Api Cintaku

Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Hari Rabu pagi aku bergegas menuju rumah duka untuk merayakan Misa pelepasan jenasah. Seorang ibu dengan tangan dan kakinya yang lumpuh sebelah akibat serangan “stroke” berjalan tertatih-tatih menyambut kedatanganku. Aku tidak mengenalnya sebelumnya. Ia mencium tanganku dengan deraian air mata : “Cintaku telah pergi ke surga”. Ternyata ia belum katolik. Kenangan atas cinta suaminya tertanam kuat dalam sanubarinya sehingga tak terlukiskan dalam rangkaian kata.

Cinta mereka mulai berpadu pada acara ospek di SMA dahulu. Hati suaminya itu tertambat padanya karena tertarik dengan matanya yang sendu. Matanya yang sendu memancarkan hatinya yang teduh. Ia sudah berkali-kali ingin mengungkapkan isi hatinya kepadanya, tetapi gagal karena takut ditolak. Pada suatu pagi, ia memberanikan diri memasukkan surat cintanya yang berwarna merah muda di tasnya ketika ia sedang asyik bermain bola voli dalam pelajaran olah raga. Hari-hari penantian terasa lama dan jantungnya berdebar dengan kerasnya. Tak terduga cintanya diterimanya ketika mereka berjumpa di kantin sekolah. Ia melontarkan cita-cita yang indah dalam keluarga yang bahagia yang dapat membuat jiwa melayang ketika mendengarnya.

Mereka menikah dan dikaruniai empat putera. Keluarga mereka merupakan keluarga yang bahagia. Sang istri selalu berada di rumah ketika sang suami pulang. Ia mengatakan bahwa ia ada untuk suaminya. Suaminya pun berusaha pulang tepat pada waktunya agar bersama-sama dengan istri dan anak-anaknya. Setiap saat mereka saling merindukan. Saling merindukan membuat cinta mereka selalu terasa segar.

Pada suatu siang, ia merasakan kepalanya pusing ketika sedang memasak “makanan spesial” untuk suaminya yang merayakan ulang tahun yang kelima puluh. Ia jatuh di lantai karena serangan tekanan darah tinggi. Separoh badannya lumpuh. Suaminya tetap setia kepadanya. Habis pulang kerja, ia selalu menyisir rambut istrinya. Istrinya suatu hari bertanya kepadanya : “Pa, mengapa engkau selalu menyisir rambutku ?” Suaminya menjawab : “Aku selalu menyisir rambut mama agar mama tetap merasa cantik sehingga tetap percaya diri”.

Pada suatu hari, tanpa tanda-tanda sebelumnya, sang suami itu meninggal dunia di kamarnya ketika baru pulang dari kantor sambil memegang martabak kesukaan istrinya yang baru saja dibelinya untuknya. Banyak orang tidak mengira bahwa sang suami yang sehat itu meninggal dunia lebih dahulu daripada istrinya yang sakit. Suaminya meninggal dunia sebagai seorang Katolik karena ia menerima pembaptisan pada Malam Paskah (lima bulan sebelumnya). Ketika upacara kremasi akan dimulai, ia mencium peti jenasah suaminya sambil berkata : “Api yang akan digunakan untuk mengkremasikan suamiku melambangkan api cintaku yang menjiwai hidup kekalnya. Selama jalan pa !”.

Tuhan menganugerahkan diri-Nya dalam wujud “cinta”. Kobaran api cinta sangat dahsyat sehingga jarang ada hati yang mampu mengelak darinya. Nyala api cinta bisa membuat manusia bertindak dengan penuh resiko di luar akal manusia. Seorang Samaria yang mau turun dari kudanya untuk menolong seorang manusia yang membutuhkan uluran tangannya walaupun kemungkinan bahaya ada di depan matanya merupakan contohnya. Nyala api cinta tidak akan padam asalkan senantiasa diminyaki dengan kerinduan akan pengabdian. Terimalah cinta sebagai anugerah Tuhan dan bagikan nyalanya sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pemberinya. Api cinta membuat hidup bahagia karena menghanguskan kecemburuan, kebencian, dan kemarahan. Tuhan pun menantikan hati yang penuh cinta untuk menikmati kehangatan kepak cinta-Nya : “Dengan kepak-Nya Ia akan menudungi engkau, di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung” (Mazmur 91:4).

Tidak ada komentar: