Minggu Biasa ke 25 - tahun A - 2011

Bacaan

Yes 55:6-9
Flp 1:20c – 24.27a
Mat 20:1-16a

Renungan oleh pastor Tonny Blikon, SS.CC

Saudara dan saudariku yang terkasih!
Dalam bacaan Injil nanti kita akan mendengar kisah perumpamaan tentang seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. Ada yang mulai bekerja pada pagi hari, ada yang jam 9 pagi, ada yang jam 12 siang, ada yang jam 3 sore dan ada yang jam 5 sore. Setelah itu masing-masing mendapat upah yang sama yaitu 1 dinar. saya yakin kita semua tahu kelanjutan kisah perumpamaan ini.

Saya akan mengawali renungan ini dengan sebuah kisah: Pada suatu hari ada seorang pengusaha yang sangat kaya melakukan perjalanan bisnisnya. Dalam perjalanan itu dia bertemu dengan dua orang.... mereka saling berkenalan dan bersahabat satu sama lain. Tentang dua orang itu, yang pertama namanya RAKUS dan yang kedua namanya IRI. Nah....ketika mereka harus berpisah, sang pengusaha berkata kepada keduanya, ”Sebelum kita berpisah, saya ingin memberikan kamu hadiah. Kamu boleh minta apa saja. Caranya begini: Orang yang pertama menyampaikan permintaaannya - akan langsung mendapatkan apa yang dimintanya. Orang yang kedua tidak perlu menyampaikan lagi permohonanya karena dia pun langsung mendapatkan dua kali dari apa yang didapatkan oleh orang pertama. Misalnya, kalau orang pertama meminta satu mobil, maka orang kedua akan mendapatkan dua mobil.”

Kedua orang itu sangat senang dengan tawaran itu yang menarik itu. Sayangnya, masing-masing menunggu siapa yang harus mulai. Si RAKUS berharap bahwa si IRI akan menyampaikan permohonannya terlebih dahulu sehingga dia bisa mendapatkan dua kali lipat. Sebaliknya si IRI juga menunggu supaya si RAKUS yang lebih dulu menyampaikan keinginannya sehingga dia bisa dapat dua kali lipat. Setelah menunggu dan menunggu, ternyata tidak ada yang memulai untuk menyampaikan permintaannya. Akhirnya si RAKUS mengamcam si IRI; ’Ayo..kamu yang duluan menyampaikan permintaanmu, kalau tidak kamu saya pukul nanti.” akhirnya si IRI berkata: ”Baiklah kalau begitu. Saya minta supaya satu mata saya menjadi buta.” Pada saat itu juga satu mata si IRI menjadi buta dan pada pada saat yang sama kedua mata si RAKUS menjadi buta.

Saudara dan saudariku
Kedua orang dalam kisah tadi menjadi korban kerakusan dan iri hatinya sendiri. Kerakusan dan iri hati seringkali melekat dalam hati manusia dan telah menimbulkan banyak persoalan dalam kehidupan bersama.

Dalam hidup ini, kita seringkali iri hati terhadap orang yang bernasib lebih baik dari diri kita. Seringkali kita membandingkan: ”oh dia lebih berbakat dari saya, dia lebih kaya, lebih cakep, lebih cantik, dll”

Dengan berpikir demikian, kita telah melakukan suatu kesalahan yaitu: menilai orang lain berdasarkan standar yang sangat duniawi dan bukan dengan standar Allah. Seandainya kita dapat menilai mereka berdasarkan ukuran yang diberikan oleh Allah maka kita akan menyadari bahwa kita sama-sama bernasib baik.

Kalau kita memang merasa bahwa diri kita kurang beruntung bila dibandingkan dengan orang lain, maka St. Paulus meneguhkan kita dengan kata-katanya kepada jemaat di Korintus: ”Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti” (1Kor 1:27-28).

Inilah cara kerja Allah. Orang yang bodoh dipilih oleh Allah, yang lemah dipilih oleh Allah, yang tidak terpandang dipilih oleh Allah. Lantas mengapa kita suka membanding-bandingkan berkat Allah bagi kita dengan berkat Allah bagi orang lain? Hal itu hanya akan membuat kita masuk dalam dosa iri hati dan akhirnya kurang bersyukur kepada Tuhan .

Allah dalam bacaan I tadi berbicara melalui nabi Yeremiah: ”Rancangan-Ku bukanlah rancanganmu dan jalanmu bukanlah jalan-Ku. Seperti tingginya langit dari bumi, demikian pun jalan-Ku lebih luhur dari jalanmu dan pikiran-Ku lebih mulia dari pikiranmu”.

Saudara dan saudari
Bacaan Injil tadi memang mengundang orang untuk mempertanyakan dimanakah keadilan Allah? Protes kaum pekerja yang masuk lebih awal memang bisa kita terima secara akal sehat. Kalau memang pemilik kebun anggur itu murah hati, apakah dia tidak memberikan ’bonus’ kepada mereka yang bekerja lebih awal?

