St. Perawan Maria - Ratu



Renungan ini ditulis pada pesta St. Perawan Maria Ratu. Pesta ini diperingati pada hari ke 7 sesudah Hari Raya Maria diangkat ke surga karena masih berkaitan dengannya. Pesta St. Perawan Maria ratu menekankan soal martabat Maria sebagai ratu yang ditandai dengan pemahkotaannya di surga setelah ia ia diangkat ke sana. Di surga ia dihormati melebihi para malaikat. Maria bahkan dikatakan sebagai ratu para malaikat, ratu para kudus, dan ratu kita semua.

Hal terpenting yang mesti kita sadari adalah bahwa Maria mengikutisertakan kita dalam kemuliaannya itu. seorang ibu yang mengadakan suatu perayaan tanpa kehadiran salah seorang anaknya tentu akan merasa bahwa perayaan itu tidaklah sempurna. Sebagai ibu dari kita semua, Maria tentu ingin agar kita pun diikutsertakan dalam kemuliaannya. Maria memahkotai kita semua sebagai saudara dan saudari dari Putera Sulungnya yaitu Yesus Kristus. Peran setiap anak di dalam suatu keluarga tentu sangat penting dan tidak bisa digantikan oleh orang lain. Jika salah seorang anak Maria tidak hadir dalam kemuliaannya itu maka pemahkotaan Maria itu belumlah selesai.

Setiap kita diberkati. Setiap kita adalah unik sebagai anak-anak Allah. dalam hal-hal tertentu saya berani mengatakan bahwa setiap kita dipanggil untuk menjadi ‘raja’ atau ‘ratu’. Tentunya gelar ini harus dimengerti secara baik, bukan dalam arti dipanggil untuk memperlihatkan kemegahan diri tetapi dipanggil untuk melayani.

Kita mungkin merasa pas dengan gelar di atas, karena seringkali kita menilai diri kita tidak layak untuk itu.iman kita juga tidak cukup untuk percaya akan betapa luhurnya martabat dan panggilan kita di hadapan Allah. seringkali kita merasa ‘gagal’ dalam banyak hal. Merasa diri hina….. sering membandingkan diri dengan orang lain dan merasa bahwa orang lain itu lebih dari kita. Dengan demikian iri hati dan kebencian mulai merasuki relasi kita satu sama lain.

Legioner yang terkasih!
Dalam hidup ini, penerimaan diri adalah dasar bagi pertumbuhan kepribadian. Orang yang tidak menerima dirinya tidak akan bisa berkembang dengan baik. Penerimaan diri akan membuka jalan bagi kita untuk mencintai orang lain dan mencintai Allah.

Setiap kita ini bisa menjalani suatu kehidupan yang utuh di hadapan Allah. Tidak peduli bagaimana temperament kita atau apakah kita punya cacat fisik atau tidak. Tahukan kalian semua bahwa orang yang menulis syair antifon Maria “Salam ya Ratu (Salve Regina) yang indah dan terkenal itu adalah seorang rahib yang terlahir sebagai anak lumpuh? Dia juga menulis syair lagu: “Bunda Penebus yang berbelaskasih (Alma Redemptoris Mater) Namanya Hermann Contractus atau orang sering menyebutnya sebagai Hermann si lumpuh. Dalam hidupnya selama 41 tahun ia lalui dengan penuh penderitaan. Dia tidak bisa berdiri atau berjalan sedikit pun. Dia hanya bisa duduk di sebuah kursi yang dirancang khusus untuk menopang tulang belakangnya. Tangannya tidak kuat untuk mengangkat. Kata-katanya tidak jelas.

Kedua orang tuanya (keduanya termasuk bangsawan di Jerman) memutuskan bahwa tidak ada tempat lain bagi Putera mereka selain di biara. Tidak ada tempat lain yang terbuka bagi putera mereka jika ingin mendapatkan perawatan yang intensif. Bagi Hermann tidak ada pilihan lain selain menerima diri dengan kelumpuhan yang ia bawa sejak lahir.

Sekalipun demikian....di sana, di biara di Reichnau, tempat dimana dia dibawa sejak kecil, Hermaan bertumbuh dalam kepribadian yang matang dan menjadi suci. Cacat fisik seringkali membuat orang menolak diri, menjadi tertutup, tetapi tidak untuk rahib kecil si Hermann ini. Dia menerima dirinya apa adanya....tanpa ada pemberotakan dari dalam diri: mengapa saya terlahir seperti ini?

Dalam otobiografinya dia dikenal sebagai orang yang ramah dan bersahabat....selalu tertawa, selalu membawa sukacita bagi orang lain. Dia tidak menjadi beban bagi komunitasnya, malah semua orang mencintai dia.

Dia melatih tangannya yang lemah itu untuk melakukan sesuatu. Dia membetulkan jam atau alat musik yang rusak. Dia mengarang beberapa lagu. Dua syair lagunya yang terkenal sampai saat ini adalah “Salam ya Ratu” dan “Bunda penebus yang berbelaskasih”.

Kalau kita simak syair “Salam ya Ratu” yang juga adalah bagian doa terpenting dari tesera legioner, kita bisa melihat iman dan kepercayaan yang mendalam dari Hermann. Dalam kelumpuhannya, dia melihat Maria sebagai: “bunda yang rahim, kehidupan, penghiburan dan pengharapannya. Bukankah itu doa yang sangat indah? Doa yang mengungkapkan sebuah keluh kesah penderitaan yang amat mendalam.

Legioner yang terkasih!
Tidak ada satu pun dari antara kita yang lumpuh total sehingga Allah tidak bisa melakukan sesuatu melalui kita. Tidak ada satu pun dari antara kita yang terabaikan dari cinta dan perhatian Bunda Maria. Maria mencintai kita semua yang adalah anak-anaknya. Kembali pada kisah Hermann tadi, dia bisa saja mengutuk dan mengeluh karena tidak bisa berbicara dengan jelas atau pada kelumpuhannya. Tetapi itu tidak pernah terjadi. Dia malah dikenang karena kekudusannya yang melalui kedua syair lagunya di atas, membuat pemahkotaan Maria itu menjadi lebih bercahaya bagi kita semua.

Semoga kita bisa belajar dari Hermaan ini ya. Pertama, terima diri apa adanya. Kedua, membuka diri bagi karya rahmat Allah yang bekerja melalui kita. Hiduplah Legioner! Tota Pulchra est Mariae = segala yang indah pada pada Maria.

Tidak ada komentar: