menolak jatidiri kita sendiri sebagai pengikut Yesus. Sebab, melalui ibu itu pula Yesus dilahirkan di tengah-tengah Gereja. Melalui dia, Yesus dibesarkan seperti kita manusia dan suatu saat membebaskan kita dari ketakutan akan sengsara dan maut.

Sosok ini, Maria, memang dipermasalahkan oleh banyak orang, juga oleh berbagai Gereja. Namun aneh, semakin Maria dipermasalahkan, justru semakin banyak yang terbantu oleh doa-doanya.

St. Yohanes Maria Vianey pernah berkata: “Meskipun Maria, sejak diangkat ke surga, hidup bahagia dan mulia, tetapi ia tidak akan beristirahat sampai akhir dunia.’ Mengapa? Karena semua anaknya di dunia ini memang belum bersatu dengannya. Itulah sebabnya, Maria selalu waspada, penuh perhatian terhadap kesengsaraan kita, ia berjaga, ia berdoa, ia menjadi pengantara”.

Begitu pula Hari Raya ini, Bunda Maria Diangkat ke Surga, muncul dan menjadi perdebatan banyak orang. Berbagai alasan dipakai, antara lain bahwa Kitab Suci tidak pernah membuktikan bahwa Maria memang diangkat ke surga. Akan tetapi, banyak juga yang lupa, atau sengaja lupa, bahwa seorang ibu takkan pernah berada jauh dari anaknya. Maria, bukan hanya ibu Yesus, tetapi juga murid-Nya! Ia yang telah melahirkan Yesus, kini menjadi milik Kristus!

Perayaan ini bukan berasal dari sebuah ajaran, tetapi dari sebuah penghormatan dan pengabdian. Perayaan ini adalah pujian Gereja sendiri kepada Sang Bunda yang sudah menolong begitu banyak orang yang harapannya hampir musnah. Gereja berpikir, bagaimana mungkin Bunda Maria tidak berada di surga, jika begitu banyak permohonan ternyata dikabulkan, begitu banyak mukjizat terjadi, begitu banyak orang diselamatkan dari keputusasaan, karena bantuan doanya?

Masih tentang St. Yohanes Maria Vianney, ia pun pernah menulis: “Di surga, Maria senantiasa memohon kepada Puteranya, dan seakan-akan berkata: “Jangan lupa akan rahim yang mengandung-Mu, jangna lupa akan akan hamba-Mu, akan sekutu-Mu dalam sengasara dan kemuliaan. Ingatlah akan keluh kesah ibu-Mu ini. Maka dari itu, demi kasih sayang yang Kau limpahkan kepadaku, berbelaskasihlah kepada anak-anak berdosa yang telah Kau serahkan kepadaku. Dan ingatlah Puteraku, ketika di Kana mereka kehabisan anggur dan Engkau membantunya, kini banyak anak-anakku kehabisan anggur juga: anggur damai jiwa, anggur hidup abadi, anggur kasih Ilahi dalam jiwa mereka, anggur sukacita. Ya Puteraku, hendaklah tergeraklah hati-Mu”

Sungguh mengharukan bahwa sampai detik ini pun, Bunda Maria masih begitu sibuk membantu kita agar terus berdoa kepada putranya, masih terus mendorong supaya kita jangan kehilangan semangat, masih gampang dijumpai di mana-mana memberi jalan keluar kepada yang kecewa dan putus asa!

Berkaitan dengan perayaan kita hari ini, st. Paulus mengatakan dengan yakin, bahwa semua orang yang menjadi milik Kristus akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus. Mula-mula Kristus sendiri sebagai buah sulung, dan sesudah itu mereka yang menjadi milik-Nya! Maria, Ibu kita yang demikian dekat dengan Yesus, puteranya, tentu sudah mengalami kemuliaan bersama puteranya.

Seperti kata-kata Elisabet, Maria memang terpuji di antara manusia. Ia disebut "penuh rahmat" (gratia plena), namun tak ingin menahan rahmat itu untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, ia selalu bersedia membagi-bagikan rahmat itu kepada semua orang. Di antara kita ini, juga ada orang-orang yang begitu mudah membagikan rahmat yang diterimanya dari Tuhan. Orang-orang ini disebut berbahagia karena tak mau menyimpan rahmat itu untuk dirinya sendiri, tapi selalu murah hati, mudah memberi, selalu punya hati; jika perlu, mereka mau kehilangan, supaya yang lain itu kebagian. Bagaimana dengan kita?

Kalau kita sendiri belum begitu, mari belajar dari Ibu yang penuh rahmat itu, yang senantiasa membagi rahmat yang telah ia terima dari Allah. Amin.

Legio Mariae

Bila mengikuti Maria
Engkau takkan tersesat.

Bila memanggil Maria
Engkau takkan putus asa.

Bila memikirkan Maria
Engkau takkan keliru.

Bila dibantu Maria
Engkau takkan jatuh.

Bila dilindungi Maria
Engkau takkan takut.

Bila dibimbing Maria
Engkau takkan jemu.

Bila dikaruniai Maria
Engkau mencapai tujuanmu.


"Berkat perantaanmu, O Maria, kami dengan pasti memiliki janji kebangkitan kami."


(St.Ephraem)

Homili Minggu Biasa XIX - Tahun C - 2010


Bacaan
Keb 18:6-9
Ibr 11:1-2,8-19
Luk 12:35-40

Renungan
Saudara dan saudariku
Saya yakin bahwa kebanyakan dari kita pernah naik pesawat. Biasanya, sebelum pesawat yang kita tumpangi ini mengudara, ada sebuah pengumuman yang kira-kiranya bunyinya seperti ini: "Para penumpang yang terhormat, selamat datang di pesawat boing 474. Pimpinan penerbangan ini adalah kapten Felix Supranto. Pesawat ini dilengkapi dengan 2 pintu; satu di bagian depan dan satu di bagian belakang. Pesawat ini dilengkapi juga dengan jendela darurat. Dua di kabin bagian depan, dan dua di kabin bagian tengah. Para penumpang yang terhormat, sesuai dengan peraturan penerbangan, para awak kami akan memperagakan bagaimana memakai dan melepaskan sabuk pengaman, bagaimana mengunci dan membukanya. kantong pelampung ada di bawah kursi anda dan hanya digunakan untuk pendaratan darurat di air."

Inti dari semuanya itu adalah mempersiapkan para penumpang untuk suatu kejadian yang tak terduga. Tetapi jika kita memperhatikan bagaimana sikap para penumpang ketika penjelasan itu diberikan, tidak semuanya memperhatikan dengan serius. Ada yang mungkin merasa sudah terbiasa sehingga tidak terlalu memperhatikan hal-hal semacam itu.

Saudara dan saudariku
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus ibarat seorang pramugara yang menjelaskan beberapa penting yang harus kita perhatikan berkaitan dengan ‘pesawat kehidupan’ di mana kita semua adalah penumpang di dalamnya. Ia mengatakan untuk senantiasa berjaga untuk sesuatu yang tak terduga. Yesus mengajak kita untuk senantiasa berjaga dan siap sedia selalu, bukan dengan ketakutan tetapi dengan iman dan harapan.

Saudara dan saudariku
Kehidupan ini terus berjalan ke depan...semakin bertambah umur kita semakin menyadari bahwa betapa hidup ini rapuh. Seringkali kita merasa hidup ini seakan diombang-ambingkan oleh banyak peristiwa hidup yang kita alami. Kadang goncangan itu begitu keras, sehingga merasa shock dan hampir kehilangan harapan. Situasi semacam itu tercermin dalam penggalan lagu berikut ini:

Di tengah ombak dan arus pencobaan
Hampir terhilang tujuan arah hidupku
Bagaikan kapal yang slalu diombang ambingkan
Seolah-olah mengatasinya tiada mampu.


Saya pernah mengalami ketika tahun 2005 ketika naik Adam Air dari Batam menuju Jakarta. Waktu itu hujan sangat deras dan cuaca sangat gelap. Tetapi pesawat itu tetap nekad terbang. Sampai pada ketinggian tertentu, pesawat itu seakan tidak punya kekuatan untuk menembusi awan yang begitu tebal. Akhirnya pesawat itu seakan jatuh...kira-kira 1-2 km ke bawah terus naik lagi. Semua penumpang termasuk saya seakan kehabisan napas....jantung terasa seakan copot. Iya...hidup ini bisa diambil dari kita dalam sekejab mata. Namun singkatnya dan kerapuhan hidup ini hendaknya membuat kita menyadari bahwa betapa hidup ini berharga.

Hidup ini adalah suatu anugera yang berharga tetapi diliputi dengan suatu ketidakpastian kapan akan berakir. Yesus sadar betul akan ketidakpastian hidup ini. Di dalam perumpamaan Injil tadi, Ia coba memberikan penekanan pada fakta bahwa fakta bahwa kematian bisa datang setiap saat. Bukan karena Allah mau menjebak kita seperti pencuri yang datang pada waktu yang tidak disangka-sangka. Yang mengambil merampas kehidupan dari kita adalah kematian dan bukan Allah.

Allah sebenarnya tidak menghendaki adanya kematian. Hal ini nampak jelas ketika kematian Lazarus, dimaka di katakan baha Yesus menangis. Mengapa Yesus menangis atas kematian Lazarus itu? Karena Ia tahu bahwa sejak awal mula, Allah tidak menghendaki kematian bagi manusia. Tetapi mengapa manusia harus mati? St. Paulus menjawab: Upah maut adalah dosa (Rom 6:23), tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. Melalui Yesus, Allah menganugerahkan kehidupan kekal bagi kita.

Saudara dan saudariku
Ketidakpastian hidup ini jangan sampai membuat kita tidak mau menikmati hidup sekarang ini. Saya kira, semua kita ini menghendaki agar ketika kita mati, semua tugas dan karya yang ingin kita lakukan, semua sudah selesai. Tetapi kita tidak tahu apakah kita punya kesempatan untuk itu.

Beberapa bulan yang lalu, saya sempat misa arwah di Oasis untuk seorang ayah yang belum lama menikah. Ia meninggal dalam keadaan yang tak disangka-sangka. Baru saja ia kembali Badminton pada malam hari...sebelum mandi istirahat sebentar....eh...ternyata meninggal.... kita bisa membayangkan betapa sedihnya keluarga yang ditinggalkan itu.

Saudara dan saudariku
Kita tidak tahu apakah kita punya kesempatan untuk menyelesaikan semua tugas kita, setelah itu baru meningggal. Tetapi kita semua ini punya kesempatan untuk setia dalam tugas dan tanggung jawab kita setiap hari, seperti hamba dalam bacaan Injil tadi.

Saudara dan saudariku
Ada sebuah kisah, pada zaman dahulu hiduplah seorang badut dalam sebuah istana kerajaan. Tugasnya adalah untuk melawak..membuat orang terhibur dan tertawa pada acara-acara besar kerajaan. Sang raja senang sekali dan merasa terhibur atas lelucon-lelucon yang ia bawakan. Semuanya selalu baru. Pada sautu hari, sang badut ini melakukan suatu kesalaha yang besar yang menyebabkan bahwa ia harus dihukum mati. Ia melakukan perselingkuhan dengan seorang putri raja. Sebelum human mati itu dijalankan, sang raja memanggil dia dan berkata: ”saya mengingkat kembali lelucon-lelucon yang pernah engkau bawakan selama ini dan bagaimana engkau membuat saya terhibur dengan semuanya itu. Karena itu saya ingin supaya engkau memilih sendiri dengan cara apa engkau ingin dihukum mati.

Sang badut itu berpikir sebentar dan menjawab: ”Tuanku raja, jika ini berkenan kepadamu, saya memilih untuk mati pada umur tua.” Raja itu merasa lucu atas jawaban itu. Jawaban itu sendiri membuat raja tertawa sehingga akhirnya sang raja mengabulkan permohonan sang badut itu. Dia dibiarkan hidup dan terus bekerja di lingkungan istana.

Saudara dan saudariku
Banyak dari kita pasti ingin meninggal pada umur tua. Namun kita tidak tahu, apakah kita memiliki kesempatan untuk itu.

Kita semua ini adalah pelayan Tuhan. Dalam Injil tadi Yesus mengatakan: ”Berbahagialah hamba-hamba yang didapati tuannya berjaga-jaga ketika ia datang”. Hamba yang setia dan bertanggung jawab tidak akan takut soal kapan tuannya itu akan datang. Hamba yang tidak setia melihat itu sebagai sebuah kemalangan, tetapi hamba yang setia melihat saat itu sebagai waktu yang baik.

Saudara dan saudariku
Saya mengajak kita untuk merenungkan perkataan Mother Teresa berikut ini: ”Kita tidak dipanggil untuk menjadi sukses, tetapi untuk setia

Saya mengakhiri renungan ini dengan sebuah kutipan: "Hidup Kristiani adalah seperti sebuah pesawat. Jika anda berhenti maka anda akan jatuh"

Homili Minggu Biasa XVIII - Tahun C - 2010

Bacaan
Pengkotbah 1:2; 2:21-23 Kol 3:1-5, 9-11 Luk 12:13-21

Homili
Salah satu penyataaan Martin Luther yang popular dan salah dimengerti oleh kaum reformis adalah: “God does not save people who are only fictitious sinners. Be a sinner and sin boldly, but believe and rejoice in Christ even more boldly.” Ungkapan ini terdapat dalam suratnya kepada Phillip Melacnhthon pada tahun 1521. (dikutip dari buku Karya Martin Luther, weimars, ed 2 hl.371.) Artinya: ‘Allah tidak menyelamatkan orang yang melakukan dosa asal-asalan, karena itu jadilah seorang pendosa yang sungguh, tetapi harus lebih sungguh percaya dan bersukacita di dalam Kristus.’ Aneh ya? Sebenarnya Martin Luther mau menunjukkan betapa berkuasanya Darah Kristus sehingga bisa menebus dosa manusia sebesar dan sebanyak apapun dosa manusia itu. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, pernyataan ini disalah tafsirkan sehingga orang berpikir bahwa “apa yang kita lakukan secara fisik, tidak akan mempengarahi keadaan jiwa kita di hadapan Allah, asalkan kita percaya kepada-Nya”. Doktrin sola fide (hanya iman saja) mengambil bentuk ekstrim dari pernyataan Luther ini.

Dalam bacaan 2 hari ini, St. Paulus melawan pemahaman iman yang demikian yang hidup di dalam jemaat di Kolose: “Saudara-saudara, kamu telah dibangkitkan bersama Kristus. Maka carilah yang di atas, di mana Kristus berada dan duduk di sisi kanan Allah. Pikirkanlah perkaraya yang di atas, bukan yang di bumi.’

Umat di Kolose memang percaya sungguh bahwa melalui pembaptisan mereka telah mati terhadap dosa dan telah dibangkitkan untuk menerima hidup baru bersama Kristus. Memang itu benar. Tetapi nampaknya dalam kehidupan sehari-hari mereka gagal untuk mengenakan manusia baru itu. Mereka bangga sebagai orang kristiani. Mereka bangga bahwa melalui pembaptisan mereka adalah anggota tubuh mistik Kristus tetapi dalam kehidupan nyata, mereka sama saja dengan orang-orang yang tidak beriman. Jadi ada dikotomi (keterpisahan) antara iman dan perbuatan. St. Paulus mengatakan dalam bacaan II hari ini: jika demikian, maka mereka bukanlah sungguh orang kristiani. Manusia baru yang kita terima melalui pembaptisan itu harusnya nampak dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu jika perhatikan bacaan II tadi, Paulus menggunakan 4 kata atau kalimat yang tegas sebagai sebuah perintah tentang apa yang harus mereka usahakan berkaitan dengan iman kepada Kristus itu. 4 kata perintah itu adalah: carilah… pikirkanlah… matikanlah… dan ‘jangan lagi kamu saling mendustai…”

Saya mengajak kita untuk melihat 4 hal itu. Dua perintah yang pertama: ”carilah yang di atas, di mana Kristus berada … (Kol 3:1) dan “pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi” (Kol 3:2). Dua perintah ini sebenarnya ingin menyampaikan satu hal yang sama dengan cara yang berbeda. Dua perintah ini tidak menunjuk pada suatu tindakan konkret tertentu tetapi lebih menyangkut cara berpikir dan disposisi hati dan pikiran.

Iman bukanlah sebuah pernyataan bahwa kita telah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat kita. Tetapi iman adalah sesuatu yang hidup di dalam kita....terus berkembang dan mengubah hidup kita dari dalam agar memperoleh pengetahuan yang benar tentang Allah.

Dua perintah yang terakhir “Matikanlah….dan janganlah mendustai…” menunjuk pada tindakan konkret.

Dalam versi Vulgata, kata Latin yang dipakai untuk menerjemahkan ’matikanlah’ adalah ’mortificate’ berasal dari kata mortifacare yang berarti matiraga. Jadi kata: ”matikanlah di dalam dirimu”…lebih berbicara mengenai penyangkalan diri. Di sini Paulus menegaskan bahwa kecendrungan-kecendrungan manusiawi kita dapat menyebabkan kita jatuh ke dalam dosa. Paulus menyebutkan apa saja yang harus dimatikan atau disangkal, ditolak di dalam diri kita: “percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala”

Menarik bahwa Paulus menyebutkan bahwa keserakahan itu sama dengan penyembahan berhala. Hal ini nampak jelas dalam kisah tentang orang muda yang kaya dalam Injil Lukas 18:18 dst. Keserakahan atau keterikatan batin kepada kekayaan akan membuat seseorang sulit untuk mendengar dan memperhatikan sabda Allah di dalam hidup ini.

Sebuah contoh kisah: ada seorang pengkotbah yang ketika mewartakan sabda Allah, melihat bahwa ada seorang ibu setengah baya menangis. Pengkotbah itu merasa bahwa kotbahnya telah membuat ibu itu tersentuh maka dia pun makin bersemangat. Semakin lama, ibu tadi tidak bisa lagi menyembunyikan tangisannya. Pada akhir kotbah, biasanya ada kesaksian. Pengkotbah tadi mendekati ibu tadi dan berkata: ”ibu..tadi ketika sedang berkotbah saya melihat bahwa ibu meneteskan air mata, boleh jadi ibu merasa tersentuh oleh sabda Allah tadi. Bolehkan sekarang ibu memberikan kesaksian untuk kami semua ayat manakah yang membuat ibu tergerak hati? Ibu itu agak ragu-ragu dan malu tetapi karena pengkotbah itu agak memaksanya sehingga akhirnya dia pun tampil ke depan. Dia memegang mike dan mulai menangis lagi.... akhirnya dengan suara terbata-bata dia mulai memberi kesaksian. Dia bilang: ”tahun lalu, saya kehilangan anjing kesayangan. Anjing itu adalah satu-satunya milik yang berharga bagi saya. Saya menangis ketika ia mati...tetapi lama saya sudah melupakan hal itu.... tetapi tadi ketika melihat anda mulai berkotbah, saya melihat janggutmu...dan itu mengingatkan saya akan anjing kesayangan saya. Setiap kali mengingat dia, saya menangis”..... ibu tadi ternyata tidak ingat akan satu kata pun dari firman Allah yang disampaikan...ia hanya ingat akan anjing miliknya yang berharga baginya.

Saudara dan saudariku
Harta milik itu penting untuk hidup. Akan tetapi harta milik seringkali mengambil tempat begitu penting dalam hidup seseorang. Ketika kita menjadi begitu terikat dengan harta milik maka kita sulit untuk mendengar panggilan yang mendesak dan penting dari Allah. Orang semacam itu nampak dalam bacaan Injil hari ini yang meminta Yesus supaya memohon saudaranya untuk membagikan harta warisan keluarga.

Yesus tidak keberatan kalau orang itu memiliki harta benda, Yesus juga memang menghendaki keadilan di dalam hidup ini, tetapi nampaknya Yesus sangat kecewa dengan orang itu.

Kita bisa membayangkan seperti ini. Yesus sedang memberikan pengajaran khusus kepada para muridnya tentang janganlah kuatir akan hidup… bahwa Bapa di surga tahu akan semua yang kamu perlukan…tentang bagaimana harus percaya kepada Penyelenggaraan Ilahi…eh…tiba-tiba muncul seseorang dengan persoalan seperti ini. Nampaknya…orang itu tidak peduli dengan apa yang disampaikan oleh Yesus. Fokus perhatiannya hanya kepada harta warisan. Sama seperti wanita dalam kisah di atas tadi..tidak mengingat satu kata pun dari firman Allah karena dia hanya memikirkan anjingnya.

Dalam kisah injil tadi, Yesus nampaknya menduga bahwa boleh jadi ada beberapa yang demikian di antara orang banyak itu, sehingga Ia berpaling dan berkata: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada kekayaannya itu.”

‘Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan.’ Ketamakan? Apa itu ketamakan? Orang dalam Injil tadi tamak nda? Orang tadi kan hanya minta keadilan. Bukankah itu sesuatu yang baik? Yesus mengingatkan kita bahwa ketamakan itu dapat menyamar dalam berbagai bentuk. Bahkan dengan kedok keadilan, orang itu menyatakan bahwa sebenarnya ia rakus dan tamak terhadap harta benda.

Untuk menjelaskan hal ini, Yesus menyampaikan perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh. Ketika kita membaca teks ini bertanya dimanakah letak kesalahan orang itu? Coba pikirkan. Orang kaya itu kerja keras dan jujur. Tanahnya memberikan banyak hasil akhirnya orang itu memutuskan untuk membangun lumbung yang lebih besar supaya bisa menyimpan semua hasil tanahnya sehingga ia bisa hidup tenang. Sayang…orang kaya itu tidak tahu bahwa hidupnya hanya tinggal kurang dari 24 jam.

Yesus menggunakan ilustrasi ini untuk menunjukkan ketamakan orang kaya tadi. Ketamakannya tidak terletak pada ia mencuri, atau melakukan kesalahan, tetapi ketamakannya terletak pada hidup santai dan bermalas-malasan. Seorang politikus Inggris Sir Fred Catherwood mencoba mendefenisikan ketamakan itu sebagai berikut: "keyakinan bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian. Kita mencoba mengambil apa yang dapat kita ambil, tetapi kemudian kita sendiri sulit untuk menggenggam semuanya itu”. Hal ini nampak jelas dalam bacaan I tadi. Pada waktu itu, orang-orang Israel tidak yakin bahwa ada kehidupan yang akan datang atau tidak. akhirnya mereka berusaha untuk meraih segala sesuatu yang bisa di dapat dalam hidup ini. Terhadap sikap hidup yang demikian, sang pengkotbah mengatakan bahwa 'segalanya adalah sia-sia"

Itulah Yesus bersikap sangat tegas terhadap segala bentuk ketamakan. Dalam bacaan II hari rasul Paulus mengatakan ketamakan atau keserakahan itu sama dengan menyembah berhala.

Bacaan Injil hari ini mengajak kita untuk percaya bahwa hanyalah Yesus lah yang dapat memberikan kehidupan kekal dan bukannya harta benda.

Kita kembali pada bacaan II, pada perintah ke-4 rasul Paulus kepada jemaat di Kolose. ’Jangan lagi kamu saling mendustai,…’ Umat di Kolose nampaknya saling mengajar satu sama lain, bahwa yang penting kita telah dibaptis…peduli amat dengan perilaku hidup kita. Dosa yang kita lakukan tidak mempengaruhi keadaan jiwa kita asalkan kita tetap percaya kepada Yesus.’ Ini adalah ajaran yang sesat. Ajaran sesat adalah suatu kebohongan dan Paulus menghendaki agar umat berhenti dari kebiasaan ini.

Pertanyaan refleksi untuk kita: apakah kita pun seringkali mengatakan hal yang sama, membohongi diri kita hanya untuk membenarkan suatu tindakan dosa? Misalnya: “Allah kan Maharahim dan Mahakasih, pasti Dia akan mengampuni saya’. Sementara itu kita tetap mau mengakui bahwa kita adalah murid Yesus? Pesannya jelas dan tegas bagi kita: Stop it. Berhentilah membohongi diri sendiri. Rasul Yakobus berkata: “Iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak 2:26).