Ada beberapa penafsir yang mencoba meminimalisasikan persoalan ini dengan mengatakan: mungkin kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang bekerja lebih awal dengan mereka yang bekerja hanya satu jam, setara atau sama. Mereka yang bekerja lebih awal, banyak waktu dihabiskan dengan sia-sia sedangkan mereka yang masuk kemudian langsung bekerja dengan sungguh-sungguh.

Nah... ini hanyalah tafsiran yang juga berdasarkan akal manusia. Akan tetapi perumamaan ini lebih berbicara tentang sifat radikal dari belaskasih Allah. Allah menunjukkan belaskasih kepada kita bukan karena jasa-jasa kita melainkan atas dasar kasih sayang itu sendiri.

Saudara dan saudariku
Pengalaman ’mengeluh’ ini seringkali kita alami di dalam kehidupan kita. Banyak orang mengeluh karena kerja, pelayanan, dedikasi dan pengorbanan mereka untuk gereja tidak dibayar dengan dengan gaji atau tanda jasa yang setimpal. Atau seringkali kita mendengar orang mengeluh seperti ini: ”Selama ini saya aktif di mana-mana: di lingkungan, Legio, kharismatik, rajin misa, ikut offisi, kok hidup saya tetap menderita? Jika kita berpikir demikian, baiklah dengan rendah hati kita harus mengakui bahwa kita tidak bedanya dengan para pekerja yang masuk pagi-pagi benar dalam kisah Injil tadi.

Saudara dan saudariku
Tidak ada di antara kita yang dapat menuntut berkat yang sebenarnya telah Allah siapkan bagi kita. Segala karya baik kita, tidak membuat kita berhak menuntut rahmat istimewa dari Allah. Kata ’hak’ tidak ada dalam kosa kata Kerajaan Allah.

Satu hal yang dapat kita lakukan hanyalah mengharapkan belaskasih Allah. Logika manusia ada batasnya, tetapi rahmat dan belaskasih dari Allah tidak terbatas.

Rahmat dan berkat Allah itu selalu berlimpah. Dan setiap orang menerima bagiannya sendiri-sendiri. Jika Allah memang memberikan kita lebih, tidak berarti kita lalu bersikap sombong dan mengabaikan orang-orang yang kurang beruntung.

Saudara dan saudariku
Bagi saya, hanya ketika orang yang berkelebihan dan yang berkekurangan, hidup bersama dalam kerendahan hati dan kesederhanaan, dan mengakui bahwa Allah adalah kasih, barulah mereka dapat belajar arti yang sebenarnya dari cinta dan keadilan.

Beberapa point untuk refleksi kita.

Dalam Injil Yesus mengajarkan bahwa kita harus membuang segala rasa cemburu dan iri hati. Hal ini nampak jelas dalam bacaan Injil hari ini. kepada mereka yang menggerutu, pemilik kebun anggur itu berkata: ”tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikan engkau, karena aku murah hati?”

KGK, pada pembahasan bagian Sepuluh Perintah Allah mengatakan demikian:

KGK 2552: Perintah kesepuluh melarang kelobaan, yang muncul dari kerinduan tanpa batas dan penuh nafsu akan kekayaan dan akan kekuasaan yang berkaitan dengannya.

KGK 2553: Iri hati terdiri dari kesedihan karena orang lain mendapatkan untung dan kerinduan yang tidak terkendalikan untuk memperoleh milik orang lain. iri hati adala suatu kebiasaan buruk yang pokok.

Amsal 14: 30 “Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang” – artinya iri hati menghancurkan hidup kita, justru dari dalam.

Iri hati adalah dosa yang membuat kita tidak mampu mengenal keindahan dan keunikan orang lain dan membuat kita tidak dapat menghargai orang lain. Nah....agar kita dapat mendekatkan diri kepada Allah yang adalah sumber segala kebaikan, keindahan dan kemurahan hati, maka sikap iri hati ini harus dimatikan. Iri hati membutakan mata kita.

Karena itu, Injil hari ini mengajak kita untuk berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain. Injil mengundang kita untuk menerima diri kita sebagaimana adanya kita. Ia mengajak kita untuk mengikuti nasihat rasul Paulus kepada umat di Galatia: ”Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain” (Gal 6:4).

Hal yang terpenting dalam hidup ini bukanlah apa yang orang lain pikirkan tentang dirimu, tetapi apa yang Allah pikirkan tentang anda. Bukan soal bagaimana orang lain telah menilai saya tetapi tetapi bagaimana Allah menilai hidup saya.

Untuk itu marilah kita bersyukur kepada Tuhan atas segala rahmat, berkat, dan talenta yang telah Tuhan berikan kepada kita. Berkat Allah selalu lebih dari yang kita harapkan....

Tidak ada komentar: