Homili Minggu Biasa XVIII - Tahun C - 2010

Bacaan
Pengkotbah 1:2; 2:21-23 Kol 3:1-5, 9-11 Luk 12:13-21

Homili
Salah satu penyataaan Martin Luther yang popular dan salah dimengerti oleh kaum reformis adalah: “God does not save people who are only fictitious sinners. Be a sinner and sin boldly, but believe and rejoice in Christ even more boldly.” Ungkapan ini terdapat dalam suratnya kepada Phillip Melacnhthon pada tahun 1521. (dikutip dari buku Karya Martin Luther, weimars, ed 2 hl.371.) Artinya: ‘Allah tidak menyelamatkan orang yang melakukan dosa asal-asalan, karena itu jadilah seorang pendosa yang sungguh, tetapi harus lebih sungguh percaya dan bersukacita di dalam Kristus.’ Aneh ya? Sebenarnya Martin Luther mau menunjukkan betapa berkuasanya Darah Kristus sehingga bisa menebus dosa manusia sebesar dan sebanyak apapun dosa manusia itu. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, pernyataan ini disalah tafsirkan sehingga orang berpikir bahwa “apa yang kita lakukan secara fisik, tidak akan mempengarahi keadaan jiwa kita di hadapan Allah, asalkan kita percaya kepada-Nya”. Doktrin sola fide (hanya iman saja) mengambil bentuk ekstrim dari pernyataan Luther ini.

Dalam bacaan 2 hari ini, St. Paulus melawan pemahaman iman yang demikian yang hidup di dalam jemaat di Kolose: “Saudara-saudara, kamu telah dibangkitkan bersama Kristus. Maka carilah yang di atas, di mana Kristus berada dan duduk di sisi kanan Allah. Pikirkanlah perkaraya yang di atas, bukan yang di bumi.’

Umat di Kolose memang percaya sungguh bahwa melalui pembaptisan mereka telah mati terhadap dosa dan telah dibangkitkan untuk menerima hidup baru bersama Kristus. Memang itu benar. Tetapi nampaknya dalam kehidupan sehari-hari mereka gagal untuk mengenakan manusia baru itu. Mereka bangga sebagai orang kristiani. Mereka bangga bahwa melalui pembaptisan mereka adalah anggota tubuh mistik Kristus tetapi dalam kehidupan nyata, mereka sama saja dengan orang-orang yang tidak beriman. Jadi ada dikotomi (keterpisahan) antara iman dan perbuatan. St. Paulus mengatakan dalam bacaan II hari ini: jika demikian, maka mereka bukanlah sungguh orang kristiani. Manusia baru yang kita terima melalui pembaptisan itu harusnya nampak dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu jika perhatikan bacaan II tadi, Paulus menggunakan 4 kata atau kalimat yang tegas sebagai sebuah perintah tentang apa yang harus mereka usahakan berkaitan dengan iman kepada Kristus itu. 4 kata perintah itu adalah: carilah… pikirkanlah… matikanlah… dan ‘jangan lagi kamu saling mendustai…”

Saya mengajak kita untuk melihat 4 hal itu. Dua perintah yang pertama: ”carilah yang di atas, di mana Kristus berada … (Kol 3:1) dan “pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi” (Kol 3:2). Dua perintah ini sebenarnya ingin menyampaikan satu hal yang sama dengan cara yang berbeda. Dua perintah ini tidak menunjuk pada suatu tindakan konkret tertentu tetapi lebih menyangkut cara berpikir dan disposisi hati dan pikiran.

Iman bukanlah sebuah pernyataan bahwa kita telah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat kita. Tetapi iman adalah sesuatu yang hidup di dalam kita....terus berkembang dan mengubah hidup kita dari dalam agar memperoleh pengetahuan yang benar tentang Allah.

Dua perintah yang terakhir “Matikanlah….dan janganlah mendustai…” menunjuk pada tindakan konkret.

Dalam versi Vulgata, kata Latin yang dipakai untuk menerjemahkan ’matikanlah’ adalah ’mortificate’ berasal dari kata mortifacare yang berarti matiraga. Jadi kata: ”matikanlah di dalam dirimu”…lebih berbicara mengenai penyangkalan diri. Di sini Paulus menegaskan bahwa kecendrungan-kecendrungan manusiawi kita dapat menyebabkan kita jatuh ke dalam dosa. Paulus menyebutkan apa saja yang harus dimatikan atau disangkal, ditolak di dalam diri kita: “percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala”

Menarik bahwa Paulus menyebutkan bahwa keserakahan itu sama dengan penyembahan berhala. Hal ini nampak jelas dalam kisah tentang orang muda yang kaya dalam Injil Lukas 18:18 dst. Keserakahan atau keterikatan batin kepada kekayaan akan membuat seseorang sulit untuk mendengar dan memperhatikan sabda Allah di dalam hidup ini.

Sebuah contoh kisah: ada seorang pengkotbah yang ketika mewartakan sabda Allah, melihat bahwa ada seorang ibu setengah baya menangis. Pengkotbah itu merasa bahwa kotbahnya telah membuat ibu itu tersentuh maka dia pun makin bersemangat. Semakin lama, ibu tadi tidak bisa lagi menyembunyikan tangisannya. Pada akhir kotbah, biasanya ada kesaksian. Pengkotbah tadi mendekati ibu tadi dan berkata: ”ibu..tadi ketika sedang berkotbah saya melihat bahwa ibu meneteskan air mata, boleh jadi ibu merasa tersentuh oleh sabda Allah tadi. Bolehkan sekarang ibu memberikan kesaksian untuk kami semua ayat manakah yang membuat ibu tergerak hati? Ibu itu agak ragu-ragu dan malu tetapi karena pengkotbah itu agak memaksanya sehingga akhirnya dia pun tampil ke depan. Dia memegang mike dan mulai menangis lagi.... akhirnya dengan suara terbata-bata dia mulai memberi kesaksian. Dia bilang: ”tahun lalu, saya kehilangan anjing kesayangan. Anjing itu adalah satu-satunya milik yang berharga bagi saya. Saya menangis ketika ia mati...tetapi lama saya sudah melupakan hal itu.... tetapi tadi ketika melihat anda mulai berkotbah, saya melihat janggutmu...dan itu mengingatkan saya akan anjing kesayangan saya. Setiap kali mengingat dia, saya menangis”..... ibu tadi ternyata tidak ingat akan satu kata pun dari firman Allah yang disampaikan...ia hanya ingat akan anjing miliknya yang berharga baginya.

Saudara dan saudariku
Harta milik itu penting untuk hidup. Akan tetapi harta milik seringkali mengambil tempat begitu penting dalam hidup seseorang. Ketika kita menjadi begitu terikat dengan harta milik maka kita sulit untuk mendengar panggilan yang mendesak dan penting dari Allah. Orang semacam itu nampak dalam bacaan Injil hari ini yang meminta Yesus supaya memohon saudaranya untuk membagikan harta warisan keluarga.

Yesus tidak keberatan kalau orang itu memiliki harta benda, Yesus juga memang menghendaki keadilan di dalam hidup ini, tetapi nampaknya Yesus sangat kecewa dengan orang itu.

Kita bisa membayangkan seperti ini. Yesus sedang memberikan pengajaran khusus kepada para muridnya tentang janganlah kuatir akan hidup… bahwa Bapa di surga tahu akan semua yang kamu perlukan…tentang bagaimana harus percaya kepada Penyelenggaraan Ilahi…eh…tiba-tiba muncul seseorang dengan persoalan seperti ini. Nampaknya…orang itu tidak peduli dengan apa yang disampaikan oleh Yesus. Fokus perhatiannya hanya kepada harta warisan. Sama seperti wanita dalam kisah di atas tadi..tidak mengingat satu kata pun dari firman Allah karena dia hanya memikirkan anjingnya.

Dalam kisah injil tadi, Yesus nampaknya menduga bahwa boleh jadi ada beberapa yang demikian di antara orang banyak itu, sehingga Ia berpaling dan berkata: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada kekayaannya itu.”

‘Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan.’ Ketamakan? Apa itu ketamakan? Orang dalam Injil tadi tamak nda? Orang tadi kan hanya minta keadilan. Bukankah itu sesuatu yang baik? Yesus mengingatkan kita bahwa ketamakan itu dapat menyamar dalam berbagai bentuk. Bahkan dengan kedok keadilan, orang itu menyatakan bahwa sebenarnya ia rakus dan tamak terhadap harta benda.

Untuk menjelaskan hal ini, Yesus menyampaikan perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh. Ketika kita membaca teks ini bertanya dimanakah letak kesalahan orang itu? Coba pikirkan. Orang kaya itu kerja keras dan jujur. Tanahnya memberikan banyak hasil akhirnya orang itu memutuskan untuk membangun lumbung yang lebih besar supaya bisa menyimpan semua hasil tanahnya sehingga ia bisa hidup tenang. Sayang…orang kaya itu tidak tahu bahwa hidupnya hanya tinggal kurang dari 24 jam.

Yesus menggunakan ilustrasi ini untuk menunjukkan ketamakan orang kaya tadi. Ketamakannya tidak terletak pada ia mencuri, atau melakukan kesalahan, tetapi ketamakannya terletak pada hidup santai dan bermalas-malasan. Seorang politikus Inggris Sir Fred Catherwood mencoba mendefenisikan ketamakan itu sebagai berikut: "keyakinan bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian. Kita mencoba mengambil apa yang dapat kita ambil, tetapi kemudian kita sendiri sulit untuk menggenggam semuanya itu”. Hal ini nampak jelas dalam bacaan I tadi. Pada waktu itu, orang-orang Israel tidak yakin bahwa ada kehidupan yang akan datang atau tidak. akhirnya mereka berusaha untuk meraih segala sesuatu yang bisa di dapat dalam hidup ini. Terhadap sikap hidup yang demikian, sang pengkotbah mengatakan bahwa 'segalanya adalah sia-sia"

Itulah Yesus bersikap sangat tegas terhadap segala bentuk ketamakan. Dalam bacaan II hari rasul Paulus mengatakan ketamakan atau keserakahan itu sama dengan menyembah berhala.

Bacaan Injil hari ini mengajak kita untuk percaya bahwa hanyalah Yesus lah yang dapat memberikan kehidupan kekal dan bukannya harta benda.

Kita kembali pada bacaan II, pada perintah ke-4 rasul Paulus kepada jemaat di Kolose. ’Jangan lagi kamu saling mendustai,…’ Umat di Kolose nampaknya saling mengajar satu sama lain, bahwa yang penting kita telah dibaptis…peduli amat dengan perilaku hidup kita. Dosa yang kita lakukan tidak mempengaruhi keadaan jiwa kita asalkan kita tetap percaya kepada Yesus.’ Ini adalah ajaran yang sesat. Ajaran sesat adalah suatu kebohongan dan Paulus menghendaki agar umat berhenti dari kebiasaan ini.

Pertanyaan refleksi untuk kita: apakah kita pun seringkali mengatakan hal yang sama, membohongi diri kita hanya untuk membenarkan suatu tindakan dosa? Misalnya: “Allah kan Maharahim dan Mahakasih, pasti Dia akan mengampuni saya’. Sementara itu kita tetap mau mengakui bahwa kita adalah murid Yesus? Pesannya jelas dan tegas bagi kita: Stop it. Berhentilah membohongi diri sendiri. Rasul Yakobus berkata: “Iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak 2:26).

Tidak ada komentar: