Air mata Tuhan

Refleksi Pastoral
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Berita kematiannya seratus hari yang lalu sungguh mengejutkanku. Ia menjadi sahabatku ketika aku memberikan Sakramen Perminyakan Suci kepadanya. Saat itu ia akan menjalani pengobatan di Singapore karena penyakit Leukimia yang dideritanya pada usia empat puluh satu tahun. Anak-anaknya masih kecil-kecil. Anak sulungnya berusia sepuluh tahun, anak kedua berusia sembilan tahun, dan yang terkecil empat tahun. Istrinya belum Katolik sehingga anak-anaknya belum dibaptis. Sejak menerima Sakramen Perminyakan Suci, semangat iman katoliknya semakin berkobar. Ia mengajak istri dan anak-anaknya mengikuti Ekaristi setiap hari Minggu. Ia pun yakin bahwa Tuhan akan menyembuhkannya. Istrinya mengusahakan pengobatan yang terbaik baginya agar ia sembuh. Ia rela menjual rumah barunya yang indah di Pantai Indah Kapuk dan menempati sebuah rumah kontrakkan. Baginya rumah dapat dibelinya lagi pada saatnya nanti, tetapi perhatian terhadap suaminya merupakan kesempatan emas yang tak dapat terulang kembali.
Aku pun mempunyai kenangan yang indah tentang dia. Kenangan yang tak akan pernah terlupakan dalam anganku. Ia menemuiku di Gereja Regina Caeli dengan tubuh yang lemah dan kepala sudah botak ketika aku akan pindah satu tahun yang lalu. Ia mengatakan : “Romo, warisanku kepada istri dan anakku adalah iman katolik. Semoga istri dan anak-anakku mau menerima dan meneruskan warisan imanku ini”. Kenangan akan warisan imannya membuat istri dan anak-anaknya menangis tersedu-sedu. Getaran keinginan untuk menerima iman katolik telah menusuk-nusuk jiwa mereka. Isak tangis haru dari sahabat-sahabatnya memenuhi ruang di mana misa berlangsung. Selain umat lingkungan Santo Matius Paroki Regina Caeli-Pantai Indah Kapuk – Jakarta Utara, banyak sahabat-sahabatnya di SMA Ricci dahulu mengikuti Misa untuk mengenang arwahnya. Ia dikenal oleh sahabat-sahabatnya sebagai penolong di dalam kesusahan. Istrinya berbisik kepadaku : “Perkataan terakhir suamiku dan semangatnya untuk hidup memampukan aku dalam membawa anak-anak berhasil dalam iman dan segalanya”.

Aku sempat kecewa dengan Tuhan. “Dia yang sanggup memelekkan mata orang buta, mentahirkan orang kusta dan membuat orang lumpuh berjalan tidak mau menyembuhkan orang yang baik ini, orang yang suka membantu dalam keuangan orang terbelit masalah finansial ? Mengapa Dia tega membiarkan seorang pendoa dan dekat dengan-Nya tinggal di rumah kontrakkan dan mengembuskan nafasnya terakhir di sana pada usia empat tiga tahun ?”, kataku kepada Tuhan. Kubur menutup pandanganku kepada kehadiran Tuhan. Syukurlah bahwa Roh Allah menyadarkan aku bahwa kematian menantang imanku. Kesembuhan bukan satu-satunya cara Allah menghadirkan diri-Nya. Di tengah kedukaan karena kematian, Tuhan Yesus menyatakan diri-Nya sebagai pemberi hidup : “Akulah kebangkitan dan hidup; berangsiapa percaya kepadaku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya” (Yohanes 11:25). Sang Pemberi hidup itu mempunyai perasaan empati yang mendalam sehingga ia menangis karena merasakan penderitaan orang-orang yang dikasihi-Nya. Tuhan Yesus menangis atas kematian Lazarus, sahabat-Nya, yang telah terbaring empat hari di makam. Tuhan yang dibutuhkan bukan hanya Tuhan yang penuh kuasa, tetapi Tuhan yang dapat merasakan setiap tetesan air mata dan penderitaan umat-Nya. Tuhan yang dapat mengalami seluruh kesedihan, kegelisahan, ketakutan, dan kedukaan anak-anak-Nya. Kehadiran Tuhan memberikan pengiburan dan sekaligus menumbuhkan pengharapan bagi orang-orang yang berada dalam detik-detik kematian. Orang-orang yang tak berpengharapan seperti tulang-tulang kering yang berserakan dalam penglihatan Nabi Yehezkiel (Yehezkiel 37). Tuhan Allah memintanya untuk menubuatkan bahwa tulang-tulang kering itu akan dihidupkan kembali. Allah memulihkan kehidupan dan membangkitkan harapan yang telah pudar.

Tulang-tulang kering itu berserakan lebih banyak di depan mata daripada di rumah-rumah kenangan. Banyak di antara anak-anak Tuhan telah kehilangan semangat dan gairah hidup sehingga berjalan tanpa makna dan pengharapan. Banyak di antara mereka meninggalkan Tuhan dan juga ada yang mengakhiri kehidupannya sebelum garisnya tiba. Hidupkanlah tulang-tulang kering itu melalui kehadiran di tengah-tengah mereka dengan membawa iman. Menangislah sebagai tanda empati untuk meneguhkan mereka sehingga mereka tidak mengasihani diri sendiri dan melihat diri sendiri sebagai yang paling malang di dunia ini. Mohonkanlah mulut ini dipenuhi dengan kata-kata yang bermakna. Perkataan yang bermakna mengandung kuasa untuk menyalakan api yang hampir pudar. Dengan demikian, kekuatiran tidak dibiarkan menang atas iman : “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan ketertiban” (2 Kor 1:7). Tuhan memberkati

Tidak ada komentar: