Minggu Biasa XV-Tahun C-2010



Bacaan
Ul 30:10-14 Kol 1;15-20 Luk 10:25-37

Saudara dan saudariku
Dalam kisah tentang penciptaan dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. ‘Menurut gambar dan rupa-Nya’ bukan soal tampang luar, tetapi secara rohani-apa yang ada dalam diri kita. Itu berarti bahwa Allah telah menanamkan dalam diri kita Cinta dan belaskasihan-Nya. Ingat, rasul Yohanes mengatakan Allah adalah kasih. Juga dalam diri kita, Allah menempatkan hukum-Nya. Hukum Allah itu berkaitan dengan yang baik dan yang jahat.

Boleh jadi kita tidak terlalu menyadari akan rahmat pengetahuan ini karena kita adalah orang yang beriman. Tetapi seringkali seorang Atheist pun mampu menangkap kehadiran Ilahi dalam suatu tindakan kasih yang sederhana. Misalnya kesaksian hidup Mother Teresa, membuat banyak orang termasuk orang atheis menyadari kehadiran Ilahi dalam suatu tindakan sederhana.

Dalam bacaan I hari ini, yang diambil dari kitab Ulangan menunjukkan bahwa telah menempatkan pengetahuan ini dalam diri setiap orang dan bukan hanya kepada bangsa terpilih. Pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu bukanlah sesuatu yang berada di luar diri kita, tetapi dikatakan tertulis di dalam hati kita. Hal ini tidak berarti kita tidak perlu berusaha untuk memahami pengetahuan yang telah diberikan oleh Allah dalam hati kita itu. Akan tetapi kita justru harus berjuang keras untuk memahami kehendak Allah di dalam hati kita. Untuk memahami kehendak Allah itu, biasanya kita harus merenung melalui meditasi dan juga menggunakan akal sehat untuk memahami apa yang ada di dalam hati kita. Kita harus berusaha keras untuk memahami suara-suara yang ada di dalam hati kita karena ternyata ada banyak suara yang ada di sana.

Salah satu hasil dari usaha manusia untuk memahami apa yang benar dan apa yang salah adalah: hendaknya kita memperlakukan sesama kita sebagaimana kita harapkan orang lain berbuat kepada kita. Saya kira ini suatu kebenaran umum yang juga diakui oleh orang yang tak beragama sekalipun. Dengan kata lain, jika kita tidak ingin orang melakukan suatu tindakan tertentu kepada kita, maka janganlah lakukan itu kepada orang lain.

Ini adalah suatu kebenaran umum yang seringkali sulit sekali kita lakukan. Kita lihat dalam bacaan Injil hari ini: Seorang ahli Taurat berusaha membenarkan diri di hadapan Yesus dengan bertanya: ‘Siapakah sesamaku manusia?”. Yesus memberikan jawaban yang jelas. Inti dari jawaban Yesus adalah: Setiap orang yang pernah hadir dalam hidupku adalah sesamaku. Setiap orang yang membutuhkan bantuan adalah sesamaku. Setiap orang yang kita jumpai adalah sesama kita. Setiap orang yang peduli dan mencintaiku adalah sesamaku.

Yesus tidak berbicara tentang orang yang tinggal bersebelahan dengan kita atau tetangga kita tetapi semua orang.

Dalam bacaan II tadi dikatakan: “Kristus adalah gambar Allah, yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu yang ada …” Jika merenungkan kutipan ini, kita akan mudah melihat bahwa ternyata Kristus hadir dalam setiap ciptaan tetapi pertama dan terutama Ia hadir dalam setiap manusia. Dalam kisah tentang Pengadilan Terakhir, Yesus mengatakan: “apapun yang kau lakukan bagi sesamamu, itu kau lakukan untuk Aku” (Mat 25:40). Artinya, jika kita melakukan sesuatu yang jahat kepada sesama kita, maka itu kita lakukan bagi Kristus. Jika kita melakukan sesuatu yang baik kepada sesama berarti itu kita lakukan bagi Kristus. Pada tataran pengetahuan, kita semua pasti tahu akan hal ini, tetapi sayang bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita justru gagal melakukan hal ini.

Oleh karena itu, saya mengajak kita untuk melihat secara lebih detail bacaan Injil hari ini. Ketika seorang ahli taurat bertanya kepada Yesus, Ia menjawab dalam sebuah perumpamaan:

Ada seorang yang turun dari Yerusalem ke Yeriko. Yesus tidak menyebut orang itu dari golongan mana, apakah ia seorang Farisi, ahli Taurat atau rakyat jelata. Atau dia dari suku apa tidak dikatakan. Hal yang pasti bahwa orang itu adalah orang Yahudi. Apakah orang itu baik atau tidak, punya kedudukan penting atau bukan? Hal itu tidak penting bagi Yesus. Yang penting adalah bahwa dia seorang manusia.

Ia jatuh ke tangan penyamun. Kasihan banget orang itu. Beberapa minggu yang lalu saya ke Oasis dan di sana saya ketemu dengan salah seorang umat kita yang keluarganya meninggal karena mutilasi. Penyamun dalam dunia sekarang dapat kita bayangkan sebagai aktor mutilasi tersebut. Di sini Yesus berbicara tentang sesuatu yang nyata karena Ia pun hidup di dunia ini. Yesus tahu bahwa ada orang-orang semacam itu.

Kebetulan ada seorang imam dan kemudian juga seorang Levi melewati jalan yang sama. Dalam Taurat Musa, yang berhak menjadi imam adalah kaum keturunan Levi. Jadi imam dan Levi itu adalah orang-orang beragama. Tetapi aneh bahwa hati mereka tidak tergerak oleh belaskasihan oleh peristiwa itu. Berkaitan dengan ini saya mau mengatakan bahwa beriman dan berbelaskasih adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jika hati kita tidak merasa iba atau berbelaskasih karena suatu peristiwa sedih maka kita tidak dapat menyebut diri kita sebagai manusia sejati betapapun kita rajin berdoa.

Lalu datanglah seorang Samaria. Ketika melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belaskasihan dan segera menolong korban itu. Dia tidak peduli tentang masalah yang mungkin akan mengacam dia karena boleh jadi para penyamun itu masih berada di sekitar situ. Ia juga tidak peduli bahwa ternyata korban itu adalah orang Yahudi. Pada saat itu, Orang Yahudi dan Orang Samaria saling bermusuhan karena perpedaan dalam hal keagamaan.

Saudara dan saudariku
Kisah ini tidak menyebutkan siapakah Imam, levi atau orang Samaria itu tetapi paling tidak sedikit mengungkapan kepada kita orang seperti apakah mereka. Imam dan Levi tadi adalah orang yang egositik. Ketika bahaya mengancam, yang diutamakan adalah keselamatan diri sendiri. Sedangkan orang Samaria adalah orang yang peduli. Dia selalu mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.

Pertanyaan: Imam dan Levi itu berdosa atau tidak? Melakukan dosa kelalaian. Lalai adalah kegagalan untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan.

Pandangan moral katolik mengatakan: ”Kelalaian adalah pelanggaran melawan hukum moral karena seseorang tidak bertindak dalam situasi yang sebenarnya ia dapat dan harus bertindak.” Menurut St. Thomas Aquinas, kelalaian yang dilakukan secara sengaja adalah dosa. Misalnya, jika kita melihat seorang buta yang ingin menyeberang tapi kita pura-pura berjalan terus, atau jika kita melihat suatu kecelakaan dan kita pura-pura berjalan terus. Mungkin karena prinsip yang kita anggap terbaik adalah: sebisa mungkin menghindari masalah atau kalau bisa sebanyak mungkin menghindari tanggung jawab.

Saudara dan saudariku
Dosa kelalaian ini boleh jadi merupakan dosa yang seringkali kita lakukan. Kita berpikir yang penting saya tidak melakukan apapun yang menyakiti orang. Kisah Yesus tentang orang Yahudi yang dirampok habis-habisan dan terkapar setengah mati di tepi jalan, adalah kisah bagi zaman ini. Kisah ironis yang mempertemukan kita dengan sikap menghindari yang berlebihan. Memang kisah Yesus ini sebenarnya bicara tentang sebuah "kebetulan". Sekurang-kurangnya ada beberapa kebetulan di sana. Kebetulan seorang imam melalui jalan itu. Kebetulan seorang Lewi melaluinya juga. Namun, 'kebetulan' inilah yang sekarang menjadi sebuah teguran bagi kita. Mungkin kita agak meremehkan keadaan-keadaan yang juga kebetulan kita alami. Padahal dalam keadaan-keadaan yang sangat situasional itu, ditunggu sebuah tanggapan dan tindakan yang tepat dari diri kita.

Mungkin kita ingat saja pengalaman kita kalau sedang bepergian. Apalagi kalau kita sedang berjalan atau berkendaraan, untuk hadir di sebuah acara atau datang tepat waktu di kantor. Di kepala kita hanya ada tempat yang kita tuju itu.

Dalam hati, kita berkata, "saya tidak mau diganggu", atau "saya tidak mengharapkan kejutan di tengah jalan". Sama persis dengan imam dan orang Lewi itu, punya tujuan sendiri, tak mau diganggu siapapun. Kita berdoa supaya jangan terjadi sesuatu pun di jalan, sekalipun sesuatu itu adalah orang tak dikenal yang sedang celaka dan menderita! (Jangan-jangan anggota keluarga sendiri yang sedang menderita pun bisa dianggap gangguan?).

Itulah keadaan ketika kita tidak mengenali siapa sesama itu. Itulah keadaan ketika kita tidak memperhitungkan sesosok manusia di depan mata sebagai sesama. Waktu itu, kita tidak suka bertemu apa atau siapapun secara kebetulan. Padahal Yesus mengatakan, sesama kita adalah mereka yang 'kebetulan' kita jumpai! Jadi, karena takut dengan segala sesuatu yang kebetulan itu, kita pun menjadi buta dan berbuat sesuatu keliru di mata Yesus. Tanggapan kita jadi keliru karena juga keliru mengira 'siapa' sesama itu. Bagi Yesus, sesama itu justru mereka yang tidak kita kenal, tidak kita harapkan, barangkali juga musuh kita, tapi yang sedang celaka dan keadaannya mengganggu hati kecil kita. Siapapun yang tidak kita kenal akan menjadi 'sesama' karena kondisinya menuntut jawaban yang segera dari diri kita. Dan hanya orang Samaria itu, yang juga sedang dalam perjalanan, yang berani melepaskan tujuannya sendiri, berhenti, dan mau terlibat dengan kesusahan orang tak dikenal itu!

Mungkin tujuan kita akan gagal, atau kita terlambat sampai ke tujuan jika kita menuruti kata hati kita, jika kita berhenti dan terlibat dengan penderitaan seseorang yang kebetulan kita temui. Akan tetapi, yang kita lakukan demi orang itu akan sangat mulia di mata Tuhan. Tuhan akan banyak berbicara melalui hati kecil kita. Ia akan bicara dengan sangat perlahan dan begitu lembut. Kalau tak diperhatikan sungguh-sungguh, kita akan mudah mengabaikannya.

Percayalah, tidak ada kebetulan yang sungguh-sungguh hanya kebetulan. Kalau suatu kali, perjalanan kita seolah-olah 'terganggu' oleh sebuah kebetulan (seseorang yang mengalami kesulitan), mari kita justru berhenti, lupakan tujuan kita sendiri, dan ikuti kata hati kita saat itu. Amin.

Tidak ada komentar: