Memikul Salib: Tanda Cinta kepada Yesus

A_22nd Sunday OT_Tonny Blikon, SS.CC
St. Odilia Parish – citra Raya

Saudara dan saudariku
Dalam Bacaan Pertama tadi kita mendengar keluhan nabi Yeremiah: ‘Engkau telah memperdaya aku, ya Tuhan, dan aku telah tertipu…aku telah menjadi tertawaan orang sepanjang hari, semua mereka mengolok-olok dan menghina aku”

Yeremiah dihina karena pemberitaan firman yang ia sampaikan. Setiap kali dia harus berbicara dengan keras bahkan teriak’. Tetapi semuanya sia-sia. Tidak ada yang mendengarkannya. Akhirnya Yeremiah berpikir lebih baik berhenti mewartakan firman Allah daripada saya dijadikan bahan tertawaan orang. Lebih baik saya mengambil sikap diam terhadap segala sesuatu yang terjadi.’ Akan tetapi, ketika ia mengambil sikap diam, - pengakuan Yeremiah - “maka di dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dlam tulang-tulangku, aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup”

Inilah penderitaan atau salib yang dialami oleh nabi Yeremiah sebagai nabi Allah. Dalam Injil hari ini Yesus mengatakan: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku”

Bicara soal salib berarti bicara soal penderitaan. Dan tentu banyak orang tidak suka kalau bicara soal ini, dan tentu tidak mengharapkannya. Tetapi dalam kehidupan ini, sebagai pengikut Yesus, salib memang tidak bisa dihindari. Bahkan dikatakan sebagai hal yang mesti kita tanggung.

Saya mengajak kita untuk mendengarkan sebuah kisah ini: Ada seorang ibu yang ditinggalkan suaminya setelah 11 tahun hidup bersama sebagai suami-istri. Suami memutuskan untuk meninggalkan Tuhan dengan menjadi penganut agama lain supaya bisa menikah lagi. Berikut ini adalah sharing dari ibu itu: “Saya ditinggalkan bersama dengan ketiga anak saya yang masih kecil. Perasaan kecewa, marah, malu, terhina dan putus asa beradu menjadi satu. Belum lagi saya harus menghadapi anak pertama kami yang berumur 9 tahun, dimana anak itu menyimpan dendam dan kebencian yang mendalam kepada ayahnya. Saya juga harus membesarkan anak kedua yang baru berumur 4 tahun dan yang ketiga yang masih bayi.

Saat itu, masyarakat di sekitar tidak henti-hentinya bergossip bahwa semuanya itu terjadi karena kesalahan saya. Keputusan sang suami didukung dengan dalih beribadah ‘ala’ mereka. Saya disudutkan sebagai tersangka karena dianggap tidak becus melayani suami.

Hal yang paling menyakitkan adalah sikap dan perilaku tman-teman seiman. Mereka menghakimi saya karena pernikahan kami terpaksa harus diakhiri di pengadilan. Saya tahu bahwa perceraian semacam itu tidak diakui oleh gereja.

Tanpa menanyakan perasaan saya, mereka semua memvonis saya bahwa saya telah melanggar firman Tuhan.

Jujur...kalau boleh memilih, saya tentu lebih memilih sebagai istri yang dilindungi suami daripada harus menyandang status janda yang ditinggalkan. Lebih lanjut, orang-orang seiman pun menuduh saya sebagai istri yang tidak becus sehingga suami lari meninggalkan Tuhan dan keluarga. Mereka tidak mau melihat perjuangan saya dalam membesarkan ketiga anak saya. Mereka tidak bisa merasakan betapa sulitnya menghadapi anak-anak yang mengalami luka batin dan trauma yang berkepanjangan.”

Saudara dan saudariku
Ibu itu hampir saja meninggalkan imannya. Dia sudah mulai tidak ke gereja lagi. Hal ini berjalan selama beberapa tahun.

Menjalani hidup sebagai single parent tentu tidak mudah. Sang ibu mengalami kelelahan emosi. Rasanya beban hidup semakin berat. Dia berusaha untuk memungut dan merekatkan kembali serpihan-serpihan hati yang dialami oleh anak-anaknya, terutama anak pertama yang hatinya hancur karena tindakan kekerasan ayahnya. Tentang anak pertama ini: dia sempat kehilangan rasa percaya diri akibat perasaan ditolak dan dicampakan oleh ayahnya. Dan hal ini membuat si ibu harus benar-benar sabar dalam mendampinginya.

Belum lagi si bungsu yang memerlukan perhatian khusus. Sang ibu kewalahan menjawab pertanyaan-pertnyaannya. Si bungsu bertanya: “Siapakah ayahnya? Belum lagi kalau ia bertanya: ’Mengapa begitu banyak orang baik kepadanya tetapi tidak ada satupun yang dapat dipanggilnya ayah”

Anak-anak memang baik tetapi terkadang mereka berantem dan merebut perhatian. Mereka belum mengerti betapa beratnya ibu bekerja mencari uang untuk mereka. Ketika sang ibu lelah setelah seharian bekerja, anak-anak menyambutnya dengan persoalan mereka masing-masing.

Masalah biaya pendidikan dan kesehatan anak-anak menjadi PR besar baginya. Sebetulnya ibu itu masih berharap agar sang suami dapat mengingat tentang ketiga anaknya. Dengan itu semoga dia sadar dan mau kembali. Tetapi semuanya itu adalah harapan yang kosong. Jangankan memberi bantuan keuangan, bertelepon atau sms untuk menyapa darah dagingnya sendiri pun tidak pernah.

Sudah lama sekali si ibu tidak ke gereja karena merasa kecewa dengan Tuhan. Pada suatu Sabtu sore (minggu), dia melihat tetangga-tetangganya ke gereja. Dalam hati kecilnya ada suara yang berkata: “coba sekali ini aja kamu datang datang ke gereja.” Nah...kebetulan bahwa pada saat itu dibawakan dibacakan bacaan-bacaan yang kita dengar tadi.

Dalam homilinya sang pastor berseru: “Bahkan Yesus sendiri pun harus memikul salib-Nya. Dalam penderitaan yang amat mendalam Dia berseru: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?", yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”.

Apakah dengan seruan itu, Bapa datang membantu dan menolongnya pada saat itu? Seringkali dalam penderitaan hidup ketika Allah seakan tidak menjawab doa-doa kita, kita meresa kecewa. Kita kecewa karena Tuhan sering tidak datang pada saat kita mengharapkan kehadiranNya. Tetapi sungguhkah Tuhan itu telah tuli? Sungguhkah Tuhan bersikap masa bodoh dan tidak mau peduli pada harapan dan doa-doa kita?

Lebih lanjut Pastor berkata: ”Satu kalimat dalam Doa Bapa Kami yang setiap hari kita doakan adalah: “Jadilah kehendak-MU di atas bumi seperti di dalam surga.”. Kehendak Allah macam apakah yang kita harapkan? Bukankah kita selalu mengharapkan kehendak Allah yang baik-baik saja, yang menyenangkan dan membahagiakan kita? Hanya yang baik-baik sajalah yang membuat kita bisa bersyukur. Mengapa ketika kita mengalami peristiwa yang membuat kita berduka, yang menyakitkan dan memedihkan kita, tidak mampu kita terima sebagai satu anugerah-Nya juga?

Sang ibu tersentak dengan renungan itu. Dia merasa ditegur oleh Tuhan. Dalam hatinya dia seolah mendengar suara Tuhan yang berkata: “Semua yang terjadi dalam hidupmu itulah salibmu, maka pikullah!”

“Tetapi Tuhan....salib saya terlalu berat”, keluh sang ibu di dalam hatinya. Dan Tuhan menjawab: “Salibmu memang tidak ringan, tetapi coba lihatlah salib-Ku”. Pikiran sang ibu diajak untuk mengingat sengasara Kristus.... ketika dia berusaha untuk membayangkan penderitaan Yesus, satu per satu luka batinya pun terbalut.

Pada akhir homili sang Romo menyanyikan lagu “the Old Rugged Cross” – Saya yakin kita semua tahu lagu itu.

Pada bagian refrain diulang beberapa kali ...



Reff : Hendaklah kucinta salib-Nya
Sampaiku menghadap tahta-Nya
Tak lagi kulepas salib-Nya
Sampai kutrima mahkota-Nya

Sang ibu tadi tak kuasa menahan air mata, seraya berkata: “Tuhan, walaupun salib ini sungguh berat, tapi saya mau merengkunya demi mahkota kemulian-Mu”

Saudara dan saudariku.
Dari kisah ini saya mau mengajak kita untuk melihat dan bersikap positip terhadap salib hidup kita.

Jangan katakan, “kenapa masalah silih berganti!” tetapi bersyukurlah bahwa Tuhan selalu memberiku masalah, agar saya menjadi kreatif menemukan “solusinya”.

Jangan katakan, kenapa cobaan silih berganti datang, tetapi syukurlah bahwa Tuhan tidak pernah berhenti “mengejutkan” saya sampai terluka jiwaku, agar saya setia pada-Nya kapanpun & di manapun.

Jangan katakan, kenapa hidup rohaniku malah mengering sekarang ini, padahal aku sudah rajin berdoa setiap hari, siang dan malam! Tetapi katakanlah, Tuhan, syukur kepada-Mu Engkau memberiku kesempatan untuk berjalan di padang gurun, saat aku sulit menemukan sumber air. Saat tidak ada sumber air yang engkau cari, di situlah saatnya engkau menemukan sumber air yang sejati. Dialah Tuhan Sang Sumber Air sejati..!

Jangan katakan, kenapa salibku setiap hari selalu bertambah berat, tetapi semakin engkau merasakan beratnya salibmu, itulah pertanda bahwa Tuhan makin percaya padamu!

Dengan memanggul salib hidup, kita mengikuti nasihat santo Paulus dalam bacaan kedua tadi: “supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah”

Saudara-saudaraku.
Mari Saya mengajak kita untuk masuk dalam saat hening, sambil mempersembahkan kepada Tuhan, salib dan penderitaan hidup kita. Pengalaman ibu tadi bahwa ketika dia berusaha untuk membayangkan penderitaan Yesus, satu per satu luka batinya pun terbalut. Semoga ini juga menjadi pengalaman rohani kita pada saat ini.

Lagu: di bukit yang jauh.

Spoken:
Tuhan.....Janganlah aku berdoa agar diluputkan dari bahaya tetapi agar berani untuk menghadapinya. Janganlah aku mohon untuk dihindarkan dari kepedihan tetapi agar mampu menaklukkannya. Janganlah aku mencari teman senasib dalam pergumulan hidup ini tetapi agar mampu berjuang dengan daya upayaku sendiri untuk membangun persaudaraan yang sejati dengan siapa saja. Janganlah aku meminta agar diselamatkan dari keterasingan tetapi agar dengan sabar melangkah menuju ke kebebasanku. Semoga aku tidak menjadi pengecut: tidak hanya sanggup merasakan keagunganMu dalam keberhasilanku tetapi juga dapat merasakan genggamanMu di dalam kegagalanku.

Tidak ada komentar: